Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org 
           
                  SADAR 

                  Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
                  Edisi: 62 Tahun III - 2007
                  Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
                 

--------------------------------------------------------------
                 


                  SIASAT BUDAYA DI TENGAH PERUBAHAN TANPA ARAH


                  Oleh: Joko Sumantri [1]





                  Tak dapat dipungkiri jika masyarakat kita berada dalam 
situasi perubahan, dalam aras apapun, yang tanpa arah dan kendali. Bangsa dalam 
keadaan centang perenang, entah di politik, ekonomi, termasuk masalah budaya. 
Politik menghadapi ketidakjelasan pencapaian demokratisasi yang sesungguhnya 
(serba semu), ekonomi direcoki oleh korupsi dan permainan modal kapital yang 
amat deras, dan kebudayaan terpelanting oleh kecenderungan keb! udayaan populer 
yang gila-gilaan.



                  Perihal terakhir ini digambarkan oleh bagaimana masyarakat 
demikian terpola oleh tayangan televisi. Segala hal yang bolak-balik tampil di 
televisi diikuti dan menjadi ukuran-ukuran dalam pergaulan hidup sehari-hari. 
Belum lama ini saya menyaksikan sebuah perayaan HUT kemerdekaan RI diwarnai 
aksi joged panggung oleh anak-anak remaja yang mirip tarian para penyanyi 
dangdut dan pop ritmik yang aduhai.



                  Ada situasi pembalikan yang aneh. Tayangan-tayangan di 
televisi (terutama sinetron) tidak lagi mencerminkan realitas yang berlangsung 
dalam masyarakat. Sinetron-sinetron itu ber jalan dengan logika dan alurnya 
sendiri, dan lalu, diikuti oleh masyarakat yang menontonnya. Apalagi kebanyakan 
tayangan semacam itu hanya meniru tayangan serupa di negara asing, terutama 
Korea.



                  Sejumlah keluhan-keluhan lahir dan menggejala. Seorang kawan 
menuturkan bagaimana keponakannya yang masih kecil  berujar lebih baik mati 
menghadapi sebuah masalah kecil saja. Laporan-laporan mengenai perilaku yang 
berubah (terutama pada anak-anak) dan menyaru adegan-adegan sinetron 
bermunculan di surat-surat pembaca di koran. 



                  Yang paling dramatis tentu peristiwa "Smackdown" yang 
mengorbankan sejumlah jiwa anak-anak dan menciderai lainnya. Ini adalah 
tayangan gulat bebas dari Amerika yang diikuti prakteknya oleh anak-anak di 
Indonesia. Saat ini tayangan tersebut telah dihentikan.



                  Televisi (terutama tayangan sinetron) mengajarkan pola 
perilaku dalam standar benar-salah secara bipolar. Kejahatan lahir tanpa 
alasan, demikian pula tindakan baik berlangsung tanpa latar belakang. 
Penampakan untuk mewakili sisi-sisi berlawanan itu disampaikan secara tegas, 
baik dari mimik-muka, tindakan fisik sampai dandanan wajah dan rambut.



                  Apa yang disebut "tontonan sebagai tuntunan" memang akhirnya 
terjadi. Namun bukan "tuntunan" dalam pengertian positif, tapi sebaliknya. Gaya 
hidup serba mewah, penghormatan yang rendah pada orang tua dan terutama guru 
dan cinta-cintaan, bisa dibilang mewabah. Sinetron-sineteron itu semakin brutal 
dengan menggambarkan kisah percintaan yang dari hari ke hari kian muda 
tokoh-tokohnya (sampai masih sekolah di tingkat dasar bahkan!)



                  Sejumlah pihak, misalnya diinisiasi oleh Komisi Penyiaran 
Indonesia (KPI) menyerukan masyarakat memberikan "perlawanan" atas perkembangan 
siaran televisi yang brutal semacam ini. Namun kita tidak tahu efektivitas 
seruan semacam ini. Siaran televisi merupakan bisnis bernilai trilyunan 
sehingga tidak gampang bagi pengelola televisi mengikuti seruan sederhana 
semacam itu. Pun pada sikap pemerintah yang terkesan tutup mata dan tak mau 
tahu.



                  Peliknya, pelaku kebudayaan sendiri kurang menyadari (atau 
menyadari namun juga tidak melakukan apa-apa) terhadap situasi ini. Boleh 
dibilang ada semacam gap demikian lebar antara pelaku seni-budaya dalam 
beraktifitas secara kreatif dengan kebutuhan "penyadaran" masyarakat akan 
bahayanya tayangan televisi.



                  Maksud "penyadaran" bukanlah sekedar pewacanaan at! au 
memasukkan isi (sebagai bentuk pengkritisan) tentang bah! aya tele visi dalam 
karya-karya mereka. Namun sekian upaya terorganisir oleh para seniman dalam 
jenis kesenian apapun untuk memberikan tawaran alternatif yang lebih memadai 
daripada sinetron.



                  Kebutuhan masyarakat terhadap sinetron tidak bisa disalahkan. 
Fiksi memang diperlukan masyarakat, apalagi dalam konteks situasi hidup 
demikian menekan. Fiksi sebagai hiburan merupakan pelepasan atas 
kesulitan-kesulitan hidup yang menghimpit. Dengan cara ini, seseorang memiliki 
jeda waktu untuk bersantai dan mengalihkan pikiran dari kepikiran kebutuhan 
hidup yang makin melambung dari hari ke hari. Dan sinetron menyediakan hal itu.



                  Melawan secara penuh dan mengimbangi televisi memang sedikit 
mustahil. Namun sedikit upaya untuk memberikan alternatif pemenuhan kebutuhan 
fiksional bagi masyarakat mungkin tetap diperlukan untuk dilakukan oleh pelaku 
budaya dan seniman. Jika ini berhasil, lalu melahirkan inspirasi bagi yang 
lain, tentu merupakan perkembangan yang menarik.



                  Contoh faktual digambarkan oleh bagaimana pengarang-pengarang 
kita kurang mempedulikan kebutuhan masyarakat akan seperti apa fiksi yang bisa 
diikuti oleh mereka. Pengarang cenderung mengikuti kata hati sendiri dan lebih 
bergiat dalam mengerjakan eksplorasi sepenuh-penuhnya terhadap gaya artistik 
dan literer nan mumpuni. Apakah publik pembaca umum sanggup mengikuti jalan 
cerita yang ditulis atau tidak, sepertinya di luar kuasa pengarang.



                  Oleh karena itu, di level awal, pengarang-pengarang perlu 
memikirkan kebutuhan publik yang lebih umum, bukan kebutuhan editor media massa 
atau editor penerbit buku. 



                  Demikian halnya bagi pelaku-pelaku kesenian jenis lain, perlu 
lebih mengeksplorasi kebutuhan artistik publik yang lebih umum. Bukan berarti 
meleburkan keartistikan sebuah karya dalam derajat selera publik yang 
(dianggap) rendah. Saya percaya sebuah karya yang baik mesti diakui kebaikannya 
bagi semakin banyak orang dalam tiap level pengetahuan dan pendidikan yang 
berjenjang dan bukan sekian orang dalam komunitas atau minat tertentu saja.



                  Semua pengerjaan atas "proyek" pembudayaan ini memerlukan 
sebuah gerakan sistematis. Dan gerakan sistematis membutuhkan organisasi. 
Dengan alat inilah, penggerak budaya dapat secara terarah melakukan kerja 
penyadaran.



                  Hal paling sederhana misalnya melangsungkan aktivitas 
kesenian di kampung-kampung dengan terlebih dulu melakukan "pembinaan" atau 
pelatihan pada calon-calon pelaku seni setempat. Saya yakin, apabila menarik, 
kegiatan seni merupakan magnet bagi masyarakat untuk meninggalk an televisi dan 
melupakan cerita sinetron.



                  Masyarakat yang semakin aktif (entah menikmati seni atau 
bahkan menjadi pelaku seni), dipastikan akan mampu memilah-milah sebuah 
tayangan menarik atau tidak. Jika kemampuan ini dimiliki secara massif, 
yakinlah bahwa sinetron nantinya tak lagi laku. Kecuali menyesuaikan 
kualitasnya dengan lebih baik.








                    

--------------------------------------------------------------


                  [1] Penulis adalah  Koordinator Redaksi Buletin Sastra 
Alternatif PAWON di Solo.








                 
                    
           
            [EMAIL PROTECTED]    
     



Kirim email ke