KOMPAS
Senin, 10 September 2007

  
Instabilitas dan Institusi 


A Prasetyantoko 

Di hari ini sulit membayangkan dinamika ekonomi tanpa gejolak. Dan, gejolak 
tersebut umumnya digerakkan oleh bagaimana sirkulasi kapital terjadi dalam 
sistem ekonomi, baik dalam bentuk tradisional (kredit) maupun kontemporer 
(investasi finansial). Apa makna dan relevansinya bagi kehidupan ekonomi kita 
hari ini? 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja menyetujui target pertumbuhan ekonomi 
RAPBN-P 2007 sebesar 6,3 persen. Target tersebut akan ditopang dengan 
peningkatan kinerja ekspor serta realisasi investasi. Meski begitu, target 
pertumbuhan tidak akan tercapai jika uang tidak dipompa dari sektor perbankan. 

Kalangan DPR juga menekankan agar Bank Indonesia berusaha lebih keras mendorong 
ekspansi perbankan membiayai sektor riil. Menurunkan suku bunga pinjaman yang 
saat ini masih berada di kisaran 14 persen menjadi salah satu implikasi 
penting. BI mencatat angka penyerapan kredit baru mencapai 80 persen. Dari 
plafon kredit yang direncanakan perbankan masih ada lebih dari Rp 150 triliun 
menganggur di bank. 

Kareana itu, salah satu agenda terpenting dalam ekonomi kita saat ini adalah 
menyalurkan kredit ke sektor produktif. Karena dengan begitu, target 
pertumbuhan ekonomi akan tercapai. 

Sirkulasi kapital 

Penyaluran kredit adalah bagian dari peran uang (sistem moneter) dalam ekonomi. 
Dalam bahasa yang lain, kita sedang bicara soal sirkulasi kapital. Isu tersebut 
sama sekali bukan tema baru. Schumpeter telah memeloporkan kajian tentang 
bagimana uang memengaruhi dinamika ekonomi. 

Apakah uang bersifat netral? Menurut aliran utama atau (neo)-klasik, uang hanya 
bersifat sebagai "pelumas" yang akan melancarkan kegiatan ekonomi saja. Jadi, 
uang bersifat netral. Namun Schumpeter, didukung Keynes, menolak asumsi 
tersebut. Mereka menyatakan, uang tidak netral karena dialah motor dari 
fluktuasi dan instabilitas ekonomi. 

Dalam keyakinan kedua tokoh, uang tercipta karena ada permintaan dari sektor 
produktif (demand approach), dan bukan terjadi secara sukarela serta bisa 
ditawarkan begitu saja (supply approach). Jadi, motor utama perekonomian adalah 
sektor riil dan bukan sektor finansial. 

Ada dua tahap hubungan uang dengan sektor produktif. Tahap pertama, uang 
mengalir karena ada proses inovasi (creative destruction) yang akan memompa 
dinamika ekonomi ke arah kemakmuran. Namun, pada tahap kedua, ketika ekonomi 
sudah makmur, uang akan memfasilitasi perilaku spekulasi. Akibatnya, uang akan 
mendorong resesi. Begitulah siklus bisnis terbentuk. 

Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa dengan mudah menemukan bentuk konkritnya. 
Kalau ada orang yang sedang memulai usaha, umumnya mereka akan berhati-hati 
merencanakan bisnisnya. Namun begitu sukses, dia akan cenderung bersifat 
ekspansif dan kurang berhati-hati terhadap masa depan. Dan, kredit yang 
mengucur kepada orang yang cenderung spekulatif akan mendorong ekonomi ke arah 
resesi. Masa inovasi, kemakmuran, resesi, dan bangkit kembali merupakan siklus 
alamiah yang terus-menerus ada dalam ekonomi. 

Ungkapan Ketua Dewan Pertimbangan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional 
Seluruh Indonesia (Gapensi) berikut ini bisa menjadi ilustrasi yang baik dari 
siklus ekonomi, "Setelah resesi 1997-2002, dunia jasa konstruksi Indonesia akan 
mengalami lonjakan proyek hingga beberapa tahun mendatang, sebab Indonesia 
mulai giat membangun," (Kompas, 28/8). 

Ada implikasi penting pada kondisi ekonomi kita hari ini. Pertama, 
menganggurnya uang di bank tidak sepenuhnya menjadi kesalahan perbankan. Sektor 
riil yang tidak bergerak bisa jadi merupakan faktor yang lebih signifikan, 
sementara restrukturisasi sektor riil menjadi perkara rumit yang sudah sejak 
lama didiskusikan, tetapi selalu mandul di tingkat implementasi. 

Kedua, jika sektor riil mulai bergerak, dan dana mulai tersedot, ada risiko 
lain yang datang, yaitu munculnya sikap spekulasi dan kecerobohan menggunakan 
uang (kredit). Karena itu, menggerakkan sektor riil harus disertai juga dengan 
pembangunan institusi hukum sehingga uang hanya mengalir pada kegiatan yang 
benar-benar inovatif dan bukan spekulatif. 

Dalam kacamata mikro, tidak ada jaminan pencairan kredit akan meningkatkan 
produktivitas. Atau secara makro, tidak ada jaminan masuknya uang pada 
perekonomian yang mendorong pertumbuhan ekonomi akan menambah peluang kerja 
serta membantu mengatasi kemiskinan. Diskusi ini bisa diperas menjadi soal 
kualitas pertumbuhan ekonomi. 

Spekulasi 

Minsky meneruskan tradisi Keynes dan Schumpeter dalam kajian finansial, 
sehingga pemikirannya sering disebut "financial keynesianism". Dia berargumen, 
kualitas ekonomi akan ditentukan oleh sehat tidaknya neraca (perilaku) keuangan 
unit-unit dan agen-agen ekonomi dalam skala mikro. Dalam ekonomi tradisional, 
perusahaan adalah agen penting dalam ekonomi, sedangkan dalam ekonomi modern, 
investor finansial mengambil peran sangat aktif. 

Kontribusi Minsky adalah melakukan pembagian unit-unit ekonomi dalam tiga 
kategori: unit yang berhati-hati (hedge), berspekulasi, dan ceroboh (ponzi). 
Apa yang mendorong sikap ceroboh itu? Dalam situasi stabil, minat untuk memburu 
keuntungan makin menguat sehingga spekulasi makin tinggi. Jadi, sumber 
instabilitas adalah stabilitas itu sendiri. 

Perilaku ini terjadi baik dalam sektor riil (penggunaan kredit) maupun sektor 
finansial (investasi keuangan). Pengaruh instabilitas finansial yang makin 
penting di hari ini hanya menunjukkan bahwa proporsi sektor finansial dalam 
perekonomian makin signifikan. 

Secara sederhana, pemikiran "Schumpeter-Keynes-Minsky" ini mencoba membangunkan 
kesadaran bahwa ekonomi tidak bekerja secara alamiah, tetapi dijalankan oleh 
para pelaku ekonomi yang pada dirinya mengandung faktor psikologi, sosial, 
hukum, politik, serta faktor-faktor institusi lainnya. 

Sayangnya, dengan cepat kita tergoda untuk segera meremehkan diskusi seperti 
ini sebagai sesuatu yang teoretis dan tak berguna. Yang kita anggap berguna 
hanyalah soal-soal pragmatis, bagimana menggerakkan sektor riil, menyalurkan 
uang, dan akhirnya memperoleh hasil (keuntungan). Tanpa mau tahu bagaimana 
sirkulasi kapital terjadi dalam sistem ekonomi. 

Tampaknya kesadaran inilah yang mendominasi berbagai target pencapaian 
pertumbuhan ekonomi serta visi Indonesia 2030. Jika begitu, kita sedang 
memecahkan masalah dengan mengundang masalah baru. 

A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program 
Doktoral di ENS-Lsh, Perancis 

Reply via email to