Mengubah yang Terburuk Menjadi yang Terbaik
Oleh: 
Roy Sembel, 
Direktur MM Finance and Investment, Universitas Bina 
Nusantara (www.roy-sembel.com), 
Sandra Sembel,
Pemerhati dan praktisi pengembangan SDM 
([EMAIL PROTECTED])



Jika Anda mendapat tawaran untuk menduduki posisi puncak di sebuah perusahaan, 
apa yang akan Anda lakukan? Menerima tawaran ini atau menolaknya? Hampir dapat 
di-pastikan Anda akan menerimanya. Tapi, tunggu dulu. Bagaimana kalau 
perusahaan yang ditawarkan untuk Anda pimpin itu sedang berada di ujung jurang 
kehancuran (dua kali pernah hampir bangkrut dan sekarang sedang mengalami 
krisis dan menunjukkan tanda-tanda menuju kebangkrutan)? Tanda-tandanya sangat 
jelas: perusahaan merugi, hampir kehabisan uang tunai, dililit utang, karyawan 
berseteru dengan top management, dan yang terburuk adalah perusahaan sudah 
mulai ditinggalkan oleh pelanggan karena kualitas layanan yang sangat buruk. 


Nah, apakah Anda jadi memutuskan untuk menerima tawaran menjadi CEO di 
perusahaan yang sedang melaju menuju kematiannya ini? Kali ini mungkin Anda 
akan berpikir lebih lama sebelum memberi jawaban. 


Jawaban 'Ya' bisa saja tetap Anda berikan jika Anda tahu strategi yang bisa 
Anda terapkan untuk memutar balik keadaan krisis menjadi sukses. Ingin tahu 
strategi yang bisa mengubah kondisi terburuk menjadi terbaik? Mari kita berguru 
pada Gordon Bethune yang sudah berhasil mengubah Continental Airlines yang 
ketika itu sedang berada di ujung kematian menjadi salah satu perusahaan 
penerbangan terbaik di Amerika Serikat.


Terpuruk Dalam Kondisi Terburuk


Apa ciri-ciri perusahaan yang sedang berada di ujung jurang kehancuran? Tidak 
sulit untuk melihat tanda-tandanya. Andapun pasti dapat menyebutkan 
indikatornya, tiga yang paling penting adalah sebagai berikut.

Merugi


Secara sederhana, perusahaan merugi jika pengeluarannya lebh besar dari 
pendapatan. Keuntungan ibarat darah bagi perusahaan. Jika keuntungan tidak 
kunjung menjelang sampai memakan habis persediaan uang tunai perusahaan, maka 
perusahaan lambat laun akan berhenti beroperasi, apalagi jika keadaan 
diperburuk dengan jumlah utang yang menggunung. Tak ayal lagi dentang lonceng 
kematian semakin keras terdengar sebagai peringatan bagi pimpinan maupun 
karyawan perusahaan tersebut untuk bersiap diri menghadapi ke-mungkinan 
terburuk: perusahaan gulung tikar.

Karyawan vs. "Top Management"


Indikator lain yang menunjukkan bahwa perusahaan sedang dalam krisis adalah 
perseteruan dalam perusahaan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. 
Sepertinya pepatah ini masih berlaku di dunia bisnis, apalagi antara karyawan 
dan top management. Divisi yang satu menyalahkan divisi yang lain. Karyawan 
tidak lagi menaruh rasa hormat dan percaya pada pimpinan. Kondisi ini dapat 
diibaratkan seperti para pendayung dalam satu perahu yang mendayung ke arah 
yang berlawanan sehingga kapal berjalan di tempat, bahkan bila kekuatan yang 
berseteru tidak imbang, kapal bisa oleng dan karam. Jadi, tanpa adanya 
persatuan dan semangat saling mendukung, sudah dapat dipastikan, perusahaan 
akan melaju ke arah perpecahan yang ujungnya tentu saja kebangkrutan.

Pelanggan Lari
Indikator yang paling penting untuk dicermati adalah pelanggan. Keberadaan 
perusahaan sangat tergantung pada dukungan pelanggan, seperti tubuh manusia 
yang tergantung pada jantung yang berdetak. Jika pelanggan sudah tidak percaya 
lagi pada perusahaan karena kinerja yang buruk (kualitas layanan dan produk 
yang buruk), maka perusahaan akan kehilangan kepercayaan pelanggan karena citra 
buruk yang terbentuk. Hilangnya kepercayaan pelanggan dapat menyebabkan larinya 
pelanggan ke perusahaan pesaing. Perusahaan yang ditinggalkan oleh pelanggan 
akan kehilangan kehidupan.


Ketiga indikator penting ini ada pada Continental Airlines ketika Gordon 
Bethune ditunjuk menjadi CEO pada tahun 1994. Kondisi krisis sudah menggeragoti 
Continental Airlines selama 10 tahun sebelumnya.

Bangkit Menjadi Yang Terbaik
Lalu, bagaimana mengubah kondisi terburuk menjadi terbaik? Memang tidak mudah, 
tetapi Gordon Bethune dan timnya telah berhasil mengubah Continental Airlines 
dari perusahaan yang sudah hampir gulung tikar menjadi salah satu perusahaan 
terbang terbaik di Amerika Serikat. Bethune menerapkan empat strategi berikut, 
seperti yang dikutip oleh Neff and Citrin dalam buku mereka 'Lessons from the 
Top". 


Mencetak Keuntungan


Langkah pertama adalah memompakan kembali darah keuntungan dalam urat nadi 
perusahaan. Jika perusahaan belum bisa mendongkrak pendapatan, maka langkah 
emergensi awal adalah memotong biaya. Salah satunya yang dilakukan oleh Bethune 
di Continental Airlines (CA) adalah memangkas divisi yang merugi: CALite. 
Selain itu, Bethune juga merasa perlu untuk menutup jalur penerbangan yag 
banyak menyebabkan kerugian dan memfokuskan perbaikan pada jalur 'gemuk' yang 
menjadi kekuatan perusahaan. 

Membuat "Cash Flow" Menjadi Positif


Pemotongan biaya saja tidaklah cukup. Langkah ini perlu dilengkapi dengan upaya 
mengubah cash flow yang negatif menjadi positif. Banyak cara yang bisa 
dilakukan, antara lain dengan merestrukturisasi utang dan melakukan 
penghematan. Restrukturisasi utang dilakukan dengan negosiasi ulang mengenai 
penjadwalan utang. 


Dalam hal ini perusahaan perlu menunjukkan pada investor, komitmen yang tinggi 
untuk berubah ke arah yang positif. Gordon Bethune juga mengurangi jenis 
armada, dari 13 jenis menjadi separuhnya (enam jenis), dan akhirnya menjadi 
empat jenis saja. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan dan mengefisiensikan 
perawatan dan pembelian 'spareparts' pesawat, dan meningkatkan likuiditas 
perusahaan.

Memperbaiki Kinerja


Untuk memenangkan kembali pelanggan ternyata melalui iklan saja tidaklah cukup. 
Gordon dan crew berjuang keras tidak hanya memberi janji tetapi juga bukti 
dengan memperbaiki kinerja CA. 
Mereka memperbaiki ketepatan waktu kedatangan dan keberangkatan (tidak lagi 
terlambat) dan memperbaiki kinerja staf 'back office' dalam melayani pemesanan 
tiket, check in, serta penanganan bagasi penumpang (untuk meniadakan masalah 
bagasi yang hilang atau yang salah tujuan). CA juga berjuang untuk memperbaiki 
kualitas makanan dan layanan penumpang di udara. 


Langkah yang paling penting dari CA adalah 'meminta maaf' pada pelanggan mereka 
(frequent flyers) dan memberikan komitmen untuk melakukan perubahan positif. 
Selain itu, CA juga mengambil sikap proaktif untuk mengetahui apa yang 
diinginkan pelanggan dari mereka, mendengarkan serta menindaklanjuti keinginan 
dan keluhan dari pelanggan. Ternyata tindakan-tindakan ini bisa mengembalikan 
kepercayaan pelanggan yang sudah luntur.

Membangun Budaya Positif
Mengubah budaya perusahaan yang sudah mengakar tidaklah mudah. Bethune pun 
menyadari hal ini. Karena itu, untuk membangun budaya perusahaan yang baru, 
Gordon Bethune merasa bahwa CA memerlukan generasi pimpinan yang baru. Strategi 
yang diambil Gordon Bethune adalah mengganti 50 dari 61 lapis pimpinan 
perusahaan tingkat menengah ke atas. Ke 50 orang ini diganti dengan 20 tenaga 
yang dianggap terbaik di bidang mereka masing-masing. 


Kepada ke 20 pimpinan baru, Gordon menularkan komitmen untuk melakukan 'profit 
sharing' dengan kar-ya-wan, sehingga budaya 'If I win, you win' pun bisa 
dipupuk dengan baik dan ditularkan dengan cepat dari atas ke bawah. 


Budaya ini membangun persatuan yang solid antar karyawan, rasa saling 
menghargai dan memupuk semangat yang tinggi untuk sama-sama menang membangun 
perusahaan. Selain itu, dengan menciutkan tingkatan dan jumlah 'petinggi', 
birokrasi bisa dipangkas dan biaya operasional bisa dihemat.


Ternyata setelah satu tahun menjalankan empat strategi utama ini, Gordon 
Berthune bersama timnya bisa memenangkan kepercayaan karyawan, hati pelanggan, 
dan hati pemegang saham. Kepercayaan yang telah tertanam ini akhirnya bisa 
menyelematkan Continental Airlines dari keterpurukkan, bahkan dalam waktu yang 
relatif singkat bisa mengubah posisi perusahaan penerbangan ini dari yang 
terburuk melesat menjadi salah satu yang terbaik.

Apakah Anda atau perusahaan Anda sedang berada pada titik terendah? Jika memang 
Anda merasa perusahaan masih pantas untu dipertahankan, mengapa tidak mencoba 
'turnaround strategy' yang telah diterapkan Gordon Berthune? Dengan disesuaikan 
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi perusahaan, bisa jadi Andapun dapat 
mengubah kondisi terburuk menjadi yang terbaik. Selamat mencoba!n

http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2005/0913/man01.html

Kirim email ke