http://www.thejakartapost.com/[EMAIL PROTECTED]&irec=0

State aircraft maker declared bankrupt 


Tony Hotland and Yuli Tri Suwarni, The Jakarta Post, Jakarta, Bandung

State-owned aircraft manufacturer PT Dirgantara (PTDI) was on Monday declared 
bankrupt by Indonesia's commercial court system.

The court said PTDI was on the verge of demise and had several long-overdue 
debts but PTDI said it would appeal to the Supreme Court. 

The company said its defense would continue to be that it was still operating 
and had orders from overseas that would see it through to at least 2017. 

The lawsuit against the aircraft manufacturer was filed last month by some 
6,500 former employers who were dismissed in 2003. They were told then the 
company was being restructured. 

The employees have demanded the company pay their pension funds and retirement 
allowances as per their last salaries. 

PTDI currently employs 3,200 employees and has said it has no further 
obligations to pay said pension or retirement funds, which amount to some Rp 
200 billion (US$21.5 million). 

The presiding panel of judges said the evidence against Bandung-based PTDI was 
incriminating. 

Presiding judge Andriani Nurdin said a document issued by the Committee for 
Central Labor Disputes (P4P) in January 2004 showed the company had been 
required to pay the compensation. 

A warning letter issued by the then-manpower and transmigration minister in 
October 2004 obligated PTDI to pay the funds within 30 days. 

The court also saw the company had outstanding debts to other creditors 
including Bank Mandiri at Rp 125 billion, as well as individuals Supriadi Jasa 
at Rp 79 million and Neli Ratna Sari at Rp 15 million. 

The court found the company's defense was baseless. 

"The document simply shows estimates that are not supported by adequate 
infrastructure and capital," judge Heru Pramono said, adding that there was no 
reason left to sustain the company. 

The court appointed curator Taufik Nugroho to appraise the company's standing 
assets and Zulfahmi as the overseeing judge. 

Legal expert Frans H. Winarta said a bankruptcy status would force the company 
to pay back all of its debts and compensation to its current employees. 

If the value of its assets is lower than the overall debts, the company should 
pay according to a proportion based on the amount of debt of each creditor, 
Frans said. 

"But this cannot be executed until there's been a verdict from the Supreme 
Court." 

A pioneer in Asia's aviation industry, PTDI was set up as PT Industri Pesawat 
Terbang Nurtanio in 1976 with then-research and technology minister BJ Habibie 
as president director. 

The 1997 Asian financial crisis forced it to restructure and reduce its payroll 
from almost 10,000 to less than 4,000. 

In Bandung, West Java, company spokesmen Rakhendi Priyatna said the company was 
"starting to pick up its pieces with orders coming from in and out of the 
country". 

"A bankruptcy verdict will lead to complaints and even penalties regarding our 
current production," he said. 

Workers at the company appeared unaffected but said they deplored the verdict. 
They said they believed the company would win the case at the Supreme Court.


printer friendly 


Post Your Comments

Comments could also be sent to: [EMAIL PROTECTED]

++++

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=302508

Kamis, 06 Sept 2007,


Industri Pesawat Terbang, Nasibmu Kini



Salah satu industri strategis yang sempat dibanggakan Indonesia rontok. Di masa 
lalu PT DI -dulu bernama PT Nurtanio- (pabrik pesawat terbang) yang berbasis di 
Bandung itu dielu-elukan sebagai simbol bangsa ini untuk berdiri sama tinggi 
dengan bangsa-bangsa maju lain yang berbasis teknologi canggih. Kini semua itu 
sangat mungkin tinggal kenangan.

PT DI dinyatakan pailit alias bangkrut oleh vonis pengadilan niaga. Sebabnya, 
antara lain, PT DI tidak mampu memberikan gaji dan pesangon terhadap karyawan 
yang dirumahkan. 

Manajemen PT DI sebenarnya mau bertahan. Bahkan, mereka menolak dinyatakan 
pailit. Sebab, kasus "merumahkan" banyak karyawan itu bukan disebabkan 
manajemen PT DI mengalami krisis keuangan, melainkan untuk rasionalisasi. 
Perampingan. Itu bisa terjadi di perusahaan atau industri mana pun. 

Bahkan, industri pesawat terbang raksasa Amerika seperti Boeing pun pernah 
melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) terhadap dua ribu karyawannya. Dengan 
begitu, perampingan jumlah karyawan di Boeing dapat menyehatkan manajemen. 
Boeing pun tetap berkembang sebagai industri pesawat terbang komersial terbesar 
di dunia.

Bagaimana dengan PT DI? Layakkah dipailitkan? Sudah benarkah vonis pengadilan 
niaga Selasa lalu? 

Masyarakat tidak banyak tahu bagaimana sesungguhnya kondisi internal pabrik 
pesawat yang perkembangannya di masa lalu banyak dirintis B.J. Habibie -mantan 
Menristek, mantan Wapres, dan mantan presiden.

Masyarakat hanya tahu permukaannya. Yakni, PT DI bergejolak. Sejak tiga tahun 
silam -meski terus beroperasi (membuat beberapa pesawat terbang)- PT DI terus 
dilanda demo karyawan yang dirumahkan.

Berbagai upaya selalu buntu. Karyawan menuntut gaji dan pesangon. Sedangkan PT 
DI enggan membayar tuntutan karyawannya. Ketika tidak ada lagi jalan tengah 
atau solusi, pihak karyawan mengajukan permohonan ke pengadilan niaga agar PT 
DI divonis pailit.

Namun, yang mengecewakan dari detik demi detik krisis keuangan yang menimpa PT 
DI ialah tidak maksimalnya upaya pemerintah. Pemerintah seolah membiarkannya. 

Kementerian BUMN juga terkesan lepas tangan. Sekurang-kurangnya tidak ada upaya 
maksimal dan strategis untuk menyelamatkan PT DI. Bukti paling aktual ialah 
respons yang seadanya. Bahkan terlambat. Menteri BUMN Sofyan Djalil hanya 
mengaku terkejut terhadap vonis pailit. Lalu, kata dia, pemerintah akan 
melakukan perlawanan terhadap vonis pailit itu dengan mengajukan kasasi ke 
Mahkamah Agung (MA).

Padahal, kalau memang disepakati bahwa PT DI adalah industri strategis yang 
menjadi kebanggaan bangsa menguasai teknologi pesawat terbang, PT DI masih bisa 
diselamatkan. Misalnya, mengundang investor dengan perlakuan khusus yang 
meringankan untuk menyehatkan kembali PT DI yang sakit parah.

Habibie pun pernah menyanggupi untuk menyehatkan PT DI meski enggan kembali ke 
sana. Dua tahun silam Habibie bersedia menggandeng industri pesawat terbang 
dari negara lain guna menyehatkan industri pesawat terbang yang pernah 
dibesarkannya itu.

Tetapi, tidak ada respons serius dari pemerintah. Jangankan menindaklanjuti 
kesediaan Habibie, mengundang dia untuk berbicara serius pun tidak dilakukan.

Kasihan benar nasib PT PDI. Nasibnya kini tidak lebih baik dari pabrik kecap 
atau tahu tempe. Seolah bukan industri strategis yang tidak memberi kontribusi 
apa pun terhadap simbol nasional dan kebanggaan bangsa.








Kirim email ke