Forwarded from my other milist. Thanks Mr. Moderator.

Celana Melorot
Oleh : Asro Kamal Rokan

Ini berita dari Amerika Serikat, negara yang dikenal sangat liberal. 
Kota Alexandria dan Shreveport dua kota di negara bagian Louisiana, 
AS membuat peraturan baru: melarang remaja putra dan putri 
mengenakan celana melorot di bawah pinggang yang memperlihatkan 
(maaf) celana dalam mereka.

Peraturan itu, tulis Kantor Berita AFP Prancis pekan lalu, diterima 
secara bulat. Larangan ini lahir setelah warga memprotes gaya 
berpakaian para remaja, yang berjalan dengan celana melorot di bawah 
pinggang itu. Gaya tersebut, menurut Konselor Kota Alexandria, Louis 
Marshall, tidak sopan. 

Louis Marshall, yang hidup dalam tradisi demokrasi, beruntung. 
Pelarangan itu sama sekali tidak menuai protes. Tidak ada aktivis 
yang menyatakan peraturan tersebut melanggar hak asasi manusia, 
antipluralisme, dan konservatif. 

Bayangkan jika di Indonesia, negara yang baru saja menghirup udara 
demokrasi. Louis Marshall akan dikecam dan dianggap telah membunuh 
kebebasan individu untuk berkreasi. Keputusan pelarangan tersebut 
bahkan akan diejek sebagai 'campur tangan pemerintah terhadap hak 
pribadi warga negara'.

Ini yang terjadi di Indonesia. Pada Desember 2004, seratus hari 
pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan 
kegusarannya atas tayangan televisi. Melalui Menko Kesra Alwi Shihab 
ketika itu, Presiden yang kuat memegang norma agama dan sosial itu 
meminta media televisi untuk tidak mempertontonkan pusar 
perempuan. "Itu sangat mengganggu," kata Presiden saat itu.

Pernyataan SBY itu baru sebatas permintaan, belum menjadi keputusan. 
Namun, tidak terlalu lama berbagai reaksi dari kalangan aktivis 
perempuan bermunculan dalam diskusi-diskusi dan tulisan di media 
massa. Mereka antara lain menyatakan, SBY telah melanggar prinsip 
demokrasi, terhadap hak asasi, dan kebebasan individu berekspresi. 

Mereka menentang keras pernyataan SBY itu. Menurut mereka, apabila 
negara dibiarkan mengatur hak pribadi warga negara, di antaranya 
soal pusar tadi, maka demokrasi dan kebebasan individu untuk 
berkreasi, pun mati. Itu pulalah yang menjadi alasan mereka 
menentang Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi. 
Apabila disahkan, maka RUAPP tersebut akan mengatur tubuh perempuan 
demi kepentingan politik konservatif. 

Alexandria dan Shreveport, dua kota di negara bagian Louisiana, AS, 
telah memberlakukan keputusan, yang melarang remaja putra dan putri 
mengenakan celana melorot. Keputusan itu disambut baik warga, yang 
sejak lahir telah menghirup udara demokrasi. Tidak ada yang protes 
dan menyebutnya sebagai antikebebasan berekspresi, antipluralis, 
konservatif, dan pertanda matinya demokrasi.

Demokrasi, sistem yang memiliki berbagai kelemahan, sesungguhnya 
tidak mati hanya karena pelarangan celana yang melorot dan 
pelarangan memperlihatkan pusar. Pandangan yang berlebihan terhadap 
demokrasilah apalagi membenturkannya dengan nilai-nilai di 
masyarakat, nilai-nilai agama, dan menyebutnya sebagai konservatif 
yang memungkinkan sistem itu kehilangan esensinya. 

Di Alexandria dan Shreveport, remaja-remaja tidak lagi mengenakan 
celana melorot. Mereka tidak merasa menjadi konservatif apalagi 
antidemokrasi. Di Indonesia, para remaja bebas membiarkan (maaf) 
celana dalamnya menyembul. Inilah yang disebut para aktivis sebagai 
kebebasan berekspresi. Dan, para aktivis itu sangat takut demokrasi 
mati hanya karena remaja menutup pusarnya. 




Kirim email ke