TANGGAPAN

From: Bujang Kelana
E-mail: [EMAIL PROTECTED]


Untuk seorang penulis pemula, bumbu-bumbu seks memang mujarab untuk mendongkrak 
popularitasnya. Mutu mungkin tak teraih darinya, tapi rumus semacam ini sering 
diresepkan. Hanya memang disayangkan jika redaktur koran/majalah juga kurang 
luas wawasannya maka loloslah sampah sampah demikian di halamannya. 

Salam ......

Bujang Kelana

_______________________________________

From: Ahmad Su'ad, Jakarta
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Sebagai pembaca setia harian Republika saya amat sedih dengan termuatnya sajak 
porno yang murahan seperti itu. Apalagi dimuat menjelang Bulan Ramadhan yang 
bisa mengganggu ketenangan umat. Ditambah lagi, sajak tersebut mengganggu 
perasaan pemeluk agama lain. Semoga redaksi pengasuh rubrik tersebut cepat 
insyaf dan meminta maaf secara terbuka kepada para pembacanya. Ingat, Republika 
adalah bacaan umat bukan koran murahan.

Wassalam,

Ahmad Suad
_______________________________________

From: Satrya Wibawa 
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Kira-kira, apakah Republika akan memuat ini kalau kata-kata "pura" diganti 
"mesjid"?
Kemudian "dewa" diganti "malaikat" atau "nabi"?

_______________________________________

From: Halim HD, Solo (Jateng)
E-mail: [EMAIL PROTECTED]


Saut, jangan tergoda dengan adu domba gaya spion Melayu yang pake segala 
cem-macem cara. Kasihan juga tuh 'minoritas' yang merasa 'dewa'-nya dituding 
oleh Saut. Tapi, yang paling kasihan adalah 'warga-minoritas' yang bisanya cuma 
terkaing-kaing
mengadu. Padahal 'dewa'-nya sendiri masa bodoh. Kenapa pula dia tak murka 
dengan penjualan 'patung-patung dewa' di negaranya, di Bali, yang kayak 
rombengan dan hanya sekedar untuk devisa. 

hhd.

_______________________________________

From: Doel CP Allisah, Banda Aceh
E-mail: [EMAIL PROTECTED]


Saudara Halim,

Kami sangat prihatin persoalan keyakinan menjadi suatu bahasa olok-olok, dan 
sangat tidak pantas kita bicara seperti itu. Kepada saudara-saudara di Bali 
khususnya, semoga tidak terpancing dengan suara-suara "asbun" tersebut!

Salam dari Aceh

Doel CP Allisah
[kord-ASA]

_______________________________________

From: Halim HD, Solo (Jateng)
E-mail: [EMAIL PROTECTED]


Silakan ajukan ke pengadilan jika memang saya menghina. Kenapa pula berbagai 
jenis patung dewa Bali dijual-perbelikan di art shop? Apa Anda buta? Atau Anda 
hanya ingin memanipulasi lantaran Anda tak mampu menghadapi saut situmorang 
yang seorang?

Apa Anda mau bikin forum publik secara langsung? Kapan saja, saya bersedia, 
bahkan di
Denpasar sekalipun. 


hhd.
_______________________________________

From: Wayan Sunarta
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Puisi Saut adalah parodi 

Salam,

Masih saja ada orang-orang picik yang membela tuhannya dengan mengatasnamakan 
massa agama. Kalian, wahai orang-orang picik, ngerti puisi gak sih? 

Puisi Saut itu yang kalian permasalahkan merupakan sebuah puisi plesetan atau 
parodi dari sebuah puisi berjudul “Aku Pelacur Para Dewa” karya Pranita Dewi 
(Ni Wayan Eka Pranita Dewi), seorang penyair Bali yang beragama Hindu asli dan 
cucu seorang pemangku di sebuah pura di desanya. Penyair itu telah menerbitkan 
buku puisinya berjudul “Pelacur Para Dewa”, silakan borong di toko-toko buku 
langganan kalian, kalo kalian memang suka dan mau baca puisi dengan benar!! Dan 
silakan simak puisi-puisinya yang lebih gila dan sadis ketimbang sajak Saut 
yang kalian tuding menghina agama Hindu-Bali itu!!!

Coba, bagian mananya sajak Saut menghina Hindu?? Apa karena ada kata “pura”? 
Atau kata “dewa”?? Kalian sama saja dengan kaum fundamentalis picik!!!

Memang di dunia ini ada saja oknum-oknum yang terjebak dalam pikiran picik 
fundamentalisme-agama.

Saya orang asli Bali dan merasa malu dengan tudingan-tudingan kalian pada karya 
sastra (puisi)!!!

Salam,

Wayan Sunarta

Tanya:
Apakah Bli Wayan Sunarta benar-benar asli Bali? Maaf saya kurang bergaul dengan 
para sastrawan asal Bali.

From: TS Pinang
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Wayan Sunarta adalah penyair muda dari Bali yang penting dalam sastra Indonesia 
mutakhir. Jika Anda tidak mengenal nama Wayan Sunarta, kelihatan sekali Anda 
tidak mengenal sastra (puisi) Indonesia. Dan Saut jelas bukan penulis pemula, 
kalau saja Anda memang mengikuti sastra Indonesia. 

Kata "pura" dan "dewa" adalah kata-kata yang umum dan bukan monopoli agama 
tertentu. Juga kata "malaikat" dalam kasus di koran Pikiran Rakyat tempo hari. 

Sastra, khususnya puisi, memiliki kode pemaknaannya sendiri yang tidak bisa 
begitu saja dihakimi secara harfiah, apalagi dengan hukum agama tertentu. 
Sayangnya, oknum-oknum yang mengatas namakan agama itu saya yakin belum 
mengetahui hakikat ajaran agama yang dibelanya. Sungguh memprihatinkan. Jangan 
sampai agama-agama yang mulia menjadi kering karena kepicikan penganutnya 
sendiri. Semoga Tuhan mencerahkan kalbu kita semua.

_______________________________________

Posted by: Hendi 004
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Wah....wah....wah.... kok di Indonesia ini masih juga ada orang yang seperti 
HALIM HD ya? Kenapa gak mau menyadari dan introspeksi bahwa apa yang 
dikatakannya penuh muatan yang sifatnya mendiskreditkan kaum 
minoritas.............

Tolong bung, Anda berpikir bahwa di Indonesia ini ada 5 agama dan juga ada 
beberapa aliran. Tolong ya hargai mereka, jangan kayak pikiran picikmu.... yang 
mengatakan diadu domba itu. OK? 

Belajarlah berpikir rasional saja, dan hargai orang lain.
_______________________________________

Posted by: Adi Djoko
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 

Untuk Bung Halim HD, kehendak menjadi populer boleh saja, asal tidak saling 
menyinggung perasaan orang dan kelompok lain 

_______________________________________


From: I Gede Junidwaja
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

OM Svastyastu,

Saya bisa melihatnya dari 2 sisi:
1. Bahasa Sanskerta atau Budaya Hindu adalah bahasa terbaik untuk ekspresi 
seni. Sampai hari ini sulit dibantah, silakan hitung dengan word counter jumlah 
kosa kata terpakai dalam karya sastra.

2. Sisi negatif: ternyata ada saja pihak luar yang sibuk mencari cara-cara 
mendiskreditkan Hindu. Bagi saya pribadi Hindu tidak memerlukan demo dan 
pembelaan jalanan, dia lebih memerlukan bukti dan karya nyata bagi penganutnya 
sendiri dan juga
kemanusiaan.

_______________________________________

From: Ketut 
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

OM Svastyastu,

Pak De Juni, saya setuju kita tidak perlu demo atau pembelaan jalanan, apalagi 
bakar-bakar segala :).

Bekerja, menyumbangkan potensi terbaik bagi dunia dan kemanusiaan, adalah hal 
mulia dan sangat penting. Tetapi diam membisu ketika tetangga mengatakan dewa 
yang kita puja bercumbu dengan pelacur di altar pura, yang notabene tempat suci 
kita, juga
rasanya terlau pasif. Lalu kapan kita akan mulai mengatakan "tidak?". Apakah 
menunggu telinga kita bengkak, atau menunggu mereka membawa berkarung-karung 
batu untuk menghancurkan pura kita?

santih,
_______________________________________

From: Satrya Wibawa
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Dan kenapa menyuarakan itu menjadi penting? Barangkali itu refleksi kelelahan 
untuk berdiam atau berdiri di balik kata toleransi. Boleh dong sesekali 
bersuara. Maaf. Cukup panjang. Sekadar keluh kesah.

satrya
_______________________________________

From: Ging Ginanjar 
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Saya mengerti kalau sejumlah orang Hindu merasa tersinggung. Lebih-lebih sajak 
itu ditulis bukan oleh orang Hindu sendiri.

Tidak sedikit memang penyair yang membutuhkan "setrum" puitisnya dari nada 
"keras" dan "radikal". Sebagaimana sajak Saut ini berkaitan kepercayaan Hindu. 
Atau sajak "Malaikat" karya Syaiful Badri yang sebetulnya lincah, jenaka dan 
jahil (Syaiful Bahri sendiri adalah seorang Muslim sangat salih, jadi ia bukan 
"orang luar")

Namun saya menjunjung hak kebebasan penyair. Kendati itu menyakitkan. Yang 
harus ditolak adalah jika misalnya saja penyair itu menyerukan hasutan 
kekerasan. Saya juga menyesalkan kalau misalnya ada Dewan Dakwah Hindu Dharma 
--misalnya, lho-- menuntut Republika dan penyairnya untuk minta maaf.

Biar sajalah. Hindu tak akan hancur oleh sebuah sajak Saut Situmorang. Para 
Dewa tak akan tercoreng martabatnya. Sebagaimana sebetulnya Islam tak akan 
tercoreng oleh sajak Malaikat dari Syaiful Bahri (sekali lagi: umatnya sendiri) 
atau Salman Rushdie
atau siapapun.

Saya mengerti kejengkelan Anda, Syatria, dan kaum Hindu. Namun santai sajalah. 
Santai.

_______________________________________

Posted by: Satrya Wibawa
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 

Mas Ging,

Ukuran ketersinggungan akan mejadi relatif. Saya pribadi tidak merasa 
tersinggung. Beberapa kawan lain juga mungkin berpendapat sama. 

Tapi, persoalannya bagi saya, sama seperti isi email saya sebelumnya, apakah 
Republika akan memuat puisi yang sama jika kata-katanya diganti "mesjid", 
"nabi",
atau "malaikat"? 

Tat twam asi. Aku adalah kamu. Kamu melukai orang lain sama artinya dengan kamu 
melukai dirimu sendiri. Hormati dan hargai orang lain jika ingin dihormati dan
dihargai orang lain. Sesimpel itu. Tapi mungkin Republika punya pemikiran dan 
konsep lain. Yah, mungkin Republika memang pantas dihargai seperti halnya cara 
mereka menghargai orang lain. 

Kawan-kawan Hindu yang saya tahu memang terbelah dua, tersinggung dan tidak. 
Tapi merujuk pada satu pemahaman, ketersinggungan itu disuarakan. Apalagi yang 
memuatnya adalah media Islam.

Caranya bagaimana? cukup dengan surat pembaca. Saya kutipkan isi surat pembaca 
yang dikirim salah satu kawan ke Republika, entah dimuat apa tidak: Saya juga 
akan mengirim surat yang bernada sama.

Mencermati puisi BANTUL MON AMOUR yang dimuat Harian Republika Minggu, 26 
Agustus 2007, khususnya bagian "para pelacur pun masih di kamarnya bergelut. 
dalam kabut alkohol aku biarkan kata kata menjebakku dalam birahi rima 
metafora. kemulusan
kulit kupu kupumu dan garis payudaramu yang remaja membuatku cemburu pada para 
dewa yang, bisikmu, menggilirmu di altar pura mereka", saya menyatakan protes 
dan keberatan atas dimuatnya puisi tersebut.

Sebagai Umat Hindu saya menghargai karya-karya seni yang disampaikan dalam 
bahasa kesopanan dan kearifan, dan bahkan mengakui bahwa karya seni adalah 
salah 
satu barometer budaya manusia. Namun, membaca puisi tersebut yang secara jelas 
tersirat mengatakan "para dewa menggilir pelacur di altar pura" adalah sebuah 
penghinaan yang teramat dalam terhadap keyakinan saya. Apakah puisi ini sesuai 
dengan
standar kualitas, moral, etika, dan standar nilai yang dianut oleh Republika 
sehingga dapat dimuat dalam salah satu halamannya? 

Apakah menurut Republika, puisi-puisi semacam ini berguna dan berharga sebagai 
karya seni, sehingga dengan demikian, dapat dijadikan barometer kemajuan budaya 
manusia? Dan lebih lagi, apakah puisi ini berguna dalam memberikan sebuah nilai 
kepada masyarakat indonesia dalam kondisi bangsa yang carut marut seperti saat 
ini ?

Protes dan keberatan ini saya sampaikan sebagai pembaca, Umat Hindu, yang 
merasa keyakinannya dilecehkan oleh puisi tersebut. Semoga dapat dimuat 
sebagaimana Republika memberikan ruang pada puisi tersebut di salah satu 
halamannya.

_______________________________________

From: Nugraha Adijaya
E-mail: [EMAIL PROTECTED]


Sudah sepantasnya pihak Pemda Bali mencekal Saut Situmorang yang berotak kotor 
agar tidak menginjakkan kaki di Pulau Dewata. Lewat tulisannya yang penuh 
penghinaan kepada umat Hindu, ia jelas-jelas ingin memancing di air keruh. 
Apalagi baca komentar Halim HD di berbagai milis yang semakin mengukuhkan bahwa 
ia piaraan Saut Situmorang. Bisanya cuma membebek saja seperti kerbau dicucuk 
hidungnya. 

Hai kalian berdua, kalau ingin namanya jadi populer, tolong jangan menginjak 
kaki orang lain dong. Berkaryalah dengan benar dan santun. 

Yang juga amat sayangkan, kenapa sajak murahan itu dimuat di koran Republika 
yang katanya Islami? Kalau dimuat di koran Pos Kota, saya masih bisa memaklumi. 
Adakah agenda tersembunyi dari mereka?

_______________________________________

From: Dharsana Matratanaya 
E-mail: [EMAIL PROTECTED] 

Om Swastyastu

Saya pikir puisi semacam itu kita anggap sebagai angin lalu saja, tidak perlu 
direspons secara besar dan serius. Letakkan di parking lot. Tutup.

suksma,

dharsana

_______________________________________

From: I Gede Purwaka 
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Salam damai,

1. Saudaraku Halim Hd. Saudaraku tidak dapat menyamakan atau men-setarakan 
tindakan menjual patung-patung dewa di artshop Bali dengan perbuatan menulis 
(dan menyebar luaskan) kata-kata yang memberi gambaran bahwa para dewa 
"menggilir" (meniduri perempuan secara bergiliran) di "altar pura". 

Menurut kenalan yang pernah berkunjung ke Jerusalam dan Lourdes, patung Yesus 
dan Bunda Maria juga dijual di toko-toko souvenir disana. Akan tetapi itu kan 
tidak berarti para pedagang dikedua tempat itu dapat disamakan dengan seorang 
yang
mengatakan Yesus "menggilir" perempuan di Baitullah. 

Penjualan patung di toko souvenir itu malahan dapat dianggap sebagai usaha 
memperluas pengkhabaran iman Kristiani, yang dimanfaatkan oleh semangat 
perdagangan.


2. Ada rekan yang mengatakan, sajak Saut Situmorang itu merupakan "plesetan" 
atau "parodi" terhadap sajak "Aku Pelacur Para Dewa" karya Pranita Dewi. 

Menurutku, alasan ini dicari-cari, sebab meskipun saya bukanlah pakar sastra, 
tetapi saya tahu harusnya di dalam parodi terdapat unsur humor dan ejekan 
terhadap yang
diparodi. Sajak Saut Situmorang itu sama sekali tidak mengandung unsur humor dan
tidak terdapat ejekan terhadap sajak Pranita Dewi tsb diatas. 

Sajak Saut Situmorang tersebut malahan cenderung bersifat jiplakan, atau 
percobaan meniru-niru akan tetapi hasilnya masih mentah seperti gerakan seorang 
penari yang masih ingusan. 

Dalam sajak "Aku Pelacur Para Dewa" kan terasa benar semangat "memberontak" 
berdasarkan pengalaman agamawi yang "authentic", akan tetapi dalam sajak Saut 
Situmorang pengalaman seperti itu tidak ada, mungkin karena pengarangnya bukan 
seoang Hindu, hanya terasa sebagai usaha mencari-cari efek keren, sok berani 
mengucapkan kata-kata kotor seperti yang biasa dilakukan anak puber. 


3. Saya tidak bermaksud mengatas-namakan umat Hindu Bali. Akan tetapi 
sejujurnya saya sebagai seorang Hindu Bali tersinggung. Saya jadi ingin 
bertanya: Apakah Harian Republika akan bersedia memuat sajak yang menyebut 
"Nabi Muhammad" atau bahkan "Allah" "menggilir" perempuan di mesjid? Mohon 
dijawab oleh redaktur budaya Republika. 

4. Meskipun saya tersinggung, tetapi saya tidak bemaksud me-somasi Saut 
Situmorang 
atau mendemonstrasi kantor Republika. Saya ingin bertanya kepada saudara Ging 
Ginanjar dan lain-lain dan juga para pembesar Republika, apa yang akan terjadi 
jikalau harian Bali Post memuat sajak yang mengatakan "Muhammad" berhubungan 
badan dengan "payudara" dan "kemulusan kulit"? 

5. Dalam bukan suci Ramadhan ini saya ingin mengucapkan selamat beribadah 
kepada umat Islam dan para pembesar Republika serta memohon maaf jika ada 
kata-kata saya yang menyinggung. Saya hanya memohon kejujuran dan "a sense of 
fairness" dari Anda.

6. Kepada adikku Saut Situmorang saya dengan tulus menganjurkan agar supaya 
adikku sebagai penyair muda perlu belajar lebih banyak, supaya nanti dapat 
menghasilkan sajak-sajak yang bermutu. Kalau sudah sampai di taraf yang matang, 
adikku akan
tidak perlu mencari sensasi dan gagah-gagahan seperti sekarang. Juga jikalau 
adikku tergoda untuk meniru, janganlah sampai memplagiat. Maju terus!

I.G. Purwaka 
_______________________________________

From: M. Sutjita
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Puisi ini betul-betul menyinggung dan menyepelekan agama Hindu. Tidak tahu 
saya, kemana melancarkan protes dan melepaskan uneg-uneg ini?

MS

Jawab:

Bli Sutjita, kirimkan via email ke penulisnya: [EMAIL PROTECTED]

dan ke redaksi harian Republika di Jakarta: [EMAIL PROTECTED]

c/c ke [EMAIL PROTECTED]

_______________________________________

From: TS Pinang
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Pemeluk suatu agama yang gampang tersinggung biasanya masih menjalani agamanya 
sebatas kulit dan baju saja. sensitif dan tidak percaya diri dengan apa yang 
diyakininya, lalu mudah sekali menganggap apa yang tidak diketahuinya sebagai 
'serangan' kepada keyakinannya itu.

Kata 'pura' dan 'dewa' bukan monopoli agama tertentu (Hindu), sebagaimana kata 
'malaikat' dalam kasus Pikiran Rakyat kemarin juga bukan monopoli umat Islam. 
dan sungguh menyedihkan ketika oknum2 yang tidak mampu membaca teks sastra 
(puisi) dengan mudahnya menuding karya tersebut sebagai sebuah pelecehan agama. 

Seperti kata gus dur, soal jorok dan porno itu ada di benak orang yang 
mempersepsikannya demikian.

Buat bli Wayan dan teman-teman penyair Hindu Bali, mari kita doakan agar 
kawan-kawan kita pemeluk Hindu tidak tejebak dalam kepicikan dan semoga selalu 
dicerahkan kalbunya oleh Hyang Widhi.

rahayu,

TS Pinang
(pemeluk agama puisi)

_______________________________________

REPUBLIKA
Minggu, 26 Agustus 2007

OASE
Sajak-sajak Saut Situmorang



AKU INGIN

aku ingin bercinta denganmu
waktu gempa lewat
di kota kita.

saat itu
pasti tak ada
keluh cemas, sinar mata ketakutan
atau gemetar kakimu
yang membuatku termangu,
berbuat apa tak tahu.

aku ingin bercinta denganmu
waktu kematian itu
kembali,
mengusik retak retak lama
di dinding rumah
yang tegak
berusaha tetap gagah.

aku tak ingin
melihat kematian
mempermainkanMu.

Yogyakarta, 9.8.2007

BANTUL MON AMOUR

di antara reruntuhan
tembok tembok rumah, di ujung
malam yang hampir sudah, kita hanyut
dipacu selingkuh kata kata, seperti bulan
yang melayari tepi purnama
di atas kepala. rambut kita
menari sepi di angin perbukitan
yang menyimpan sisa amis darah
dan airmata.

lalu laut menyapa
dengan pasir pantai dan cemburu
matahari pagi. tak ada suara
burung laut, para pelacur pun
masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi
rima metafora. kemulusan kulit
kupu kupumu dan garis payudaramu
yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu,
menggilirmu di altar pura mereka.

aku menciummu
karena para dewa tidak
memberimu cinta sementara aku
cuma punya kata kata
yang berusaha melahirkan makna.

Yogyakarta 2007

PEREMPUAN BATU
KOTA DENPASAR

empat jalan kota denpasar
tersesat di pinggulmu
angan tengah malamku
terantuk di buah dadamu

seorang bocah gelandangan mabuk bir
menyangka dirinya anak srigala
meraung ke bulan purnama

lalu merangkak dan bersimpuh
di telapak kakimu, menatapmu

sesaji harum dupa
terletak di kakimu
seorang bayi
dalam pelukan tanganmu

kubayangkan kau turun dari pedestal itu
waktu matahari dan bulan bertemu
di atas rambutmu
lalu kau bercerita padaku
tentang dirimu
namamu
asal usulmu
masa lalumu
kekasihmu

cintakah yang membuatmu
terkutuk jadi muda selamanya?
atau batu itukah?

Denpasar, 27 Oktober 2001

Sekilas tentang Saut Situmorang


Saut Situmorang lahir pada 29 Juni 1966 di kota kecil Tebing Tinggi, Sumatera 
Utara, tapi dibesarkan sebagai 'anak kolong' di Medan. Pendidikan S1 (sastra 
Inggris, film, dan creative writing) dan S2 (sastra Indonesia -- tidak 
selesai]) dilakukannya di Selandia Baru. Mengajar Bahasa dan sastra Indonesia 
selama beberapa tahun di almamaternya, Victoria University of Wellington dan 
University of Auckland, Selandia Baru. Menulis dalam dua bahasa -- Indonesia 
dan Inggris -- puisi, cerpen, esei -- dan dipublikasikan di Indonesia, Selandia 
Baru, Australia, serta Italia.
   
   


e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   

       
---------------------------------
Boardwalk for $500? In 2007? Ha! 
Play Monopoly Here and Now (it's updated for today's economy) at Yahoo! Games.

Kirim email ke