Salam,

Sabtu lalu, saya melihat ada iklan besar lowongan kerja bertajuk KARIER di 
MEDIA, rupanya ada koran baru yang mau terbit di Jakarta.  Barangkali ada yang 
tahu ini koran apa atau dari grup siapa.

Ramai beredar sas-sus bahwa SCTV akan menerbitkan koran melengkapi tayangan 
Liputan 6 nya, lalu juga ramai beredar rumor INDOSIAR melakukan hal yang sama, 
lalu TRANSCORP (yang kemudian ternyata memilih berkolaborasi dengan GRAMEDIA 
jadi agak musykil menerbitkan koran sendiri)...lalu belakangan katanya ANTV 
dengan Karni Ilyas di belakangnya mau menerbitkan koran.  Mana yang benar? 
Wallahu alam.

Tapi, apapun atau siapaun yang bakalan menerbitkan koran ini, kalau dia tak 
punya back up finansial dan SDM yang handal, maka bisa dikatakan dia cuma 
menuju gerbang "buang uang"....

Saya pernah mengikuti perencanaan penerbitan dan membidani penerbitan beberapa 
koran di Jakarta.  Umumnya, para perencana keuangannya melulu hanya berpatokan 
pada faktor teknis...cost dan income.  Biaya cetak. biaya operasonal biaya 
overhead versus income sirkulasi dan iklan...maka terbitlah oplah harus sekian, 
iklan harus sekian.  Pada akhirnya--kebanyakan-- koran2 itu kehabisan napas di 
tengah jalan, karena ada beberapa faktor non teknis yang lupa (atau tidak masuk 
pertimbangan) karena minimnya pengetahuan para perencana itu ...

Faktor non teknis itu seperti :

1. Jeda waktu komersial karena masa konsolidasi intern.  Kalau ditilik dari 
lowongan yang ada, dipastikan semua posisi di dalam tubuh redaksi kosong 
(kecuali PEMRED yang tidak dicari).  Artinya, bisa jadi timnya bisa sama sekali 
baru, dengan reporter yang --bisa jadi pula -- wajah-wajah baru.  Biasanya akan 
terjadi kesenjangan antara reporter baru dengan redakturnya (yang sedikitnya 
pasti punya pengalaman, walaupun kaang background-nya bukan di koran).  
Persoalan kesenjangan mendasar adalah soal pemenuhan DEADLINE.  Rata-rata 
kejatuhan koran2 itu karena materi yang terlambat datang ke percetakan.  Lebih 
celaka lagi, kalau percetakannya numpang alias bukan percetakn 
sendiri...meleset dari kesepakatan dealine beresiko makin telat, karena slot 
waktunya terpakai untuk mencetak koran lain.   Belum lagi membicarakan 
kesenjangan lain soal visi, misi, gaya pelaporan, gaya penulisan, flow sistem 
informasi penulisan hingga penilaian (yang rata2 pemain baru masih pakai manual 
alis sistem flash disk).  Walaupun tak kelihatan (karena ada di dalam dapur), 
faktor ini biasanya SANGAT BERPOTENSI membuat semua sistem distribusi (yang 
sebagus apapun) akan gagal, karena koran terlambat (apalagi koran baru) bukan 
lagi koran namanya...tapi bungkus martabak.  Di agen atau pengecer koran ini 
tak akan sampai di tangan pembaca.

2. Pemahaman redaksi terhadap keseluruhan kerja bagian komersial.  Umumnya 
redaktur pendatang baru (palagi yang bukan berasal dari koran) dan para 
reporter baru yang fresh graduate mengira pekerjaan mereka selesai pada saat 
tenggat terpenuhi.  Padahal tak begitu.  Dengan persaingan yang ketatnya minta 
ampun seperti sekarang ini, faktor pemilihan isi yang tepat, headline yang 
cocok dengan karakter si koran adalah persoalan maha penting yang mempengaruhi 
kerja para pencari pelanggan dan para pencari iklan.  Tim Redaksi yang old 
fashioned selalu dengan mudah menyalahkan tim sirkulasi bila koran tak terlihat 
di lapangan, tak sampai di tangan pelanggan tepat waktu atau oplah tak kunjung 
mencapai target; demikian juga dengan iklan.  Biasanya lingkaran setan ini yang 
membuat sebuah koran baru juga terjebak dalam "circle down effect" : yaitu 
ketika oplah tak kunjung membesar (tapi retur yang membesar), oplah justru 
dikurangi, timbullah display di lapangan payah, pengiklan tak melirik karena 
koran sulit ditemukan, keuangan makin payah lalu oplah makin 
dikurangi...ujungnya wassalam.

3. Hambatan atau perlawanan dari kompetitor.  Terutama di jaringan DISTRIBUSI.  
Bila manajer sirkulasinya tipe koboi tahun 1960-an atau fresh graduate yang 
direkrut karena gelas masternya saja, maka bisa dipastikan ini mempercepat  
proses kehancuran sebuah koran.  Jaringan distribusi ibarat urat nadi, dan 
kompetitor yang sudah exist tahu betul soal itu.  Repotnya, belum ada penerbit 
yang bisa membuat jaringan distribusi sendiri karena sangat mahalnya biaya 
(bayangkan, susah lho mencari orang yang mau kerja tiap hari tanpa libur dari 
jam 03.00 - 08.00 gak peduli hujan atau panas...kalaupun ada pasti minta gaji 
gede).  Bila kompetitor sudah mulai bergerak. maka tidak melulu cuma insentif 
yang diberikan kepada agen atau pengecer, tapi juga tekanan untuk tidak dikirim 
produk.  Ini yang menakutkan para agen...
Mensikapi sistem insentif, bagi pemain baru yang punya back up keuangan cukup 
sih barangkali tak jadi masalah....tapi buat penerbit dengan uang pas-pasan 
pasti ini jadi problem (dan hampir dipastikan, biasanya ini tidak masuk dalam 
perencanaan keuangan).  Apalagi menghadapi tekanan distribusi di tingkat 
agen.... 

4.  Di Jakarta, hampir bisa dikatakan semua percetakan koran sudah "penuh".  
Bukan persoalan mudah menumpang cetak di percetakan2 itu, serta umumnya 
percetakan itu milik grup mereka sendiri yang notabenen menerbitkan koran juga. 
 Kecuali mau invest untuk bikin percetakan sendiri, maka lain persoalan.  
Persoalan yang dihadapi dengan numpang cetak adalah slot waktu yang disediakan 
terbatas...umumnya slot yang tersedia sudah lewat dari prime time...yang 
membuat koran baru pasti telat.  Padahal, tuntutan dari jaringan distribusi 
untuk koran baru adalah kedatangannya yang lebih bapgi ketimbang kompetitor 
yang sudah eksis...ini boleh dibilang tak bisa ditawar.  Repotnya lagi, koran2 
besar seperti Kompas dan Sindo, dengan percetakan mereka sendiri (yang notabene 
cukup canggih), bisa membuat koran mereka datang sebelum jam 03.00 di tangan 
agen agen.  Ditinggal agen atau pengecer?...maka koran baru akan langsung masuk 
gudang retur !

5. . SDM yang direkrut pas-pasan.  Tidak mudah mencari tenaga yang bisa 
menggerakkan koran menjadi besar saat ini.  Di Redaksi, bajak-membajak adalah 
hal yang jamak dilakukan.  Posisi tawar yang tinggi, membuat gaji redaktur 
berpengalaman akan makin mahal.  Kecuali, ngakunya pengalaman tapi berasal dari 
koran2 kelas kambing dengan oplah di bawah 30.000 per hari.  Kalau sebagian 
besar model begini yang direkrut maka bisa dipastikan si koran baru juga 
bakalan bernasib sama.  Belum lagi mencari tenaga pemasaran yang handal, 
terutama di sirkulasi dan distribusi sebagai ujung tombak pendobrak.  Untuk 
tenaga ini tak ada sekolahnya...yang berpengalaman sulit dicari yang "bersih" 
rekord-nya.  Tanya saja ke agen, maka agen akan membeberkan daftar black list 
para sirkulator media cetak.  Belum lagi, manager sirkulasi yang punya 
pengalaman menerbitkan koran baru dengan kelas oplah di atas 50.000 dan pernah 
menghadapi tekanan kompetitor seperti Kompas...satu dari seratus berangkali.
Persoalan lain, ya...iklan.  Tingkat "perpindahan" orang iklan cukup tinggi, 
harga mereka jadi mahal.  Lagi-lagi lain urusannya kalau asalnya dari koran 
yang iklannya asal tembak atau injak kaki...yang ada, si koran baru akan juga 
terima image yang sama seperti si orang tersebut   

Manajemen yang tak bisa cepat memahami kesalahan itu akan cenderung membuat 
koran terperosok makin dalam.  Duitnya makin lama makin habis, biaya promosi 
makin bengkak...tapi kinerja tak kunjung membaik (internal dan eksternal).  
Akhirnya, biasanya keputusan panik seperti mengurangi halaman, memperkecil 
ukuran, banting harga....smpai mengurangi gaji (dan at lasti mengurangi orang 
alias PHK) akan dilakukan.  Tidak ada jaminan yang berpengalaman tak mengalami 
ini...liat Koran Tempo atau kalau kasus koran baru ya...Jurnal Nasional 
misalnya.

Tapi, show must go on.  Pilihan ada pada "yang punya duit"  sadar 
duluan....atau terperosok belakangan (karena sadarnya belakangan).  

Wassalam, 


Basri Adhi
[EMAIL PROTECTED]
Veteran tukang koran

Kirim email ke