Seri Road to Holy Land: Sejenak bernafas di Giri Jaya
   
  Sekali lagi, perjalanan ke arah pemahaman jati diri mengantarkan saya ke 
tempat-tempat yang tak pernah saya pikirkan sebelumya. Giri Jaya...saya tidak 
pernah tau apa nama Giri Jaya itu. Apa artinya. Yang saya tau hanya Jaya Giri, 
itupun karena saya mendengar lagu Abah Iwan yang berjudul Melati dari Jaya Giri 
plus nonton latar tempat kawah putih Jaya Giri di dalam film GIE. Betapa saya 
ini seperti katak dalam tempurung, tidak tahu apa-apa....tentang Jaya Giri 
apalagi Giri Jaya.
   
  Dari Sindangbarang saya ikut menaiki truk ukuran sedang bersama 2 orang 
utusan dari Kampung Budaya Sindangbarang dengan misi meminjam lisung (alat 
penumbuk padi yang terbuat dari gelondongan kayu sebuah pohon) kepada Abah 
Eneng, pupuhu kampung adat Kasepuhan Giri Jaya. Perjalanan kali ini agak santai 
karena saya terlebih dulu mendengar kabar bahwa medan yang akan kami tuju tidak 
sekejam seperti jalanan menuju Ciptagelar yang sempat membuat saya JetLag 
selama satu minggu. Hari Sabtu, tanggal 2 September 2007, pagi hari kami 
meluncur meninggalkan Kampung Budaya Sindangbarang. Dengan berat hati saya 
meninggalkan kawan-kawan seperjuangan yang sedang membantu Ama Maki(Achmad 
Mikami Sumawijaya) di Pusat Media. 
   
  Sebelum meninggalkan Bogor, Mang Ujang dan Kang Dodol mengajak saya untuk 
sarapan di sebuah kedai soto kaki di bilangan jalan Empang, Bogor. Yang jelas, 
kedai makan itu terletak di dekat masjid Al Mutaqin. Terpana saya melihat kedai 
soto itu. Meja hanya ada 2 bagian. Digunakan sebagai tempat makan sekaligus 
memajang makanan. Hebat. Daging, urat, kulit kaki yang telah direbus bumbu 
kuning terhampar dengan jumawanya. Banyak orang yang sudah antri mengambil 
daging-daging tersebut. Antri menunggu giliran dagingnya diproses oleh sang 
penjual. Giliran saya tiba, suapan pertama merupakan pengalaman batin yang tak 
terlupakan. Daging kenyal yang saya duga keras ternyata begitu empuknya, 
menyatu rasa dengan kuah soto yang kuning bening. Soto yang sudah 25 tahun 
berjaya itu tetap menyajikan resep turun temurun yang teruji. Terbukti dari 
panjangnya antriannya.
   
  Puas menghabiskan tetes terakhir sang soto, kami pun mulai bergerak 
meninggalkan Bogor menuju Sukabumi. Langsung meluncur ke Giri Jaya. Rupanya 
saya menuju sisi timur Gunung Salak, sebuah gunung yang menjadi inspirasi bagi 
pendiri Pajajaran untuk merepresentasikan Paku yang Berjajar (puncak-puncak 
Gunung Salak) dalam nama Pakwan Pajajaran, dan memilih lokasi kerajaan tersebut 
di antara dua buah sungai yang berjajar¡K.Nenek moyangku luar biasaaa¡K.[1]
   
  Semakin dekat dengan sisi timur Gunung Salak, semakin menanjak jalannya. 
Namun tampaknya pemda setempat (Sukabumi) sudah memberi perhatian khusus pada 
jalan-jalan akses menuju kasepuhan Giri Jaya. Jalan aspal memang tidak 
sesempurna daerah perkotaan, namun tampaknya jalan yang cukup bersahabat 
tersebut turut memajukan perekonomian, mobilitas penduduk, dan aksesibilitas 
yang tinggi di daerah sekitarnya. Hampir 3 jam perjalanan saya rasakan dengan 
sangat nyaman. Melintasi jalan naik turun berliku berkelok, melewati persawahan 
dan sungai, tak lupa pula melewati dua pabrik AQUA di Cidahu. 
   
   Ketika sampai di Giri Jaya, saya dapat merasakan segarnya udara bersih. 
Harumnya udara di sana terasa sangat ramah, hembusan anginnya pun sangat lembut 
menyentuh permukaan kulit saya. Keramahan udara di sana pun sebanding dengan 
keramahan warga dan keluarga Abah Eneng. Setelah menyampaikan maksud dan 
undangan Festival Budaya Jawa Barat kepada Abah eneng, kami disuguhi ketela 
rebus yang dimakan dengan gula pasir plus segelas teh manis panas¡K.luar 
biasa¡K.
  Dengan terbata-bata¡K saya pun sok akrab dengan bertanya tentang sebuah rumah 
besar berarsitektur, arsitektur yang sangat saya kenal¡Kkarena mirip dengan 
rumah kakek di Jogjakarta. Karena saya agak terkejut, mengapa bentuk rumahnya 
bukan seperti imah gede yang ada di Ciptagelar atau Sindangbarang.Terlebih dulu 
saya harus meyakinkan Abah Eneng bahwa saya bukan penutur bahasa Sunda yang 
aktif berbahasa Sunda, hanya saja memang ada darah Sunda yang mengalir dalam 
tubuh ini. Untunglah Abah Eneng cukup memahami keterbatasan saya sebagai orang 
yang mengaku orang Sunda namun tidak bisa berbahasa Sunda. Dan mulailah beliau 
bercerita¡K
  ¡§Neng, rumah itu dibangun tahun 1830 oleh Abah Abu. Nah Abah Abu teh datang 
ke sini (Giri Jaya) tahun 1927 dari Solo.¡¨
  Sepenggal kalimat itu masih saya ingat sampai sekarang. Dari sepenggal 
kalimat itu saya pun menjadi banyak bertanya¡K.bertanya lagi¡Kbertanya 
lagi¡K.entah berapa pertanyaan yang sudah muncul dalam seri Road to Holy Land 
ini. Saya berusaha mencari jawaban atas pertanyaan awal seri ini¡K¡¨Siapakah 
Saya?¡¨
  Saya berpikir akan mendapat jawaban dari pertanyaan saya dalam 
perjalanan-perjalanan yang saya lakukan bersama kawan-kawan dari FIB UI. Namun 
semakin lama berjalan¡Ksemakin banyak pertanyaan yang terlintas¡K
  Giri Jaya pun membuat saya bertanya lagi¡K.
   
  Sejarah keluarga Abah Abu di Giri Jaya sudah dituliskan. Jelas bahwa keluarga 
ini berasala dari Solo...dan masih ada hubungan dengan keraton Surakarta. Namun 
mengapa mereka memilih Gunung Salak sebagai tempat tinggal mereka merupakan 
pertanyaan tersendiri. Mengapa Kasepuhan ini ada di Giri Jaya?¡Kpadahal masa 
mereka ada sangat jauh dari masa Pakwan Pajajaran. Namun menurut Bapak Agus 
Aris Munandar keberadaan kasepuhan Giri Jaya merupakan hal penting di sekitar 
Mandala Gunung Salak. Begitu pula naskah kuno yang disimpan oleh Abah Eneng. 
Naskah yang menggunakan tulisan huruf  Jawa masih menungu untuk dibaca. Menguak 
tabir sejarah keberadaan kasepuhan Giri Jaya. Fakta yang menarik adalah¡K.Abah 
Eneng yang notabene adalah keturunan Keraton Surakarta ternyata tidak bisa 
membaca huruf Jawa yang ada  dalam naskah tersebut atau pun berbahasa Jawa. 
Tradisi Solo pun tidak ada di kampung ini. Hanya ada berupa bangunan Imah Gede 
yang masih menggunakan ragam hias dan arsitektur rumah
 adat Jawa Tengah. Pun mereka melaksanakan upacara Seren Taun setiap tahunnya. 
Sama seperti kasepuhan Ciptagelar, Cigugur dan lainnya. Menarik 
sekali¡Kpermasalahan identitas di sini menjadi sangat beragam. Mulai dengan 
pertanyaan dari mana asal Abah Abu membuat saya bertanya, apa yang Abah Abu 
pikirkan ketika memutuskan pindah/lari ke sisi timur Gunung Salak. Apakah Abah 
Abu yang konon adalah bangsawan Solo tidak menurunkan adat istiadat dari 
keraton Surakarta kepada penerusnya¡K? Mengapa kasepuhan Giri Jaya yang masih 
mempunyai darah Solo justru sekarang sudah menjadi orang Sunda, berbahasa Sunda 
dengan baik dan menganut tradisi Sunda, salah satunya Seren Taun? Upacara Seren 
Taun pun menjadi penanda terjadinya identitas hybrid dalam kasepuhuan Giri 
Jaya. Abah eneng tidak lagi bisa berbahasa Jawa. Saat ini beliau adalah kepala 
kasepuhan Giri Jaya¡K.sayang¡Kpertemuan kami sangat terbatas. Hanya 30 
menit¡Ktidak mungkin menjawab semua pertanyaan yang bersliweran dalam benak
 saya pada saat itu¡K
   
  Pencarian pemahaman jati diri segelintir anak muda ini masih panjang. Masih 
banyak perjalanan-perjalanan yang akan kami lakukan. Dan masih akan ada lagi 
tulisan-tulisan seri Road to Holy Land untuk mencari secercah cahaya pelipur 
lara, mendapatkan setetes air peluruh dahaga¡K..dan tetap dimulai dari 
Sindangbarang¡Kpencarian jati diri ini kami harap dapat mewakili mungkin ada 
beberapa perasaan yang sama dengan kami di luar sana¡Kentah di mana¡K.entah 
siapa¡K.
   
  Sejenak saya bernafas menghirup udara di Giri Jaya, dan kami pun pamit 
bergerak pulang menuju Sindangbarang. Saya akan segera bertemu kawan-kawan yang 
sedang bersemangat membantu kampung Budaya Sindangbarang. Mungkin saya akan 
kembali lagi saat mengembalikan lisung Giri Jaya yang turut bergerak menuju 
Sindangbarang. Kembali lagi ke Giri Jaya untuk mencari 
jawaban¡K.mencari¡K.tidak hanya sekedar menanti¡K.Menanti Sebuah Jawaban 
seperti kata grup band PADI.
   
  Salam 
  Agni Malagina
  Seri Road to Holy Land dapat diakses di amalagina.multiply.com
  
  
---------------------------------
      [1] Tulisan tentang Gunung Salak yang berhubungan dengan nama Pakwan 
Pajajaran adalah hasil pemikiran bapak Agus Aris Munandar (FIB UI). Keterangan 
lebih lanjut, silahkan menghubungi beliau. Pada saat ini, beliau sudah 
mengemukakan pendapatnya dalam tulisan ilmiahnya. 




<embed src="http://images.multiply.com/multiply/horizontal-headshot-badge.swf"; 
type="application/x-
       
---------------------------------
Park yourself in front of a world of choices in alternative vehicles.
Visit the Yahoo! Auto Green Center.

Reply via email to