----- Original Message ----- 
From: B.DORPI P. 
To: !B.DORPI P. 
Sent: Tuesday, September 11, 2007 2:28 AM
Subject: Re.: Palu Arit di Ijazah Inzjenier Subagyo


Yuli Ahmada <[EMAIL PROTECTED] com> 

10 Sept 07

Posted to Kobar-kobari at 9/10/2007 09:45:00 PM

Palu Arit di Ijazah Inzjenier Subagyo


Para mahasiswa lulusan universitas di Moskow periode 1960-an jadi incaran 
setelah pagebluk politik 30 September 1965. Jika tak dibunuh, mereka dikurung 
tanpa peradilan. Tapi ada orang Surabaya yang lolos dari kedua-duanya. Namanya 
Subagyo, titelnya inzjenier-agronom alias insinyur pertanian. Pada 1 September 
lalu, dia berusia tepat 69 tahun. Semua rambutnya memutih tapi berbicara 
layaknya pemuda. Suka humor, terutama ketika menertawakan nasibnya sendiri. 
"Sekarang ya kere begini," kata Subagyo kepada Surya di rumahnya, Jl 
Gayungsari, Jumat (7/9). Keberangkatan Subagyo ke Uni Soviet bermula dari 
pameran pendidikan di Jogjakarta, 1959.

Saat itu dia mahasiswa semester empat jurusan Kedokteran Hewan di UGM. Ayahnya, 
Kusno, kuat membayari kuliahnya karena bekerja sebagai klerk alias juru tulis 
kantor notaris keturunan Belanda di Surabaya. Subagyo adalah anak keenam dari 
11 bersaudara. Ia terbiasa hidup susah sehingga ingin mengubah nasib. Tapi 
kuliahnya di UGM tak lancar. "Dosen-dosennya hasil pendidikan zaman Belanda, 
standarnya susah banget," ujarnya.

Itu sebabnya, dia nekat mendaftar jurusan ilmu pertanian di Universitas 
Persahabatan Bangsa-bangsa 'Patrice Lumumba'  atau Universitet Drushba Narodov 
di Moskow. "Lamarannya saya tulis pakai bahasa Indonesia. Setelah diterima, 
saya langsung ke Kedubes Uni Soviet di Jakarta, pamit bapak di Surabaya cuma 
lewat telepon," katanya.

Sesampai di Jakarta, ternyata dia harus mengurus paspor dulu ke Surabaya. 
Jadilah dia pamit bapaknya. Tak lama kemudian, Subagyo terbang ke Moskow via 
India menumpang Super Constalation milik Air India. "Dari India ke Moskow 
dengan pesawat TU 104. Itu aslinya pesawat tempur tapi dimodifikasi untuk bawa 
penumpang," kenangnya.

Moskow di bulan Desember 1959 itu sedang musim dingin, sementara Subagyo hanya 
berbekal beberapa potong baju ala Indonesia. Lain sekali dengan persiapan enam 
kawan sepesawatnya, antara lain, Tumbu Tri Iswari Astiani, istri bekas Kabulog 
Rahardi Ramelan. Setamat kuliah, Subagyo pulang menjelang 30 September 1965. 
"Aku disubyo-subyo (dielu-elukan) , dikenalkan ke orang-orang penting di kantor 
PNI dan PKI," kenangnya.

Tapi sampai kini, dia tidak tercatat sebagai anggota partai itu. Sepulang 
kuliah itu, Subagyo masih bisa pilih-pilih pekerjaan yang sekiranya enak meski 
sudah pasti jadi pegawai negeri karena ada ikatan dinas.

Tapi akhirnya dia memilih jadi dosen di Universitas Udayana, Bali yang baru 
didirikan. Situasi sudah panas saat itu. Unjukrasa menghujat PKI marak juga di 
Bali. Kabar pembunuhan mulai terdengar. Sadar dirinya gampang dikait-kaitkan 
dengan partai itu, Subagyo pun menyingkir ke Banyuwangi. "Nggak takut gimana, 
ijazah saya ada gambar palu-aritnya.
Bisa-bisa saya dianggap anggota PKI," ujarnya.

Selama di Banyuwangi, dia bekerja di kebun kopi milik pensiunan tentara dan 
orang Tionghoa. "Mereka tahu saya lulusan Moskow tapi yang penting, kan, nggak 
lapor ke Koramil," ujarnya. Menurut dia, zaman itu tidak ada razia di bus-bus 
sehingga dirinya sesekali bisa tetap mengajar di Denpasar. "Yang gawat itu 
kalau ada Operasi Kalong atau drop-dropan (pengerahan milisi oleh tentara)," 
kenangnya.

Demi bertahan hidup, Subagyo tak pernah menunjukkan ijazah aslinya dari Moskow, 
termasuk kepada mertuanya. "Ijazah saya ini dulu dibuntel (dibungkus rapat) 
sama istri saya," katanya. Untuk keperluan melamar kerja, dia cukup menunjukkan 
surat keterangan lulus dari Moskow yang dikeluarkan Departemen Perguruan Tinggi 
dan Ilmu Pengetahuan, 12 Agustus 1965. Subagyo juga punya surat keterangan 
berkelakuan baik dan tidak terlibat perkumpulan/ partai terlarang.

Surat itu dikeluarkan Komando Ressort Kepolisian VII, Pasar Minggu, Djakarta 
tanggal 27 April 1967. "Saya bisa dapat itu karena di kota. Jadi, tidak ada 
verifikasi seperti kalau di desa," ujarnya. Perasaan was-was Subagyo muncul 
lagi ketika menerima surat dari Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan 
Tinggi, Kartini Abubakar, 30 Juli 1977.

Surat itu mengabarkan, proses penilaian ijazahnya sudah selesai dan bisa 
diambil sendiri (digarisbawahi) di Jakarta. "Wah, ini kalau diambil kan sama 
dengan kutuk marani sunduk. Saya nggak mau," katanya.

Semua temannya yang dia temui belum lama ini ternyata juga tak ada yang 
menggubris surat itu. Sesudah masa itu, Subagyo bersiasat terus agar lolos dari 
incaran aparat. Indoktrinasi yang lazim disebut Penataran P4 pun dia ikuti. 
"Saya dulu sampai hafal butir-butir Pancasila itu, tapi sekarang nggak ada yang 
berbekas itu," ujarnya. Lain dengan penguasaan bahasa Rusia-nya yang masih 
awet. "Tapi jujur saja, sampai sekarang perasaan khawatir itu belum hilang sama 
sekali," akunya. 

yuli ahmada

Kirim email ke