Jaksa: Beasiswa Supersemar Mengalir ke Perusahaan Kroni Soeharto http://www.antara.co.id/arc/2007/9/24/jaksa-beasiswa-supersemar- mengalir-ke-perusahaan-kroni-soeharto/
24/09/07 21:54 Jaksa: Beasiswa Supersemar Mengalir ke Perusahaan Kroni Soeharto Jakarta (ANTARA News) - Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin, menyatakan dana beasiswa yang dihimpun oleh Yayasan Beasiswa Supersemar mengalir ke sejumlah perusahaan milik keluarga dan kroni mantan Presiden Soeharto. Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah, yang kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 373/KMK.011/1978, serta Pasal 3 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, seharusnya yayasan milik mantan Presiden Soeharto menyalurkan uang yang diterima untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa. Berdasar catatan JPN, Yayasan Beasiswa Supersemar telah berhasil menghimpun dana sebesar 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar. Dana itu digunakan tidak sesuai peruntukkannya, dan mengalir ke sejumlah perusahaan, antara lain 125 juta dolar AS ke Bank Duta pada 22 September 1990. Bank Duta juga menerima aliran berikutnya, yaitu sebesar 19,96 juta dolar AS pada 25 September 1990 dan sebesar 275,04 juta dolar AS pada 26 September 1990. Dana beasiswa Supersemar juga mengalir ke PT Sempati Air sebesar Rp13,17 miliar dalam kurun waktu antara 23 September 1989 sampai 17 November 1997. "Sempati itu milik siapa coba?" tanya Ketua Tim JPN, Dachmer Munthe tentang perusahaan penerbangan milik putera bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putera itu. Kemudian, dana beasiswa sebesar Rp150 miliar ke PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti pada 13 November 1995; Rp12,74 miliar ke PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri dalam kurun waktu antara Desember 1982 sampai Mei 1993. Selain itu, JPN menyatakan Yayasan Beasiswa Supersemar juga mengalirkan dana sebesar Rp10 miliar kepada Kelompok Usaha Kosgoro pada 28 Desember 1993. JPN menilai penyelewengan dana senilai 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar telah menghambat kesempatan pelajar dan mahasiswa menerima beasiswa sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan. Hal itu dinilai sebagai kerugian imateriil sebesar Rp10 triliun. Dalam perkara gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar, secara keseluruhan Kejaksaan menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp10 triliun. Sebelumnya pada 21 Agustus 2000 Kejaksaan Agung berupaya menyeret mantan Presiden Soeharto menjadi pesakitan dalam perkara pidana dugaan korupsi pada tujuh yayasan termasuk Yayasan Supersemar, namun upaya itu gagal karena Soeharto sakit dan dinyatakan tidak dapat diadili. Pada 11 Mei 2006, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Soeharto dan mengalihkan upaya pengembalian keuangan negara melalui pengajuan gugatan perdata.(*) ================= The smiling general keeps showing his innocent face http://www.thejakartapost.com/detailheadlines.asp? fileid=20070924.B06&irec=5 September 25, 2007 The smiling general keeps showing his innocent face Dwi Atmanta, The Jakarta Post, Jakarta Few, it seems, share the concern of New Order critic George Junus Aditjondro who has been warning of the momentum former president Soeharto has gained to strike back following his court victory over Time magazine. Look at the way many political leaders attacked the release of the UN-World Bank list of the world's most corrupt leaders recently, which unsurprisingly included Indonesia's longest serving president. Soeharto topped the infamous list, which also includes other leaders, both current and former, of developing nations in Asia, Africa and Latin America. Many would question how the UN and the World Bank came up with the roster, but few would believe the two international institutions would risk wrecking their credibility. Politicians, ranging from members of Golkar, Soeharto's political machine during his heyday, to those who claim to have resisted his authoritarian regime in the past, lined up in defense of the former dictator in the name of national pride. They said they suspected the joint UN-World Bank initiative was a black campaign against Indonesia and other developing countries. Only nine years ago, when "reform" was the word on everyone's lips, many figures denied any link to Soeharto, even demanded investigations into his alleged corruption, as they struggled to make break with the past. Many showed the face of Brutas (or Judas). Few were brave enough to show respect for or defend Soeharto in public. That many have regained their courage and confidence to fight for Soeharto is evidence of the unsustainability of the reform movement. The worrying signal of Soeharto's resurgence therefore does not necessarily come from the former president himself, due to his reportedly poor health, but from the influence he still wields. The fact that no president who has succeeded him has been able, or perhaps are reluctant, to bring him to justice is just an example of his prevailingpower. Soeharto's most phenomenal legacy is the kleptocracy, where "KKN" (corruption, collusion and nepotism) and the abuse of power are the order of the day. He might have helped propel the country's economic engine, but he took too much in return for his family and friends. The government has changed several times since Soeharto stepped down, but the corrupt mentality he condoned, if not cultivated, remains as deep-rooted as it was during his tenure. Few would argue the gravity of corruption and its aggravating effects on the executive, legislative and judicial branches. The reform movement, which was aimed at rooting out KKN, only made changes to the actors. The script is the same -- illegal levies, red- tape, "grease money", kickbacks and gratuities remain common. Look the international corruption perception index, where Indonesia regularly finds itself at the top, or at rankings of business competitiveness, where the country is at the basement level. A local cigarette manufacturer has even alluded to the tradition of corruption in one of its advertisements. The slogan -- "If it can be made complicated, why simplify it?" -- comes to mind whenever one renews ones ID at the local district office. The fight against KKN is met with an opposition, not only from a stubborn bureaucracy, which is reluctant to lose its benefits and privileges, but also from those holding legislative and judiciary powers. Like government employees who are ordered to pay a certain sum of money for a promotion, many politicians are prepared to spend a lot on a legislative seat as it is deemed a lucrative gold mine. In the judiciary field, the presence of the so-called court mafia is an open secret. Under the administration of President Susilo Bambang Yudhoyono, the anticorruption has stepped up a gear. A number of active governors, regents, legislative members, prosecutors, police generals, a judge, former ministers a former ambassador and a former military officer have been prosecuted or sentenced for corruption. The aggressive investigation into officials and persons accused of stealing state money is a battle to win the war on the corrupt mentality Soeharto helped breed. Winning the war requires more than law enforcers with integrity. First of all it needs leadership that has the courage to act against Soeharto, just to show the nation nobody can escape justice or is above the law. Soeharto's great contribution to the country seemed to pose a psychological barrier for the last four Indonesian presidents and prevented them from bringing him to justice, but it is apparent such considerations justified their lack of action. There was a joke about the Soeharto children who complained to their father he had not fulfilled all their requests. Curious, Soeharto asked: "What else I can give to you?" One the children replied: "We want a shameful feeling [Memiliki rasa malu]" After taking a deep breath, Soeharto said in remorse, That is the only one I don't posses." Imagine how we could eradicate corruption if no one any longer considered it an offense. When that happens, it is Soeharto, the smiling general, who will have the last laugh. ============================= * Program StAR PBB Kompas - Selasa, 25 September 2007 Data yang dilansir Perserikatan Bangsa Bangsa dan Bank Dunia, mengenai aset negara yang diduga dicuri melalui penggelapan pajak dan suap pada masa pemerintahan Soeharto, tidak dapat langsung ditindaklanjuti. Bank Dunia dan PBB tak memiliki wewenang melakukan investigasi, menyelidiki, menyidik, maupun menyita. Demikian dikemukakan Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Senin (24/9), menjawab pertanyaan anggota Komisi III tentang Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative yang ditawarkan PBB dan Bank Dunia. Dalam daftar StAR Initiative, Soeharto menempati posisi pertama dalam mengorupsi aset negara, senilai 15 miliar-35 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Menurut Hendarman, ketiadaan kewenangan PBB dan Bank Dunia untuk melakukan investigasi dapat diatasi melalui kerja sama dengan badan dan negara dalam menelusuri dugaan korupsi dalam penggelapan pajak dan suap ini. "Indonesia ditawari, apakah ingin masuk dalam tatanan global penelusuran aset ini. Menteri Luar Negeri akan mengajukan request untuk masuk dalam StAR," kata dia. Seusai rapat kerja, Hendarman menjelaskan, data yang diterima Kejaksaan Agung dari Bank Dunia berupa matrik yang menyebutkan aset negara yang diduga dikorupsi sejumlah mantan pemimpin negara. Kejaksaan juga memiliki data, tetapi berbeda dengan data dari Bank Dunia. "Data yang kami dapat jumlahnya lebih kecil. Soal tujuh yayasan. Belum ada bukti yang signifikan," kata Hendarman. Di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, seorang pengacara Soeharto, Juan Felix Tampubolon, mengatakan, data yang dilansir PBB dan Bank Dunia bukan hal baru. Isinya sama dengan yang dilansir beberapa tahun lalu. "Hal itu tidak benar. Pak Harto tidak pernah punya uang di mana pun. Tujuh tahun lalu bahkan sudah menyerahkan surat kuasa kepada pemerintah untuk melacak aset Beliau. Pemerintah ke Austria dan Swiss, tetapi tidak menemukan uang itu," katanya. Hendarman menyatakan pula, pada November 2007 ada konvensi internasional jaksa agung. Pertemuan itu untuk menindaklanjuti StAR Initiative. Pada acara itu akan dibahas tentang penelusuran aset, sekaligus penandatanganan hubungan kerja sama timbal balik dengan Hongkong. Gugatan intervensi Secara terpisah, sidang perkara gugatan Negara (Pemerintah Indonesia) terhadap Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar di PN Jaksel, Senin, memasuki pokok perkara, setelah penggugat dan tergugat gagal mencapai perdamaian dalam mediasi. Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Wahjono. Dalam sidang, dibacakan juga gugatan intervensi dari M Yuntri, Munir Fuadi, dan Cyprus A Talali yang mengaku mewakili Keluarga Mahasiswa dan Alumnis Penerima Beasiswa Supersemar. Mereka meminta apa pun putusan pengadilan tak merugikan pemohon intervensi. (idr) ====================== http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/092007/25/0101.htm * Hanya Tuntut Pengembalian Harta: Pemerintah tak Akan Perkarakan Soeharto NEW YORK, (PR).- Pemerintah Indonesia tetap berusaha mengembalikan harta mantan Presiden Soeharto yang diduga diperoleh secara tidak sah, kepada negara. Akan tetapi, pemerintah tidak akan memperkarakan kasus-kasus Soeharto mengingat kesehatannya sudah tidak memungkinkan. "Sebaiknya mengusahakan untuk mengembalikan hartanya saja. Pak Harto tidak perlu diperkarakan. Sudah sakit-sakitan," ujar Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng yang mendampingi kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang akan mengikuti Sidang Umum ke-62 PBB di New York AS. Koresponden "PR" Bambang Indra Kusumawanto dari New York semalam melaporkan, PBB dan Bank Dunia mengingatkan, pengembalian aset negara yang dicuri memang memakan waktu, memerlukan kredibilitas dan upaya yang berkelanjutan, serta keinginan politik yang kuat dari suatu negara. "Harus lewat upaya yang serius dan komitmen yang kuat. Tanpa itu, bakal sia-sia," ujar Presiden Bank Dunia Robert B. Zoellick, di New York, Senin (24/9). Menurut dia, Prakarsa Penemuan Kembali Kekayaan yang Dicuri (Stolen Asset Recovery--StAR Initiative-red.), dapat membantu memperkuat kemampuan tim dari suatu negara untuk mengembalikan harta yang dicuri. Dia tidak menjelaskan, apakah Bank Dunia akan meninjau kebijakannya terhadap Indonesia, terkait dengan laporan StAR Initiative. StAR menempatkan Soeharto di urutan teratas tabel "Perkiraan Dana yang Kemungkinan Dicuri dari Sembilan Negara" dengan kekayaan yang diperkirakan dicuri mencapai 15 miliar hingga 35 miliar dolar AS. Konferensi StAR Sementara itu, perihal Prakarsa StAR oleh PBB dan Bank Dunia dalam membantu mengembalikan aset negara yang dilarikan mantan pemimpin negara ke luar negeri, akan dibahas pada Konferensi Antikorupsi pada 21 hingga 24 November 2007. Konferensi bertajuk International Association of Anti Corruption Authorities (IAACA) ini, nantinya akan dihadiri jaksa agung sedunia, bertempat di Nusa Dua Bali. "Itu juga menindaklanjuti StAR," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji, di sela-sela raker Komisi III dengan Kejagung di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (24/9). Menurut Hendarman, dia telah menerima bahan-bahan Prakarsa StAR, yang mencantumkan data Transparency International 2004 tentang sepuluh pemimpin dari sembilan negara, yang diduga melarikan uang rakyat. Menyinggung aset Soeharto seperti yang dilansir PBB dan Bank Dunia, menurut dia, total aset Soeharto dalam catatan Kejagung lebih kecil. Namun, Kejagung menilai data PBB dan Bank Dunia masih berupa asumsi. "Kalau kita, mendapat data lebih kecil. Kalau dia (PBB dan Bank Dunia) mengatakan asalnya dari tindak pidana, tanya cara menghitungnya bagaimana. Kok bisa mendapat nominal seperti itu," katanya. Soeharto digugat Mantan Presiden yang juga Ketua Yayasan Supersemar, Soeharto dituntut mengembalikan uang kepada negara senilai 420.002.910,64 dolar AS dan Rp 185,9 miliar serta ganti rugi imateriil senilai Rp 10 triliun, sebagai pertanggungjawaban atas penyelewengan dana yayasan. Selain itu, Gedung Grahadi di Jln. H.R. Rasuna Said Kav 8-9 Jakarta Selatan yang dimiliki Yayasan Supersemar, diminta oleh jaksa negara selaku penggugat untuk dijadikan sita jaminan. Tuntutan pengembalian dana yayasan kepada negara tersebut, sebagaimana dibacakan oleh jaksa penggugat Dachmer Munthe di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (24/9), merupakan subtansi dari gugatan perdata oleh pemerintah RI c.q. Presiden RI, yang menggugat secara perdata terhadap pendiri sekaligus Ketua Yayasan Supersemar H.M. Soeharto dan (manajemen) Yayasan Supersemar. Alasan penggugat menuntut dana yayasan dikembalikan ke negara, karena Soeharto melalui manajemen yayasan, telah menyalurkan dana di luar kepentingan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa, yang menjadi pokok peruntukan dana yayasan. Adapun dana dikembalikan ke negara, sebab uang yang dikumpulkan diperoleh dari bank-bank milik pemerintah. Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 15/1976 Tanggal 23 April 1976 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 333/KMK.011/1978, yayasan ini memperoleh 50% dari 5% laba bersih bank-bank pemerintah. Dalam pembelanjaan dana yayasan , peruntukannya menyimpang dari ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Yayasan Supersemar. AD/ART menyebutkan, uang yayasan dipergunakan sebagai beasiswa untuk siswa dan mahasiswa yang cukup cakap namun tidak memiliki kemampuan finansial untuk melanjutkan sekolah atau kuliah. Penyimpangan bisa dibuktikan dengan disalurkannya dana yayasan ke sejumlah rekanan. Penyaluran ke PT Bank Duta pada 22 dan 26 September 1990 masing-masing senilai 125.000 dolar AS, 19.959.807,19 dolar AS, dan 275.043.103,45 dolar AS. Kemudian dana disalurkan ke PT Sempati Air milik Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) senilai Rp 13,173 miliar antara 23 September 1989-17 November 1997, PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti senilai Rp 150 miliar pada 13 November 1995, PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri, senilai Rp 12,744 miliar antara Desember 1982-Mei 1993, dan Kelompok Usaha Kosgoro senilai Rp 10 miliar pada 28 Desember 1993. Tindakan demikian, kata penggugat, sebagai tindakan melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata. Untuk menjamin dana yang diselewengkan bisa dikembalikan oleh tergugat, dia mengajukan permohonan sita jaminan terhadap aset milik tergugat berupa Gedung Grahadi. Sita jaminan ini penting untuk menjamin Soeharto dan Yayasan Supersemar tidak memindahkan atau melarikan aset tersebut. Tidak melanggar Kuasa hukum Soeharto, Juan Felix Tampubolon menyatakan tidak sependapat dengan penggugat bahwa Soeharto dan Yayasan Supersemar telah menyalahgunakan dana yayasan. "Ada AD/ART yayasan yang mengatur mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan oleh yayasan. Semua yang dilakukan oleh yayasan, termasuk menyalurkan uang ke para pihak ketiga, telah sesuai dengan AD/ART yayasan," katanya. (Dtc/A-84)*** ====================================