http://www.sinarharapan.co.id/berita/0709/08/sh04.html

Gerilyawan Sujinah Telah Berpulang

Oleh
Web Warouw

JAKARTA - "Di langit biru, Engkau menungguku, di langit biru Engkau 
menyambutku, tenangku melangkah menuju Mu, di langit biru, Engkau menungguku." 


Bait teduh menyayat mengantar Sujinah (78) dalam tidur panjangnya kini. Tiada 
sanak keluarga, hanya kawan-kawan seperjuangannya meratap menyanyikan lagu-lagu 
rohani baginya. Itu sudah bukan masalah bagi Sujinah, karena merekalah keluarga 
sejatinya.


Masih teringat, di sebuah rumah di Jakarta Selatan, pada tahun 1997-1998, 
beberapa anak muda Partai Rakyat Demokratik (PRD) sempat bergantian bersembunyi 
di rumah Sujinah. Di rumah sederhana penuh buku dan naskah itu, perempuan ini 
terus memompa semangat mereka agar tidak pernah tunduk pada penindasan. "Hidup 
adalah tugas untuk berjuang terus!" demikian ia selalu mengingatkan.


Pada pagi hingga sore hari ia mengajar les privat bahasa Inggris. Sepulangnya, 
Sujinah menulis banyak hal. Bersama Sulami, Suharti dan beberapa ibu lainnya 
mereka mengkoordinasikan makanan, tempat tinggal dan obat-obatan bagi 
pemuda-pemuda yang masih dikejar-kejar aparat keamanan pada era Presiden 
Soeharto saat itu. Tangerang, Jakarta dan Bekasi. Kini mereka telah pergi semua.

Di dalam buku berjudul "Terempas Gelombang" karya Sujinah yang diterbitkan oleh 
Institut Studi Arus Informasi (ISAI) tahun 2000, diungkapkan bahwa pada masa 
perang kemerdekaan berkecamuk 1946-1947 (clash I), Sujinah masuk dalam Barisan 
Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan 
pertempuran yang terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga, hingga 
Tengaran dekat Semarang. 


Dia bergaul akrab dengan para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP 
(Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di kemudian hari 
menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Soekarno. 


Pada clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Sujinah juga ikut aktif 
bergerilya bersama tentara dan TP sampai di Bekonang dan tempat-tempat lain. 
Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Sujinah ialah Soebroto yang di 
kemudian hari menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir 
antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus 
jalan kaki menyusup di pedesaan untuk menghindari patroli Belanda. 

Karya Jurnalistik


Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Sujinah kembali ke Kota Solo untuk 
melanjutkan sekolah sampai dapat menyelesaikan SMA-nya di Yogyakarta pada tahun 
1952. Sujinah pernah mendapatkan beasiswa untuk lima tahun. 


Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gadjah Mada di Fakultas 
Sosial Politik, yang sayangnya hanya sampai tiga tahun karena beasiswa sudah 
tidak ada lagi.


Selanjutnya Sujinah aktif di Pesindo yang di kemudian hari menjadi Pemuda 
Rakyat dan juga di Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang di kemudian hari menjelma 
menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasionalnya 
yang pertama di Surabaya tahun 1951, Sujinah sudah ikut serta bersama SK 
Trimurti sebagai salah seorang ketuanya. 


Sujinah semakin aktif di organisasi ini dalam aksi-aksi menentang kenaikan 
harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan seksual yang menjadi salah satu 
tema perjuangan Gerwani yang banyak menarik simpati masyarakat perempuan. 
Sehingga sebelum pecahnya tragedi 1965 Gerwani merupakan organisasi wanita 
terbesar di Indonesia. 
Ketika tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha, 
Chekoslovakia, Sujinah mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Setelah 
itu ia ditugaskan bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia 
yang berkedudukan di Berlin Timur selama 2,5 tahun. 
Tahun 1957 Sujinah baru kembali ke Indonesia dan banyak membuat karya-karya 
jurnalistik berupa laporan perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai 
surat kabar. 
Sujinah juga membuat karya-karya sastra dengan menulis cerita pendek, esai atau 
puisi dan dimuat di berbagai media. Tahun 1963 Sujinah aktif sebagai penerjemah 
untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain Pravda (Uni 
Soviet) di samping juga aktif menulis berita di surat kabar dalam negeri 
seperti Harian Rakyat.

Ditangkap
Buku "Terempas Gelombang" itu juga mengisahkan aktivitas Sujinah di DPP Gerwani 
di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, yang membuatnya harus sering tidur di 
kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dia bersama 
kawan-kawannya ditangkap dalam suatu penggerebekan yang dilakukan oleh aparat 
keamanan pada 17 Februari 1967 di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. 


Sujinah dibawa ke suatu tempat - mungkin sebuah sekolah tionghoa di daerah 
Pintu Besi yang dijadikan semacam posko di Gunung Sahari, Jakarta Pusat. 
Beberapa waktu kemudian ia bersama tiga kawannya dibawa ke tempat lain secara 
berpindah-pindah hingga lima kali untuk kemudian ditahan di Penjara Wanita 
Bukitduri dan diajukan ke pengadilan. Karena dianggap sebagai orang berbahaya, 
maka Sujinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi.

Menjelang meninggal dunia di RS St Carolus, Jakarta, Sujinah minta dinyanyikan 
lagu-lagu perjuangan seperti "Maju Tak Gentar", "17 Agustus Tahun 45", "Di 
Timur Matahari", dan "Internasionale". Pukul 13.15, hari Kamis 6 September 2007 
Sujinah menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan tenang. Tugas telah selesai!

Reply via email to