Pak Bismo,

Sebelum puasa, ada sebuah diskusi di Utan Kayu.
Judulnya "Proyek Emansipasi Post-Marxis: Laclau dan Zizek,"
yang membicarakan pikiran-pikiran Slavoj Zizek dan Ernesto
Laclau, dua pemikir besar post-marxis. Pembicaranya dua
anak muda: Robertus Robet dan Daniel Hutagalung.

Kendati cuma hadir sebagai peserta, dalam diskusi itu GM
merangkum satu persamaan penting antara pemikiran post-marxis
dan kaum liberal yaitu apa yang disebutnya sebagai the ethics of
finite. Bahwa keduanya mengakui keterbatasan dan kekurangan.
Tidak ada kesempurnaan di dunia ini. Tak akan ada surga
terwujud di dunia ini. Keduanya belajar dari kesalahan,
memperbaiki diri, seraya terus menerus berikhtiar mengupayakan
kesejahteraan bagi umat manusia.

Salam,


At 11:59 AM 9/26/2007 +0200, you wrote:

Gamang untuk mengkomentari Mas GM, saya pikir liberalisme dalam praktiknya
yang tidak fanatik bisa saja tercampur dengan metode pemikiran Marxian, juga dengan para atribut New Left (ekologi, dll). Juga Eropa, underdogs nya, pernah menerima
Marxisme, namun yang "menjalar" kemana-mana sudah tercampur dengan Leninisme,
Stalinisme, Ajaran Ketua Mao, Enver Hoxa (Albania), maaf lupa Trotskyisme, dan lain sebagainya. Masih banyak partai-partai sosialis didunia yang masih memeluk metode
analisis Marxis, meski kalau tak salah gerakan sosdem sudah meninggalkannya.

Memang sangat elok bahwa "Marxisme merayakan dinamika dan perubahan", seperti
yang ditulis oleh Mas Gun. Namun kita juga bisa tertegun oleh temuan Milan Kundera:
"... orang itu maunya terus menerus saja mengubah dunia, namun toch selalu
menjadi antusias saat ia temukan sesuatu yang ternyata tetap tak terubah" (dalam sebuah cerpennya tahun 1963 sebelum eksil ke Prancis pasca Prague Spring 1968).

Saya setuju bahwa Habernas harus kita kaji.
Anehnya guru yg satu ini nampaknya kurang terkenal di Eropa. Saya "berkenalan"
setelah bukunya dipakai adik saya saat meraih PhD di UI sekait ekologi pada 2005. Juga sangat setuju agar kita tinggalkan saja cara-cara durch Blut und Eisen, dan
marilah bangsa kita bangun dengan otak dan hati nurani.

Selamat ber Puasa, Mas Gun. Kapan mampir Praha nih?
Wassalam, Bismo DG, Praha

----- Original Message -----
From: <mailto:[EMAIL PROTECTED]>mediacare
To: <mailto:mediacare@yahoogroups.com>mediacare yahoogroups
Sent: Monday, September 24, 2007 9:14 AM
Subject: [mediacare] Goenawan Mohamad: "Liberalisme adalah suatu skandal"

Pengantar

"Liberalisme adalah suatu skandal," tulis Goenawan Mohamad dalam mengenang G30S. Ini saya kutip dari Catatan Pinggir bertajuk 'Gestapu' dalam Majalah TEMPO yang terbit pekan ini. Silakan Anda nikmati tulisannya:

_________________________________________


Tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat pembunuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-mula sejumlah jenderal, kemudian berpuluh ribu orang Indonesia yang bukan jenderal dan tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau disiksa.

Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih, dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu. Semuanya kita masukkan ke dalam sebuah kata, “Gestapu”, seperti kita menyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus mengenangnya.

Maka tiap 30 September dan 1 Oktober ada keinginan yang saya kira terpendam di hati orang banyak: keinginan untuk mampu mengenang horor itu, tapi juga berharap ia tak akan berulang. Indonesia tak boleh lagi mengelola konflik lewat darah dan besi.

Keinginan itu tampak mudah dipenuhi setelah “Orde Baru” runtuh, setelah sebuah pemerintahan yang stabil -- tapi bersandar pada kapasitasnya membangun rasa takut – ambruk. Tapi segera terbukti kita gampang terbuai ilusi. Prasangka rasial, rasa curiga antar kelompok, kebencian, paranoia dan waswas yang diperkuat oleh agama, seakan-akan malah bergelombang datang. Indonesia nyaris habis harapan. Semuanya seakakan-akan mesti berakhir dengan membunuh.

Tapi mungkinkah ada sebuah lingkungan hidup bersama – bisa disebut “masyarakat”, “komunitas”, atau “bangsa” -- yang akan memilih khaos dan kekerasan sebagai satu-satunya cara bersaing dan bersengketa? Para optimis mengatakan, tak mungkin. Sengketa dan kekerasan bukanlah pola dalam sejarah. Tiap kehidupan bersama selalu mengandung keinginan bersama untuk “masyarakat yang baik” dan kapasitas untuk mencapai mufakat. Bahkan binatang buas berdamai dalam puaknya.

Tapi benarkah “selalu”? Benarkah kita senantiasa begerak untuk mufakat? Katakanlah tiap orang, tiap kelompok, memang menghendaki “masyarakat yang baik”, tapi apa gerangan yang “baik”? Selalukah yang “baik” bagi kami juga “baik” bagi mereka?

Zaman ini yang berbeda dan ganjil berduyun-duyun masuk ke dalam pengalaman – dan kita ragu adakah nilai yang universal. Kondisi “pasca-modernis” datang. Seorang pemikir seperti Richard Rorty bahkan menunjukkan, nilai-nilai selamanya contigent, tergantung, kepada waktu dan tempat. Apa yang “baik” selamanya dipengaruhi konteks. Sebab itu jangan dipaksakan. Bahkan keyakinan kita sendiri tentang “baik” dan “buruk” perlu dicampur dengan satu dosis besar ironi.

Pandangan seperti ini memang membuka ruang luas toleransi. Kita tak bisa jadi fanatik memeluk ide-ide besar. Tapi ada yang boyak; ia tak cukup memberi dasar bagi langkah politik untuk membangun kebaikan bagi sesama. Tentu, Rorty tak menganggap kita bisa selamanya berdiri di tepi dengan senyum ironis. Baginya, tak ada alasan untuk berpangku tangan ketika kekejaman terjadi.

Rorty memang tak menampik tumbuhnya rasa solidaritas antar manusia. Tapi bagaimana rasa solidaritas itu mungkin? Bagamana ia bisa memadai untuk membentuk sebuah kekuatan pembebas, jika keyakinan tentang nilai-nilai yang universal, yang menggerakkan siapa saja, cair oleh ironi?

Memang, liberalisme Rorty bukan formula untuk bunuh membunuh. Tapi ia tak bisa memberi jawab bagi keadaan yang mungkin tak dialaminya. Rorty begitu betah dengan hidup nyaman Amerika-nya. Tapi ada kondisi lain, di mana politik bergerak bukan karena keinginan, melainkan oleh kemestian, di mana gagasan tentang “masyarakat yang baik” bukan imajinasi waktu senggang, melainkan karena rasa lapar yang akut akan keadilan.

Di sini liberalisme ala Rorty bisa semacam skandal. Tak mengherankan dalam latar umum Afrika, Asia, dan merika Latin, orang pernah dengan bahagia mendapatkan analisa dan inspirasi dari yang lain: Marxisme. Marxisme punya satu imbauan universal: cita-cita tentang masyarakat tanpa kelas. Tapi juga Marxisme bisa ampuh karena melihat nilai-nilai sebagai sesuatu yang tak datang dari luar sejarah. Marxisme merayakan dinamika dan perubahan.

Tak mengherankan bila beribu-ribu orang pun bergerak, dengan sakit dan miskin, dengan jiwa dan raga. Yang tragis ialah bahwa Marxisme – sebuah alat diagnostik yang cemerlang -- ternyata sebuah terapi yang gagal. Bahkan Cina murtad. Apa yang tersisa dari Marxisme di sana sekarang, dengan kemajuan ekonomi yang membuat orang terkesima? Hanya sebuah partai komunis yang tak percaya kepada imannya sendiri.

Maka pada suatu saat orang pun membaca Habermas. Ia meyakinkan kita bahwa ada rasionalitas yang bisa membawa apa yang “baik” melintasi batas ruang-dan-waktu. Komunikasi adalah laku yang tak asing. Dalam situasinya yang ideal, komunikasi dapat menghasilkan mufakat tentang “masyarakat yang baik”.

Tapi tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat bahwa dorongan untuk bermufakat berakhir dengan pembunuhan. Indonesia adalah sebuah republik yang luka ketika besikeras membentuk konsensus. Kini kita takut berilusi: bisakah kita sepakat tentang “masyarakat yang baik”? Akan adakah situasi percakapan yang ideal?

Siapa yang takut mimpi perlu memanggil mambang Marxisme. Kita akan bisa melihat – seperti Laclau memanggil roh Gramci – bahwa mufakat tak datang dengan sendirinya. Ia hasil pergulatan hegemoni. Dan dengan Marxisme yang radikal yang memandang sejarah sebagai perubahan, kita akan mengakui bahwa hegemoni itu tak akan abadi. Pengertian dan konsensus tentang “masyarakat yang baik” tak akan kekal. Kekuasaan yang menjaga konsensus itu tak akan selamanya bisa memenuhi cita-cita.

Itu sebabnya kita memilih demokrasi sebagai sistem yang mengakui kekurangan manusia. Kita lebih berendah hati. Maka sambil mengakui pergulatan politik akan berlangsung terus menerus, kita tak perlu bersiap dengan darah dan besi. Ongkos akan terlalu mahal – seperti 30 September dan 1 Oktober 1965 – untuk sesuatu yang tak akan sempurna dan selama-lamanya.

Sumber: TEMPO

Kirim email ke