Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 64 Tahun III - 2007 Sumber: www.prakarsa-rakyat.org -------------------------------------------------------------- SEBERAPA KESIBUKAN KITA? Oleh: Yuli De Santos [1] Mestinya kita tak ragu memasuki ranah peradaban yang mempermudah aktifitas kerja demi kelancaran yang diingini. Atau jangan-jangan kita terlalu takabur mengira diri sudah menjejak ke dunia modern, tetapi sesungguhnya dunia itu masih jauh dari jangkauan. Secara fisik sudah modern, namun piranti pikir masih tertinggal di ranah tradisional. Segalanya termoderenisasi, kecuali karakter dan perilaku yang masih mengadopsi pola lama. Telepon seluler (ponsel) menawarkan citra mengenai diri seseorang yang penting, sibuk, dan gaya hidup tinggi. Fungsi ponsel sebagai alat komunikasi kemudian tergeser oleh citra ini. Seseorang akhirnya berniat memiliki ponsel atau mengoleksinya bukan karena faktor komunikasi sebagai pertimbangan utama, melainkan nilai lekatan pada ponsel. Bisa di bilang, kehadiran ponsel merevolusionarisasi manusia semuka bumi. Perilaku umum berubah dengan kehadiran benda kecil ini. Contoh paling sederhana, dari mulai bangun pagi saja, bukan berhias atau mandi dan sarapan yang pertama dilakukan, melainkan membuka ponsel dan memeriksa daftar SMS dan miskol. Tak perlu disebutkan satu persatu berapa banyak merk yang tersebar. Satu merk saja, kini terus mewujud menjadi sekian puluh serial yang menampilkan beragam kecanggihan yang ditawarkan menggiur. Dari beberapa orang yang ditemui di sekeliling penulis, seseorang telah memiliki lebih dari satu yang kadang terselip di saku celana, sambil menggenggam ponsel lainnya. Nilai ponsel melebihi fungsi komunikasinya, citra pun lebih dikejar. Agar benar-benar terlihat penting, kita tak peduli menerima panggilan kapan dan di mana saja. Di ruang pertunjukkan seni, dalam ruang kelas, atau di jalanan waktu mengendarai sepeda motor atau mobil, kita dengan sukaria tetap menerima panggilan tersebut. Apakah keputusan itu mengganggu orang lain atau membahayakan nyawa sendiri, tak penting. Malahan, semakin banyak orang mer! asa terganggu, justru semakin baik. Dia merasa panggilan pada p onselnya lebih penting daripada ketidaknyamanan banyak orang. Bernilai pasar Ponsel mungkin bukan hanya fetish atau barang pujaan, melainkan menjelma menjadi totem, potret kedirian ala manusia pra sejarah. Melepaskannya dari kehidupan sehari-hari merupakan kemustahilan, seperti upaya membalik roda sejarah. Meskipun! begitu, perilaku sewajarnya terhadap ponsel dan mementingkan aspek piranti komunikasi harus dikedepankan. Jika tidak, kita akan dicap sebagai manusia bebal yang disediakan teknologi modern. Setidaknya, fenomena kekinian yang mewabah di kalangan masyarakat kita, bukan seturut anggapan umum sebagai proses alamiah sebuah perkembangan masyarakat begitu saja. Sebaliknya, menurut pendapat penulis, kemunculan gejala ini, sekurang-kurang dilatarbelakangi tiga hal aktual. Pertama, membiaknya teknologi komunikasi berupa ponsel, telah mencerminkan produk dari relasi kekuasaan dengan permodalan yang ekspansif. Yang lebih mengutamakan unsur kebebasan pasar yang tak terbend! ung. Kedua, lebih dari seratus juta jiwa penduduk Indonesia merupakan lahan subur yang senantiasa dibidik, sebagai pangsa pasar penyetor akumulasi modal si pengusaha. Ketiga, proses adaptatif melalui media periklanan mampu menolong inovasi produk ponsel ini. Segolongan pengusaha ponsel lebih mampu mengonstruksi culture masyarakat kita terjerembab ke dalam konsumerisme. Di sinilah peran besar budaya yang tak pandang bulu. Anak kecilpun selevel sekolah dasar, harus merengek tak sekedar ingin mempunyai, tapi bergonta-ganti sejurus dengan iklan ponsel yang mereka dapati. Yang lebih penting, tanpa kebajikan ponsel menyediakan potensi yang destruktif terhadap human relationship. Bukan saja pemandangan mengganggu seperti mahasiswa atau dosen dalam kelas yang cuek menerima panggilan ponselnya, tetapi juga kecelakaan atau media pornografi kebablasan. Seperti peristiwa beberapa waktu lalu, kehadiran ponsel menjadi media perekam peristiwa tak senonoh seorang pejabat negara dan penyanyi dangdut. Sekaligus mentransfer berbagai foto dan video yang "digandrungi", dan kian tak mengenal ujung. -------------------------------------------------------------- [1] Penulis adalah anggota Serikat Buruh Solo Raya, Solo. [EMAIL PROTECTED]