Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org 
           
                  SADAR 

                  Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
                  Edisi: 66 Tahun III - 2007
                  Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
                 

--------------------------------------------------------------
                 


                  HARI TANI YANG BUKAN MILIK PETANI

                  Oleh: Aris Djulianta [1]



                  ...

                  Kalau ke kota esok pagi, sampaikan salam rinduku

                  Katakan padanya, padi-padi telah kembang

                  Kuning-kuning seluas ladang, roda giling berputar-putar

                  Siang malam, tapi bukan kami punya

                  ...



                  Petikan bait lagu di atas mengingatkan kita semua akan 
kampung halaman nun jauh di sana yang dengan keramahan masyarakatnya, dengan 
aroma khas para petani desa yang menyengat dengan semangat kerja dan jutaan 
harapan kelak di hari yang ke-110 dapat memandang hamparan bulir-bulir padi 
mereka yang mulai menguning pertanda akan segera dipanen. Tetapi, akhir dari 
petikan lagu di atas, semakin membuat kita sebagai penikmat bulir-bulir padi, 
yang mereka (petani desa) tanam dan konon akan berubah nama menjadi nasi, 
semakin bertanya-tanya: kenapa, mengapa, ada apakah ini? Ketika penanam padi 
melihat hamparan tanamannya sudah mulai menguning dengan nada rendah hati khas 
petani desa bergumam: INI SEMUA BUKAN KAMI PUNYA.  Nah, pertanyaan kita: LHO! 
TERUS PUNYA SIAPA?



                  Bicara mengenai petani, tentu tidak akan bisa selesai sebelum 
sejarah manusia ini hilang dari peredaran.  Mengingat Indonesia termasuk dalam 
mazhab negara agraris yang artinya sebagian besar dari penduduk negeri ini 
menggantungkan hidupnya dari bertani dan petani sebagai titel yang harus 
disematkan pada akte kelahiran dan raport anaknya kelak ketika sekolah. 






                  Titel Petani dan Retorika

                  Sebagai penikmat jerih payah petani, tentunya kita semua 
(tukang buruh bangunan, jongos kantoran, politikus, presiden dan tetek-bengek 
yang masih doyan makan nasi) harus berterima kasih yang tak terkira kepada para 
petani yang hampir sepanjang hidupnya dihabiskan di ladang, sawah, dan kebun 
yang tidak diketahui itu ladang siapa, sawah siapa, kebun siapa yang digarap. 
Petani kebanyakan sekarang hanya sebatas penggarap yang diperas tenaganya 
siang-malam dengan upah murah. Sehingga untuk memasak nasi sehari-haripun harus 
menjual bulir-bulir padi kering hasil upahan dari sang pemilik lahan yang 
mereka garap dan kerjakan. Kondisi demikian ini sangat memprihatinkan di tengah 
negeri yang katanya Gemah Ripah Loh Jinawi (Negeri yang subur makmur), mengapa 
harus menjual calon nasi untuk membeli nasi? 



                  Apabila ditelusuri dari sejarah pembangunan pertanian, sejak 
departemen pertanian didirikan pada dekade 1900-an di zaman Belanda maupun 
pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintahan saat itu hampir mempunyai tekad 
yang sama dengan pemerintahan SBY, yaitu mencapai ketahanan pangan dan 
peningkatan kesejahteraan petani. Bedanya, pada pemerintahan SBY ada tambahan 
program peningkatan agrobisnis. Jika kita evaluasi, tentu akan muncul kritik 
pada! kita karena dapat dikatakan perjalanan panjang pembangunan pertanian yang 
telah dilalui negeri ini justru tetap belum menunjukkan hasil nyata, terutama 
dari aspek kesejahteraan petani. Petani tetap dalam kemiskinan dan cenderung 
kian kehilangan tanah sebagai alat dan ruang kehidupannya. Lebih jauh sebagai 
contoh, di pedesaan di tempat tinggal penulis telah terjadi penurunan 
produktivitas perorangan. Hasilnya, kemiskinan berkembang merata di pedesaan. 
Kita menyadari, pilihan strategi pembangunan nasional di zaman Orde Baru yang 
lebih mengutamakan peningkatan pertumbuhan membuat petani menjadi anak tiri 
pembangunan. Pilihan strategi ini, selain membuat petani terasing dengan 
sumber-sumber agraria, juga melahirkan ketimpangan struktur sosial ekonomi pada 
kehidupan di pedesaan. Petani menjadi buruh di tanahnya sendiri, dan penduduk 
desa kian tercerabut dari kehidupan ekonomi di pedesaan. Pemberian HGU (Hak 
Guna Usaha) dan peruntukan lain untuk usaha -usaha perkebunan, hutan tanaman 
industri, dan lainnya dengan cepat mengalihkan penguasaan sumber-sumber agraria 
pada kelompok swasta. Sehingga dampaknya adalah perebutan tanah, di mana 
petani, masyarakat adat, dan rakyat desa berhadapan dengan kelompok swasta 
sekaligus penguasa (buto kempung/raksasa).  Satu lagi yang dilupakan pemerintah 
adalah  pembangunan pertanian nasional, yang kini terbengkalai. Semenjak 
dicanangkan, program revitalisasi pertanian dianggap petani hanya sebagai 
retorika belaka. Di pedesaan, petani sebagai mayoritas rakyat dibuat menderita 
oleh nihilnya sumber produksi pertanian. Sementara harga ongkos pengolahan 
pertanian, pupuk dan benih semakin meroket saja. Hal inilah yang mengakibatkan 
petani miskin terus bertambah, dan kedaulatan pangan petani terancam. 





                  Anjuran tanam padi usia pendek VS pertanian organik

                  Menghadapi musim tanam I tahun 2007-2008, para petani 
dianjurkan menggunakan varietas padi yang berusia pendek dengan hasil maksimal 
lantaran berdasarkan pengalaman musim tanam tahun 2006-2007, terjadi 
pengunduran masa tanam hingga dua bulan. Bahkan hingga bulan September ini 
belum ada tanda-tanda datangnya musim hujan. Jenis padi varietas unggul siap 
panen hanya membutuhkan waktu 100 -110 hari. Sedangkan padi lokal waktunya  
sampai 120 - 125 hari baru dipanen. Adapun jenis padi varietes unggul yang 
dianjurkan ditanam petani tersebut adalah jenis padi ciherang, mentik wangi, 
dan IR 64.  Memang dari sisi waktu siap panennya lebih pendek, akan tetapi 
dengan anjuran yang semacam ini tentunya semakin menjerat leher para petani 
dengan dasar logika petani sudah harus dipaksa untuk membeli benih sesuai 
anjuran serta harus membeli pupuk yang dianjurkan juga. Karena menurut 
pengalaman, padi varietas unggul akan berbulir banyak ketika pupuk kimia 
penyuplai kesuburan batang padi tersebut terpenuhi. Jelaslah bahwa penikmat 
nasi akan semakin menambah endapan racun yang ada di tubuhnya, termasuk juga 
petani kita juga. Sebagai contoh sample darah yang diambil dari 550 petani di 
Kabupaten Magelang - Jawa Tengah,  menunjukkan 99,8 % petani di kabupaten 
tersebut terdapat racun pestisida golongan berat, sedang dan ringan. 



                  Ini akan lain kejadiannya ketika petani kita segera beralih 
dari pertanian modern yang penuh dengan pesanan global ke pertanian organik. 
Mengapa demikian? Karena sistem tanam padi organic/System of Rice 
Intensifications (SRI) memiliki beberapa keuntungan. Salah satunya, bisa 
menghemat kebutuhan air hingga mencapai 30 persen dari kebutuhan total untuk 
pertanian modern, kelebihan lainnya adalah ramah lingkungan karena menggunakan 
pupuk yang organik pula, rasa nasi yang lebih enak, mampu mendorong petani 
untuk memelihara ternak yang akan digunakan sebagai produsen pupuk! organik, 
dan harga berasnya juga mampu bersaing. Selain itu, padi SRI yang siap panen 
dari sawah, tidak busuk meskipun terkena hujan selama satu mingguan. 



                  Varietas padi organik antara lain: padi slegreng, pandan 
wangi, menthik wangi, molog, mandel, cempo putih, sedang jenis ketan: glempo, 
salome, serang, ketan hitam.  Sistem penanaman padi berbasis organik ini selain 
meningkatkan kebutuhan yang sehat dan lingkungan yang lestari diharapkan pula 
dapat memenuhi kebutuhan permintaan. Jika hal ini dilaksanakan bukan mustahil 
kepentingan pembangunan secara berkelanjutan dapat terwujud, namun masih banyak 
kendala yang dihadapi dengan berbagai macam alasan petani untuk beralih ke 
pertanian organik. Salah satunya: belum memasyarakat dan sistem budi daya ini 
dirasa lebih rumit dan adanya kesulitan untuk memperoleh pupuk organik. Akan 
tetapi anggapan kesulitan pupuk yang menjadi masalah ini, bisa dibuat sendiri 
dengan proses yang tidak rumit, hanya dengan mengorbankan seperlima bagian 
tanahnya untuk produksi pupuk organik. Manfaat yang bisa dirasakan dengan 
menerapkan pupuk organik antara lain:  mengembalikan kesuburan tanah yang sudah 
rusak, tanah menjadi gembur dan mudah diolah, tanaman lebih tahan kering, rasa 
beras yang dihasilkan lebih enak.





                  Raksasa itu bernama Globalisasi pertanian

                  Globalisasi mempunyai dua pengertian: pertama, sebagai 
definisi yaitu proses menyatunya pasar dunia menjadi satu pasar tunggal, dan 
kedua, sebagai "obat kuat" yang menjadikan ekonomi lebih efisien dan lebih 
sehat menuju kemajuan masyarakat dunia. Dengan dua pengertian ini jelas bahwa 
menurut para pendukung globalisasi "tidak ada pilihan" bagi setiap negara untuk 
mengikutinya. Jika tidak mau ditinggalkan atau terisolasi dari perekonomian 
dunia yang mengalami kemajuan sangat pesat. Benarkah pilihannya hanya dua 
sebagaimana dikemukakan paham neoliberalisme? Benarkah tak ada hak sama sekali 
bagi setiap negara untuk "berbeda" dengan menerapkan sistem ekonomi yang sesuai 
sistem nilai dan budaya  negara-negara bersangkutan? Ini terkait berbagai mitos 
tentang Globalisasi antara lain: Mitos: Globalisasi akan mengakhiri kelaparan 
dunia, Realitasnya: Globalisasi pertanian telah gagal dalam mengatasi krisis 
kelaparan di seluruh penjuru dunia. Pada kenyataannya, justru telah memperburuk 
krisis. Selama dua dasawarsa terakhir, jumlah pangan di dunia terus meningkat, 
namun meningkat pula jumlah kelaparan. Problemnya ada dalam distribusi yang tak 
merata. 



                  Globalisasi produksi pangan telah meminggirkan petani kecil 
dari  tanahnya dan menggantinya dengan industri pertanian kimia! wi yang padat 
mesin. Globalisasi produksi pangan memproduksi pangan yang salah dalam suatu 
proses yang membuat jutaan petani kehilangan tanah, tak punya rumah, miskin 
uang, dan bahkan tak bisa memberi makan untuk dirinya sendiri. Inilah jawaban 
atas gumaman dari jumlah seluruh penduduk negeri dengan nama Indonesia yang 
70%-nya adalah petani dan jawaban baris paling bawah dari lirik lagunya Mas Leo 
Kristi.



                  SELAMAT MERAYAKAN HARI TANI tanggal 23 September,  BERJUANG 
MELAWAN  "RAKSASA" PENGHISAP SETIAP TETES PELUH TUBUH PETANIKU! LAWAN SEGALA 
BENTUK PENINDASAN TERHADAP PETANI!




                    

--------------------------------------------------------------


                  [1] Penulis adalah Ketua Sarekat Petani "BAJAK TANI 2001."  
Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Djogjakarta 


                 
                    
           
            [EMAIL PROTECTED]    
     



Reply via email to