Bung Heri di Negeri Belanda, Terima kasih untuk tegur sapanya. Saya harap para miliser punya pemikiran jernih, sehingga andaikata pun komentar saya dimanfaatkan untuk tujuan lain, mereka masih bisa membentuk opininya sendiri secara objektif dan tak terseret kesana-kemari.
Tak bisa disangkal, TUK sekarang punya kedudukan dominan dalam balantika seni dan pemikiran di Jakarta (saya masih ragu untuk menyebut "di Indonesia). Itu sebabnya, pada titik ini saya rindu melihat adanya kritik yang bermutu terhadap TUK. Kritik ini perlu, khususnya bagi institusi apapun yang mulai menjadi dominan. Saut dkk, juga kelompok Rumah Dunia dan Ode Kampung, punya kesempatan yang sangat baik untuk mengawali lahirnya kritik-kritik bernas dan berbobot terhadap TUK. Maka itu, sayang jika momentum yang bagus ini dibuang hanya untuk melampiaskan kekesalan dalam bentuk yang asing bagi masyarakat seni (saya menolak memakai paradigma "kotaan" dan "kampungan" di sini, karena bukan itu masalahnya). > Jika bicara kesenian, ayo kita lancarkan kritik seni yang mampu membuka mata orang banyak dan, jika mungkin, melahirkan suatu zaman kesenian yang segar dan baru. Bisa jadi, dengan TUK menjadi dominan, maka ada ancaman stagnasi pemikiran di situ. Maka, Saut dkk bisa ambil peran sebagai agen perubahan dalam hal ini. Ini harapan saya, tetapi sejauh ini saya belum melihat hal itu terjadi. Malah sebaliknya, saya melihat adanya serangan bergaya preman, yang mungkin jauh dari gambaran orang tentang apa itu seni dan seniman. Soal dukungan GM terhadap kenaikan BBM, saya pribadi turut menyesalkannya. Bukan karena kenaikan harga BBM itu sendiri, yang seharusnya bisa memutus parasitisme kaum berduit yang mampu tapi turut menghisap subsidi BBM yang mestinya dinikmati kaum miskin. Penyesalan saya disebabkan oleh kurang kerasnya suara kelompok pendukung kenaikan harga BBM dalam menuntut pemerintah untuk menciptakan kebijakan BBM yang berpihak pada kaum miskin. Dalam kenyataannya, kita menyaksikan kenaikan itu lebih banyak memukul kau miskin daripada orang berduit. Namun, di atas persoalan ini semua, Bung Heri, saya membedakan kritik saya terhadap pemikiran GM dan TUK sebagai seniman dan dukungan politis mereka terhadap kenaikan BBM. Saya tak sudi membodohkan diri sendiri dengan mencampuradukkan kedua permasalahan itu dalam memberikan tanggapan terhadap laku GM. Mengenai apakah GM dan TUK dapat dikategorikan sebagai kaum "psomodernis", dan apakah mereka "didikte Barat," tak etis bagi saya untuk berkomentar di sini, dan saya lebih suka fokus pada perseteruan Saut dkk dengan TUK saja. Senang berkomunikasi dengan Anda, dan saya tunggu kabar berikutnya dari Amsterdam. salam kenal juga, manneke > > > -----Original Message----- > > > Date: Sun Sep 16 09:07:15 PDT 2007 > > From: "heri latief" <[EMAIL PROTECTED]> > > Subject: pakabar? > > To: "Manneke Budiman" <[EMAIL PROTECTED]> > > > > salam kenal. > > > > saya baca juga tanggapan bung manneke tentang wawancara gm > > menanggapi "kritik sosial" dari para seniman pinggiran (ode kampung, > > serang). > > > > wah kelihatannya komentar bung manneke tsb dipakai sebagai alat untuk > > mensucikan persoalan. > > > > saya jadi heran jugak, rupanya para penganut "humanisme universal" > > (diantaranya gm), sekarang ini seperti bangga punya kekuasaan > > (budaya), yg "terasing" dari akarnya (indonesia), eksesnya adalah > > terjadinya perbedaan klas dalam praktik2 kebudayaan (kotaan vs > > kampungan). > > > > apalagi kita tau, mendukung kenaikan harga bbm adalah menghancurkan > > rakyat miskin indonesia yg memang udah melarat berat. > > > > ah, awak ini apalaaa..., sedangkan kaum intelektual (bermodal) maunya > > kemajuan (postmodernis), tapi tanpa melibatkan pendapat khalayak > > ramai, apalagi kita taulah, bahwa barat (modal) berusaha memecah > > belah kita di segala bidang (!), supaya nantinya gampang mendikte apa > > yg dimaui oleh pihak barat (modal). > > > > gitukan? > > > > makasih atas perhatiannya. > > > > salam, heri latief > > amsterdam > > > >