KOMPAS Jumat, 21 September 2007
Multiekspresi Keberagamaan Zuhairi Misrawi Indonesian Update 2007 yang diadakan oleh The Australian University, Canberra, pada 6-7 September mengangkat tema yang sangat menarik, "Expressing Islam: Religious Life and Politics". Pola keberagamaan di Tanah Air sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari unsur penting, yaitu politik dan kebudayaan. Keduanya memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi pola keberagamaan. Di satu sisi, keterlibatan agama dalam politik tidak bisa diabaikan, yang ditandai dengan menguatnya identitas keagamaan dalam ranah politik. Namun di sisi lain, keterlibatan kebudayaan sebagai bagian integral dalam pola keberagamaan tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itu, Prof MC Ricklefs menyatakan perlunya melihat tiga masalah utama dalam memahami pergulatan antara agama dan politik. Pertama, hilangnya pemahaman atas sejarah. Kedua, konsentrasi yang berlebihan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu elitis, khususnya yang bersifat Jakarta sentris. Ketiga, simplifikasi terhadap identitas keagamaan, yang biasanya hanya membuat kutub bipolar: ekstremis di satu sisi dan moderat di sisi lain. Salah satu contoh yang amat menarik untuk dikaji adalah ekspresi keagamaan orang-orang Jawa. Dalam penelitiannya, Ricklefs menemukan pelbagai bentuk ekspresi keberagamaan dalam masyarakat Muslim Jawa. Identitas keberagamaan masyarakat Muslim di Jawa sangatlah plural. Uniknya keragaman tersebut masih eksis hingga sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi keberagamaan ditentukan oleh banyak faktor, baik itu politik, so- sial, paham keagamaan, maupun kebudayaan. Potret masyarakat Muslim Jawa yang plural itu akan memberikan warna tersendiri dalam ranah sosial politik, terutama dalam rangka membangun semangat kebangsaan. Di sisi lain, satu hal yang amat menggembirakan adalah hasil survei terakhir dari sejumlah lembaga lembaga survei-di antaranya Pusat Pengembangan Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta-menunjukkan upaya politisasi agama melalui ranah politik mengalami penurunan yang signifikan. Pilihan terhadap demokrasi dan NKRI mengalami peningkatan. Kendatipun ekspresi keberagamaan yang bercorak radikalistik selalu hadir ke permukaan, geliat keberagamaan pada level akar rumput masih menghendaki demokrasi dan kebangsaan. Hal tersebut diamini oleh Robin Bush (2007) bahwa keterlibatan kalangan Muslim dalam membangun demokratisasi dan mempertahankan identitas kebangsaan sangatlah besar, khususnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Salah satu contoh adalah gerakan yang disponsori oleh Nahdlatul Ulama di Nusa Tenggara Barat. Mereka melakukan pemaknaan kontekstual terhadap forum keagamaan, yang selama ini hanya bersifat ritual menjadi bercorak sosial. Mereka menggelar forum "istigosah anggaran". Forum istigosah pada hakikatnya adalah forum ritual keagamaan, tetapi di dalamnya diisi dengan seruan moral untuk mewujudkan anggaran yang berbasis kemaslahatan publik dan transparansi. Di sini istigosah digunakan sebagai instrumen untuk ikut serta dalam mengatasi problem korupsi. Kegiatan semacam ini amat penting karena pada akhirnya agama memberikan dampak yang sangat besar bagi pencerahan publik, terutama dalam demokrasi. Dengan demikian, agama pada akhirnya tidak bisa dipisahkan dari ruang publik. Agama harus benar-benar direvitalisasi untuk melapangkan jalan bagi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial. Di sini menegakkan syariat pada hakikatnya menegakkan tujuan utama syariat, yaitu keadilan sosial, perdamaian, dan demokrasi. Fenomena baru Salah satu fenomena baru yang juga merupakan ekspresi keberagamaan adalah menguatnya komodifikasi agama. Menurut Greag Fealy, setidaknya ada dua hal yang paling menonjol, yaitu munculnya perilaku pietistik dan berkembangnya bisnis berbasis agama. Keduanya merupakan fenomena baru yang paling menonjol dan mampu menciptakan pasar tersendiri. Di sisi lain, berkembangnya teknologi informasi internet telah memunculkan kemandirian dalam memahami paham keagamaan. Menurut, Nadirsyah Ho- sen, www.google.com telah menjadi "kiai baru" yang menyediakan fatwa keagamaan sehingga pola relasi keberagamaan semakin terbuka. Di satu sisi situs ini dapat memfasilitasi publik untuk memahami agama secara lebih mendalam, tetapi di sisi lain juga menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, fatwa tidak hanya lahir dari proses pengkajian kolektif (al-jama'i), tetapi juga bisa lahir dari dunia antah berantah, yang keabsahannya dan korelasi kontekstualnya sangat berbeda dari paham keagamaan dan keragaman budaya di Tanah Air. Dalam hal ini, ekspresi keagamaan akan memberikan corak baru, yang secara nyata makin menantang semua pihak untuk melakukan upaya-upaya strategis dan kreatif, terutama dalam rangka mensinergikan antara konteks historis dan realitas kekinian. Pada masa lalu ekspresi keagamaan sangat ditentukan oleh latar historis dan latar kultural, yang menyebabkan keragaman selalu hadir dan direkonsiliasikan melalui semangat kebangsaan. Pada masa kini dan lebih-lebih pada masa mendatang, tantangan makin nyata disebabkan munculnya problem keterputusan yang amat akut dengan masa lalu, yang hampir mewujud dalam pelbagai lapisan masyarakat. Zuhairi Misrawi Direktur Moderate Muslim Society (MMS); Kini Sedang Belajar di Melbourne