Salam,

Saya membaca postingan Bapak di milis marketing soal strategi koran menjual 
dirinya seribuan.

Kata Bapak : 
"Sindo dan Media Indonesia, yang pola jualnya konsinyasi terpaksa 
main di seribuan supaya produknya laku. Karena kalo tidak begitu 
returnya cukup banyak sekali alias tidak terjual. Koran Tempo 
sempat diharga seribuan karena harga setornya mendekati seribu, jadi 
agen pake jalur aman, karena tidak bisa retur dijual di seribuan. 
Tapi saya lihat Koran Tempo sudah jarang di harga seribu, mungkin 
harga setor sudah dinaikkan atau karena re positioning?"


Perlu diluruskan, bahwa Sindo dan MI mengambil strategi yang berbeda.  MI 
mengambil jalur menjual seribuan dengan pengecer khusus di tempat keramaian dan 
Sindo memilih mangembil langkah -setidaknya sampai hari ini - konsisten dengan 
langkah menjual di harga jual eceran 2000, mengetatkan sistem penjualan pada 
level 75 jatah habis dan 25 konsinyasi, namun secara konsisten mempertebal dan 
menambah halaman full color (44 halaman, dan bisa full color karena percetakan 
barunya di Cikarang sudah beroperasi).

Pada level ini, konsumen dihadapkan pada pilihan, 1000 dapat tipis atau 2000 
dapat tebal.  Secara umum, SAAT INI market kedua koran tersebut tidak saling 
mempengaruhi (walau dulu awal sindo terbit ya terpengaruh juga).  pembaca yang 
suka berkerut kening lebih suka membaca MI, sedangkan pembaca sindo lebih 
banyak penonton infotainment dan berita-berita yang tidak bikin kening 
berkerut.  Apalagi, sekarang ini, jumlah halaman di media indonesia banyak 
"termakan" iklan lelang dan sejenisnya dari bappenas itu....jadi buat pembaca 
gak aneh mereka beli dengan harga 1000, wong gak banyak yang bisa dibaca.

Terus, boleh diteliti dengan riset ala tempo deh..."struktur asli" harga media 
indonesia memang membuat dia tak banyak bisa bergerak menggarap pelanggan.  
Bukan cuma diskon buat pelanggan yang kurang menarik, komisi buat agennya juga 
kalah dengan kompetitor2nya.  Sekarang ini, salesnya gencar ke rumah2 (termasuk 
rumah saya), menawarkan langganan 3 bulan cukup bayar dua bulan.  Jadi strategi 
harga 1000 memang langkah akhir untuk me-recover jumlah pembaca mereka.

Koran Tempo ?  Sampai hari ini masih dijual seribuan.  Kalau dulu awalnya cuma 
di stasion dan terminal, sekarang di hampir semua tempat dijual dengan harga 
seribuan.  Sampai hari ini, kalau pagi saya masih beli koran tempo di 
perempatan Cimanggu atau di rel kedungbadak jalan baru yang lagi dibangun 
underpass.  

Saya belum tahu kalau mau ada repositioning.  Lagian kalaupun repositioning, 
apa lagi yang mau direpositioning ya...apa mau dibuat tebal (yang artinya harus 
nambah wartawan, nambah kertas, nambah waktu buat cetak dan nambah duit....); 
atau mau dibikin maxi lagi (sungguh mati, Tempo kecil gampang dibaca (bukan 
enak dibaca), tapi dengan ditambah harganya yang 1000-an...kok jadi terkesan 
murahan gitu).  Jadi saya belum melihat ada celah buat tempo koran melakukan 
repositioning APALAGI dengan melihat kondisi internalnya (terutama soal 
fulus-nya).  Belum lagi nanti komunikasinya ke pasar...hehehe emang sudah ada 
dana lebih?

Kata Bapak lagi : 
" Saya lihat kompas sudah terjebak dengan strategi koran saingannya, 
bisa jadi oplah ecerannya tergerogoti. Dan saya perhatikan harga 
kompas seribu bukan saja sore tapi dibeberapa perempatan lampu merah 
yang saya lewati sudah mulai pagi hari. Dan bagi saya pelanggan 
kompas di rumah, saya bayar 67 ribu per bulan ke agen, jadi seperti 
disia-siakan oleh kompas sebagai pelanggan, kok langganan jadi lebih 
mahal, ah mending ke eceran. Dan hal ini bahaya buat kompas kalo 
banyak orang berpikiran spt saya. Oplah eceran naik, tapi langganan 
turun. Lagi pula jika harga seribu, secara image apa bedanya Kompas 
dengan warta kota, Sindo dan Media?"

Sebenarnya--ini sekedar saran-- sebagai pejabat teras dengan latar belakang 
riset, bapak harusnya curiga.  Bisa jadi, dan saya haqul yakin 100%, Kompas 
tidak terjebak.  Justru dia menjebak pemain2 kecil agar kejeblos, dan dia mau 
mengukur kekuatan duit pemain kakap seperti sindo.  Kalau di Jabotabek beredar 
20 ribu koran kompas jablay (ini istilah agen2 dan anak2 sirkulasi di 
lapangan), itu artinya cuma sekitar 10-20% oplah kompas di Jabotabek.  Dan 
repotnya, tak banyak pelanggan Kompas yang mempermasalahkan selisih 67 ribu 
dengan seribuan...secara value mereka mau bayar --bahkan-- 70 ribu per bulan.  
Tepatnya, sebagian besar (sekali) pelanggan kompas adalah ibarat pembeli sedan 
mewah yang tak lagi menghitung biaya bensin pertamax plus untuk 
mobilnya...bukan kelas pembeli mobil sekon, yang --barangkali-- perlu menabung 
untuk ganti oli....hehehe ekstrim ya.  Kompas tidak takut kehilangan image, 
karena mereka tahu betul menjaga konsistensi kualitas, tampilan dan value.  
Mereka--misalnya-- tidak terpancing ikut tren "luar negeri" menjadi mini, 
kolomnya BAZ yang makin menggigit (tapi tetap membumi), campaign indeks Kompas 
100, dan hubungan ke pasar (sirkulasi dan iklan) yang sangat baik.  Dan 
begitulah adanya.

Justru yang terjadi sekarang adalah, banyak pembeli koran2 second grade yang 
pindah ke kompas...walau mereka harus rela nunggu agak siangan dikit.  Artinya 
apa? readership kompas naik bos.  Dan kalau mau dicermati, strategi kompas ini 
kan bukan hal baru...hal yang sama dilakukan oleh Jawa Pos untuk menggebuk 
kompas di Surabaya.  Cukup dengan mengeluarkan 10% oplah...pasaran koran second 
grade hancur lebur.  Itu enaknya jadi market leader, dengan "gap"-nya ke 
kompetitor jauh....

Saya sarankan pak Hari banyak menonton serial CSI (Crime Sceme Investigator), 
Numbers atau Bones di TV berbayar...ya untuk penyegaran gitu (melatih melihat 
problem lebih insight, lebih dalam...), jangan cuma percaya omongan orang2 
sirkulasi (sebelum terjun dan melihat sendiri di lapangan)...biasa harus ada 
kambing hitam untuk mereka cari selamat.  Di lapangan, problemnya lebih 
complicated lho...kadang tak terpecahkan hanya dengan diskusi di rapat rabuan 
atau jumatan...

Oya, barangkali belum tahu (kalau sudah tahu ya syukur) sekedar info : sindo 
punya percetakan baru di cikarang, bandung mereka cetak lokal (di bandung), 
setelah sindo medan dan palembang, habis lebaran meraka launching sindo 
makassar dan denpasar....barangkali berguna buat repositioning koran tempo.  
Dan saya sih lebih melihat tempo di internal juga harus waspada pada sindrom 
pabrik gula...perusahaan makin tua, produk tak bertambah, karyawannya makin 
tua, produktivitas turun, rendemen produk turun tapi tuntutan gaji dan 
fasilitas karyawan makin naik...ini seperti nasib pabrik2 gula di indonesia...

wassalam,

Basri Adhi
veteran tukang koran.

Kirim email ke