Rabu, 19/09/2007 19:31 WIB

Pemerintah bisa terima Rp7 triliun per tahun dari Freeport
oleh : Rudi Ariffianto

JAKARTA: Pemerintah mestinya bisa menerima dana segar sekitar Rp7 triliun per 
tahun bila renegosiasi dengan Freeport di Grasberg, Papua, bisa menyentuh aspek 
bagi hasil dan pengawasan produksi.

Anggota Komisi XI DPR Fraksi PAN Drajad H. Wibowo mengatakan nilai itu bisa 
tercapai bila pemerintah memiliki keberanian menaikkan bagi hasil dari 
eksploitasi pertambangan di wilayah itu.

Selain itu, pemerintah seharusnya juga bisa melakukan pengawasan produksi untuk 
menutup celah penyelewengan yang mungkin terjadi. Langkah itu, kata Drajad, 
telah memiliki preseden sehingga masih mungkin dilakukan di Indonesia. Blovia, 
Venezuela, dan Rusia, termasuk dalam beberapa negara yang dicontohkannya.

"Misalnya kita renegosiasi mirip dengan Bolivia, kita bisa peroleh tambahan Rp6 
triliun hingga Rp7 triliun per tahun," katanya.

Bolivia, menurut dia, berani mematok bagi hasil 80% untuk pemerintah dan 20% 
untuk kontraktor. Untuk Indonesia, imbuhnya, bagi hasil untuk pemerintah 
setidaknya bisa diperoleh hingga 60%. "Namun memang tidak harus sedrastis yang 
diterapkan Bolivia. Bisa diatur ulang lagi. Tapi kalau mereka menolak juga, 
silakan pergi," tandasnya.

Saat ini, pemerintah dan Freeport sedang memproses negosiasi royalty hasil 
tambang dari 1% menjadi 3% untuk emas, dan dari 3% menjadi 6% untuk tembaga. 
Drajad menilai, hasil renegosiasi tersebut tidak memuaskan karena tidak akan 
memberikan tambahan penerimaan negara yang signifikan.

"Itu tidak signifikan tambahannya mungkin hanya berapa ratus miliar." Judicial 
review Terkait perkembangan proses judicial review terhadap pasal 11 ayat 2  UU 
22/2001 tentang Migas oleh beberapa anggota parlemen, Menteri ESDM Purnomo 
Yusgiantoro menyatakan pemerintah menilai permohonan tersebut tidak tepat.

Menurut dia, kontrak kerjasama migas bukan termasuk perjanjian internasional 
dan tunduk pada hukum keperdataan, bukan hukum internasional. "Hubungan 
komersial antara pemerintah dan perusahaan asing bukan domain pasal 11 UUD 1945 
karena pemerintah pada konteks ini merupakan pelaku komersial dan bukan sebagai 
negara dengan atribut kedaulatan," katanya.

Dengan demikian, lanjut Purnomo, pemerintah meminta kepada mahkamah konstitusi 
(MK) untuk menolak permohonan pemohon. Purnomo juga mempertanyakan posisi 
pemohon yang merupakan bagian dari parlemen pembuat UU.

Sebelumnya, bebapa anggota parlemen meminta MK membatalkan pasal 11 ayat 2 UU 
Migas karena dinilai telah menghilangkan peran parlemen untuk memberikan 
persetujuan atau menolak perjanjian KKS. Parlemen menilai KKS sebagai bagian 
dari bentuk kerjasama internasional, di mana parlemen seharusnya dilibatkan 
dalam proses pengambilan keputusan.

Drajad H. Wibowo menegaskan KKS bisa memberikan dampak bagi keuangan negara dan 
usaha yang diperjanjikan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga, 
imbuhnya, parlemen harus dilibatkan. Keterlibatan parlemen, kata dia, memang 
tidak bisa sampai pada urusan detail teknis karena justru akan menghambat 
proses kegiatan usaha yang bisa berdampak negatif. (dj) 

bisnis.com
URL : http://web.bisnis.com/sektor-riil/tambang-energi/1id23453.html 


© Copyright 1996-2007 PT Jurnalindo Aksara Grafika

<<logo-bisnis-small.jpg>>

Kirim email ke