Maaf BDG KUSUMO,

bapak sangat salah menafsirkan tulisan saya. Saya tdk pernah dan tidak 
ingin mendiskreditkan orang yg masih senang nonton TV sebagai orang non 
Intelektual, bahkan saya TIDAK MENGIDENTIFIKASIKAN DIRI SAYA SEBAGAI 
ORANG INTELEKTUAL, melainkan saya menyebut saya termasuk manusia langkah.
Itu saja.

Saya memang tdk punya waktu utk duduk di depan TV utk apa beli TV. 
Sambil mengerjakan kerjaan lain saya cukup mendengar radio atau musik. 
Jika ada kesempatan nonton konsert/opera, saya menyisahkan waktu/uamg ke 
sana. Misalnya saya mencintai The Cat atau Holiday on Ice. Film dokumen 
dpt saya tonton di screen computer. Saya punya koleksi dokumen sejarah 
yg saya sukai. Nah belum lagi membagi waktu baca Surat Kabar/Majalah 
pilihan saya. Sorry bagi saya ada prioritas yg lebih penting daripada 
nonton TV.

Saya mungkin nonton TV hanya kalau libur, ya tentu dipenginapan itupun, 
kalau ada, he, he, he.

Syukurlah kalau Bapak banyak waktu utk menambah ilmu dan memuaskan 
kehausan jiwa melalui media-media yg Bapak sebut.

Selamat membaca dan menikmati postingan.
Salam
Roslina

BDG KUSUMO wrote:
>
> Tepat sekali Mbak Roslina yth.,
> karena bukan intelektual saya senang sekali melihat TV
> yang memberi saya info, pengetahuan (segala film dok.
> BBC dll), hiburan dari opera, teater, musik klasik sampai
> jazz dan budaya "massal"  Ttp saya masih juga baca koran,
> buku, di internet, ke cafe buat ngobrol (bukan intelektual
> salon lho). Jadi walau telah lamuaa sekali di Eropa, sy
> nampaknya gagal ber perilaku spt intelektual Eropa ...
>  
> Salam hangat juga untuk Bung Wirajhana, yang puisinya,
> K&S, serem, seru dan sangat ber-"aroma", he3.
> Bismo DG
>  
>  
>  
>
>     ----- Original Message -----
>     *From:* wirajhana eka <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
>     *To:* mediacare@yahoogroups.com <mailto:mediacare@yahoogroups.com>
>     *Sent:* Sunday, September 16, 2007 6:51 AM
>     *Subject:* [mediacare] Re: Berhenti Berpikir Cara Televisi
>
>     Wow...
>     Untuk seorang Roslina...
>     ini sungguh merupakan pengakuan yang  bukan biasa..
>
>     Namun demikian, ukuran intelek menurut saya antara lain adalah:
>     Mengikuti tapi tidak terseret
>     menikmati namun tidak kecanduan..
>     Terlibat dengan alasan...
>     Bertindak dengan keyakinan..
>     Berargumentasi dengan dasar..
>     berdiskusi tanpa emosi....
>     Selalu mempunyai waktu..
>     dan berani berseberangan...
>
>     yah...untuk anda...ok-lah!!!!
>
>     salam
>     wirajhana
>
>     Note:
>     for bandung kusumo/BDORPIP/yongky:
>     membaca...relatif untuk jadi ukuran..
>     mencetak buku dan belanja dan surat kabar?????
>     kemana ukuran ini dibawa?
>     merajuk-kah? untuk peningkatan porsi belanja media ataukah
>     ukuran intelektual?
>     Tidak ada keharusan belajar hanya lewat membaca...
>     karena faktanya fungsi indria bukan cuma 1
>     dan semua adalah alat belajar..
>     untuk meningkatkan intelektual, kualitas memandang.
>     any comment?????
>     --------------------------------------------
>     From: Roslina Podico <[EMAIL PROTECTED]>
>
>     Saya termasuk manusia langka. Berusia setengah abad. Berkeluarga.
>     Tidak
>     pernah jadi pemilik TV, sudah meninggalkan Indonesia sejak 2 dekade.
>     Cukup mengikuti berita dunia melalui radio, yg khusus menyiarkan
>     berita-berita aktual selama 24 jam. Banyak berita penting yg
>     terjadi di
>     Indonesia saya dengar lebih dahulu melalui radio. Seperti berita
>     Tsunami, Pangandaran, Gempa kemaren dll.
>
>     Di Eropa semakin banyak orang intelektual tdk punya waktu utk
>     duduk di
>     depan TV.
>
>     Salam
>     Roslina
>
>     BDG KUSUMO wrote:
>
>     *TV MAHA DIGDAYA ...*
>     *From:* B.DORPI P. <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
>     kompas.com
>      
>     Sabtu.  15 September 2007
>     *Berhenti Berpikir Cara Televisi *
>     *Yonky Karman*
>
>     Ini zaman melek televisi dengan perannya yang dominan dalam
>     kehidupan masyarakat, dari kota hingga desa. Di pedalaman lebih mudah
>     menemukan layar kaca daripada seperangkat komputer. /*
>
>     Penduduk desa menyiasati keterpencilannya dengan antena parabola.
>     Pada
>     era informasi, besar kontribusi televisi yang mengajar pemirsa banyak
>     hal, kecuali mematikannya. Kaum yang membela netralitas televisi
>     berkilah, benda itu hanya medium komunikasi. Baik buruk
>     pemanfaatannya
>     bergantung pada konsumen. Namun, aforisme *Marshall McLuhan* masih
>     benar. Medium membawa pesan (*/Understanding Media: The Extensions of
>     Man,/* 1964). Lebih dari message, medium juga massage. Bentuk
>     komunikasi itu menentukan isi komunikasi. *_Televisi bukan produk
>     teknologi bebas nilai. _*
>
>     *Pendangkalan publik*
>
>     Tayangan televisi komersial pada dasarnya bersifat selingan, tidak
>     menuntut banyak berpikir, memperpendek rentang perhatian. Diskursus
>     publik tentang politik, agama, pendidikan, olahraga, atau bisnis
>     dikemas dalam berbagai bentuk hiburan (entertainment), sebagai bagian
>     bisnis pertunjukan. *Penampilan dalam tayangan lebih penting daripada
>     isinya.* Medium ikut mendefinisikan realitas.
>
>     *_Untuk memahami kultur suatu masyarakat, lihat medium komunikasinya
>     yang dominan._* Tayangan televisi merusak karakter reflektif manusia.
>     Iklan komersial dikemas menarik sampai tak ada hubungan dengan
>     kualitas dan manfaat produk yang diiklankan. *Orang dibujuk membeli
>     karena pencitraan.* Kesan pertama dibuat menggoda, selanjutnya
>     terserah pemirsa.
>
>     Sebuah produk mencantumkan peringatan serius untuk tidak mengonsumsi
>     karena merusak kesehatan. Namun, iklannya amat indah membawa pesan
>     keindonesiaan yang merekatkan bangsa. Tayangan rutin yang
>     mengeksploitasi tindakan sadis tidak memupuk iba atas korban, tetapi
>     menumpulkan nurani. Banalisasi kejahatan, kekerasan, kekejaman, dan
>     penderitaan. Pernikahan kehilangan sifat sakralnya. Ketika bencana
>     nasional menjadi breaking news, berlangsung konstruksi sekaligus
>     dekonstruksi rasa haru.
>
>     *Neil Postman* merisaukan kultur di AS pada paruh kedua abad ke-20
>     dan
>     seterusnya (*/Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age
>     of Show Business/*, 1986). Abad pertelevisian telah menggeser abad
>     percetakan (tipografi). Pesona tulisan tergeser pesona tayangan.
>     Bisnis surat kabar di AS terdesak televisi dan mesin pencari berita,
>     opini, dan iklan seperti Google dan Yahoo.
>
>     Sebagian masyarakat AS tengah memasuki kultur lisan fase kedua. Fase
>     pertama sebelum orang berkenalan dengan budaya tulisan dan hidup
>     dalam
>     tradisi lisan. Kultur lisan fase kedua bersifat high-tech didukung
>     peralatan elektronik seperti televisi dan komputer (*Walter J Ong,*
>     */Orality and Literacy: The Technologizing of the Word,/* 1982).
>     *_Menonton televisi tidak perlu melek huruf. _*
>
>     Akibat pengaruh televisi di AS, terjadi pergeseran kultural. Dari
>     kultur yang berpusat pada kata kepada kultur yang berpusat pada
>     gambar, tanpa kecenderungan berbalik arah dan nyaris tanpa protes.
>     Orang tertidur di depan televisi yang masih hidup, menghibur diri
>     sampai mati. Dibanjiri tayangan yang tak berkait, orang menjadi
>     terbiasa mementingkan hal-hal sepele terkait perasaan dan kenikmatan,
>     menjadi pasif dan akhirnya egoistis.
>
>     *_Pesona televisi dapat melumpuhkan minat baca kita yang notabene
>     masih rendah_*. Ada korelasi kemajuan bangsa dengan kegemaran
>     membaca.
>     Masih rendahnya minat baca kita terlihat dari 4.800 judul buku yang
>     dicetak per tahun di Indonesia, sementara Malaysia 7.000, Thailand
>     8.000, Jepang 10.0000, Korea Selatan 43.000, Amerika Serikat 50.000.
>
>     *_Tahun 2003, belanja masyarakat Indonesia untuk rokok Rp 150 triliun
>     per tahun, tetapi belanja surat kabar hanya Rp 4,9 triliun._* Berbeda
>     dari di AS, sebagian besar masyarakat Indonesia belum beranjak dari
>     kultur lisan fase pertama. Belum sempat memiliki budaya baca, orang
>     yang terperangkap budaya televisi tanpa disadari memasuki budaya
>     lisan
>     yang lain, sekaligus berada dalam dua fase kultur lisan.
>
>     Pada temu koordinasi nasional pelaksanaan gerakan nasional percepatan
>     pemberantasan buta aksara di Jakarta, 11 Juli, Mendiknas Bambang
>     Sudibyo menegaskan, cara paling mudah, murah, dan cepat meningkatkan
>     indeks pembangunan manusia (IPM) adalah dengan pemberantasan buta
>     aksara. Penduduk Indonesia yang buta huruf pada akhir 2009
>     ditargetkan
>     menjadi 5 persen.
>
>     *Namun, data di kantung-kantung kemiskinan yang tersebar di 1.236
>     kecamatan atau 20.633 desa miskin menunjukkan, masyarakat usia 15-44
>     tahun mengidap tiga kebutaan: _buta aksara, buta bahasa Indonesia,
>     dan
>     buta pengetahuan umum/ pendidikan dasar_. Mereka belum mengenyam
>     pendidikan dasar atau cuma beberapa tahun di SD lalu putus sekolah. *
>
>     *Tanggung jawab bersama*
>
>     Penuntasan tiga buta itu mendapat hambatan serius dari pesona
>     elektronik yang membuai dan menjauhkan masyarakat dari barisan huruf.
>     Pemerintah tidak boleh berdiam diri membiarkan industri pertelevisian
>     secara tak langsung melestarikan kemiskinan. Warga miskin yang lemah
>     perlu dilindungi dari dekadensi moral dan psikologis akibat tayangan
>     yang hanya mengikuti selera pasar.
>
>     *Sejauh ini industri pertelevisian menganut sistem tunggal rating
>     kuantitatif yang tak peduli dengan efek pembodohan tayangan.* Yang
>     dilihat hanya peringkat dan jumlah penonton, padahal rating tidak
>     mencerminkan kualitas tayangan. Bisa saja tayangan buruk memiliki
>     rating tinggi (*Erica L Panjaitan dan TM Dhani Iqbal, /Matinya Rating
>     Televisi,/* 2006). *Efek pembodohan itu bertentangan dengan upaya
>     mencerdaskan bangsa*.
>
>     Jangan berharap banyak pada industri pertelevisian yang berorientasi
>     bisnis. Untuk membendung efek pembodohan dan meningkatkan efek
>     pencerdasan televisi, Kementerian Komunikasi dan Informatika dapat
>     mengeluarkan rating tandingan yang memperhitungkan dampak sosial
>     tayangan terhadap psikologi penonton.
>
>     Gagasan Garin Nugroho bersama Yayasan SET (Sain, Estetika, dan
>     Teknologi) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia untuk memelopori
>     rating publik sebagai alternatif perlu didukung. Rating kualitatif
>     itu
>     melibatkan 560 orang dari berbagai latar profesi (dosen/guru, aktivis
>     LSM, jurnalis/redaktur, profesional/pebisnis, pemuka masyarakat)
>     di 14
>     kota besar.
>
>     Sebuah keluarga yang saya kenal "menyelamatkan" keempat anaknya
>     dengan
>     menempatkan televisi di ruang belakang, hanya ditonton seperlunya.
>     Tayangan juga dapat menjadi obyek puasa. *Keadaban bangsa tak boleh
>     digadaikan kepada kapitalisme berjubah media. *
>
>     Yonky Karman*/ Rohaniwan/
>
>
>     ------------------------------------------------------------------------
>     Looking for a deal? Find great prices on flights and hotels
>     
> <http://us.rd.yahoo.com/evt=47094/*http://farechase.yahoo.com/;_ylc=X3oDMTFicDJoNDllBF9TAzk3NDA3NTg5BHBvcwMxMwRzZWMDZ3JvdXBzBHNsawNlbWFpbC1uY20->
>     with Yahoo! FareChase.
>
>  

Kirim email ke