Menurut Pram dalam "Arus Balik", atau sebuah buku sejarah UI, orang Betawi 
"asli" adalah orang Melayu yang hijrah kesana dari Malaka setelah bandar ini 
dikuasi oleh Portugis.

Di Ciputat doeloe konon banyak sisa laskar Mataram yang menetap dan bertani 
disana, mempunyai logal yang berbeda.


Salam,

Bismo DG

  ----- Original Message -----
  From: anton_djakarta
  To: [EMAIL PROTECTED]
  Sent: Thursday, September 27, 2007 8:07 PM
  Subject: [nasional-list] Betawi


  Betawi

  Oleh : ANTON

  Ada suku yang sangat unik, metropolis, mengenal budaya kota jauh
  lebih dulu ketimbang New York yang urban, suku itu adalah suku
  Betawi, bagi kita yang tinggal di Jakarta suku betawi sesungguhnya
  tidak asing bahkan menjadi bagian budaya dari orang-orang yang
  lahir dan besar di Jakarta. Betawi bagi sementara orang merupakan
  hal yang identik dengan Jakarta. Namun sejak pembangunan besar-
  besaran kota Jakarta yang dimulai sejak terselenggaranya Asian Games
  1962 dan Ganefo, juga runtuhnya pemerintahan Sukarno yang menaikkan
  Suharto di tahun 1967 berakibat banyak sekali terhadap suku asli
  Betawi. Faktor lokasi-lah yang menyebabkan suku betawi menjadi
  semakin berjarak dengan Jakarta.

  Asal muasal nama Betawi bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan
  kepada suku ini, nama Betawi merupakan turunan kata/ penyesuaian
  lidah dari Batavia. Nama Batavia-pun ada di Negara Bagian New
  York. Bahkan kota Batavia pernah menjadi role model bagi Belanda
  untuk membangun New Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai Hudson,
  setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah nama menjadi New York.

  Portugis yang mengincar pelabuhan-pelabuhan dagang Banten di tahun
  1520-an, bekerja sama dengan kekuasaan Pajajaran-Hindu untuk
  membendung gerakan politik Banten-Islam. Namun pada tahun 1590,
  Banten mengirim seorang panglima perang bernama fatahillah yang baru
  saja datang dari Malaka, Fatahillah bersama para jawara dari Banten
  dan dibantu dengan pasukan dari Cirebon berhasil mengusir Portugis
  dan membangun benteng pertahanan di sekitar pantai Sunda Kelapa,
  sejak saat itu oleh Fatahilllah pantai Sunda Kelapa dijadikan
  pelabuhan dagang, namun keramaiannya tetap kalah dengan pelabuhan
  Banten.

  Ketika pelabuhan sunda kelapa sudah ramai, datanglah armada dagang
  Belanda dan membangun loji-loji dagang di sekitar Sunda Kelapa, pada
  awalnya kedatangan Belanda ini disukai oleh Pangeran Jayawikarta
  penguasa Sunda Kelapa dan menamakan wilayah kekuasaannya sebagai
  Jayakarta, tetapi atas desakan dari Banten yang pada waktu itu sudah
  tidak menyukai kehadiran Belanda akibat politik campur tangan di
  Kesultanan Banten, Pangeran Jayawikarta di paksa untuk melawan
  Belanda. Pada saat itu pemimpin dagang dan bersenjata Belanda
  bernama Jan Pieter Zoen Coen yang oleh orang-orang Betawi di kenal
  sebagai Murjangkung, nah JP Zoen Coen melakukan tindakan penyerangan
  ke arah benteng-benteng di tepi pelabuhan Sunda Kelapa, pada awalnya
  Pangeran Jayawikarta mampu bertahan dan berharap ada bantuan dari
  Banten dan Cirebon, namun Belanda dengan cerdik melakukan
  pengepungan dengan memblokir jalan-jalan yang kemungkinan di lalui
  pasukan bala bantuan. Pada tahun 1614 Pangeran Jayawikarta
  memutuskan untuk meloloskan diri dari pengepungan yang berbulan-
  bulan lamanya. Ia bersama lima ratus orang pasukannya menyingkir ke
  daerah rawa-rawa yang kini dikenal sebagai Sunter, Pangeran-pun
  mendirikan pusat-pusat perlawanan gerilya. Pada awal tahun 1618,
  pasukan Banten berhasil menyusup ke Jayakarta dari arah Bogor, dan
  mereka membangun markasnya di sekitar hutan Jati yang sangat lebat
  (kini bernama Jatinegara). Pangeran Jayawikarta-pun bergabung dengan
  pasukan Banten dan menyusun serangan, namun JP Zoen Coen memutuskan
  untuk menggempur habis-habisan pasukan Banten-Jayakarta, sebelum
  datangnya pasukan yang jauh lebih besar Mataram-Sultan Agung.
  Intelijen JP Zoen Coen mendengar bahwa pasukan Mataram akan
  melakukan penyerbuan-penyerbuan ke wilayah pesisir dan pada saat itu
  sedang bertarung di wilayah priangan untuk menaklukkan bekas wilayah
  Pajajaran-Hindu yang dikuasai raja-raja kecil Islam. Menurut hitung-
  hitungan JP Zoen Coen, lambat tapi pasti Mataram akan menyerang
  Jayakarta untuk membangun pelabuhan dagangnya yang dekat dengan
  pelabuhan Malaka. Untuk itu dia membereskan separatis Betawi di
  tanah-tanah yang diakui sebagai hak VOC.

  Hitungan JP Zoen Coen ternyata sangat tepat, ia berkonsentrasi
  menghabisi pasukan Banten-Jayakarta untuk itu ia mengambil ratusan
  tentara bayaran dari Jerman dan beberapa budak yang didatangkan dari
  Bali, Bugis dan Ambon untuk menyerbu markas Pangeran Jayakarta. Pada
  tahun 1620, markas pangeran jayakarta diserbu oleh JP Zoen Coen dan
  sejarah membuktikan Pangeran tu mengalami kekalahan, Pada saat
  pasukan Belanda mengepung masjid yang digunakan Pangeran untuk
  berlindung, Pangeran masuk ke dalam sumur yang berada di dalam
  masjid, dan Belanda mengira Pangeran sudah mati di dalam sumur itu,
  Masjid itu kini bernama Masjid Salafiyah yang berdiri di wilayah
  Jatinegara.

  Setelah beres dengan perlawanan dari unsur Banten, Zoen Coen
  menghadapi pasukan Mataram yang berada dibawah pimpinan Sura Agul-
  Agul dan beberapa senopati perang lainnya yang dibantu orang-orang
  Priangan. Namun taktik penghancuran logistik terhadap sawah-sawah
  yang menjadi sumber makanan pasukan Mataram dan diracunnya sungai
  Ciliwung menjadi kunci kemenangan VOC.

  Kota Jayakarta-pun diganti nama menjadi Batavia oleh Zoen Coen nama
  ini diambil dari kata Bataafs, sebuah dinasti yang menguasai Belanda
  dan Jerman Utara.Dan orang-orang asli yang menempati wilayah Batavia
  disebut juga Betawi Banyak orang yang mengira asal-usul suku
  asli Batavia adalah budak-budak Zoen Coen, namun perkiraan ini
  banyak salahnya daripada betulnya, suku Betawi merupakan suku yang
  memiliki sifat uniknya sendiri, mereka sangat apolitis, dan
  menghindar dari struktur kekuasaan, walaupun ada juga orang Betawi
  yang `keningrat-ningratan dengan menggunakan gelar Raden, Raden
  betawi beda dengan Raden Sunda atau Raden Jawa yang hanya terdiri
  huruf `R', penulisan gelar Raden Betawi ditulis `Rd' misalnya : Rd.
  Mochtar, aktor jaman baheula. Orang Betawi sendiri mungkin berasal
  dari Melayu atau orang Jawa yang tinggal di pesisir namun menolak
  bagian dari suku pedalaman, ini sama saja dengan kaum Melayu di
  Kalimantan yang merasa bukan bagian dari Dayak, atau Melayu di
  Sumatera Utara yang menihilkan suku Batak. Sedari awal kita sudah
  lihat pemegang-pemegang kekuasaan di Sunda kelapa atau batavia
  adalah orang-orang pendatang seperti : Pajajaran-Hindu, Banten,
  Portugis dan Belanda. Saking sering konflik dengan Pajajaran Bogor,
  orang Betawi sampai sekarang kalau mengumpat berkata "Dasar
  Pejajaran!"

  Orang-orang asli Betawi seakan-akan tidak peduli siapa pemegang
  kekuasaannya.Itulah yang dapat menjelaskan mengapa suku betawi
  jarang sekali menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan
  kotanya sendiri, jabatan yang paling disenangi orang Betawi adalah
  jabatan-jabatan yang berhubungan dengan agama, makanya banyak sekali
  dari orang-orang Betawi yang terdidik bekerja di Departemen Agama.

  Untuk menjawab mengapa Betawi sangat berjarak dengan kekuasaan,
  mungkin jawaban yang paling tepat adalah orientasi budaya. Budaya
  betawi sangat unik dibanding budaya-budaya urban di kota-kota besar
  dunia pada jamannya seperti Huan Long (Vietnam) atau Kyoto (Jepang).
  Biasanya budaya urban mendorong kegiatan niaga kepada penduduk
  aslinya, namun untuk kasus Betawi mereka tidak menyukai dunia
  dagang, hidup mereka di orientasikan pada agama Islam. Untuk
  menjelaskan cara hidup Betawi, cara pandang Islam merupakan jawaban
  tepat. Bagi orang-orang Betawi kehidupan dunia tidak memiliki arti
  apa-apa, cita-cita terbesar orang Betawi adalah naik haji, dan
  bergelar Haji. Bagi orang Betawi pendidikan harus diorientasikan ke
  pendidikan agama bukan pendidikan cara Belanda, berbeda dengan suku-
  suku lain seperti Banten, Sunda dan Jawa yang perlahan menganggap
  pendidikan sekuler sangat penting, suku betawi sampai saat ini
  melihat pendidikan sekuler kalah penting ketimbang pendidikan agama.
  Jika kita menonton sinetron si Doel ada sebuah kesalahan fatal dari
  penilaian Rano Karno (sebagai penulis ide cerita) yang menganggap
  betawi itu sebagai orang-orang yang terbelakang secara pendidikan,
  karena disini Rano Karno melihat cara pendidikan Betawi dari kaca
  mata orang yang dididik dan dibesarkan dalam pendidikan sekuler dan
  ala barat. Orang-orang Betawi sangat berpendidikan bahkan beberapa
  orang kaya Betawi (contohnya Betawi Kuningan dan Betawi Tenabang)
  menyekolahkan anaknya ke Mesir dan Irak, banyak dari mereka bermukim
  di Mekkah untuk menimba ilmu agama, ratusan madrasah-madrasah
  dibangun untuk menampung anak-anak betawi, nah disinilah letak
  perbedaan orientasi, bagi suku-suku Batak, Minang, Sunda, Jawa dan
  Bugis (suku yang paling mendominasi arus intelektual di Indonesia),
  pendidikan ala barat merupakan patokan kecerdasan dan tingkat
  intelektualitas seseorang yang diperoleh melalui kapital simbolik
  ijazah sekolah barat yang sekuler. Lain ladang lain belalang bagi
  orang Betawi keberhasilan adalah bagaimana ia menyelesaikan
  pendidikan agama dan menjalani hidup dengan irama yang ia yakini,
  berorientasi pada alam akhirat dengan mengambil pahala banyak-banyak
  sesuai apa yang mereka yakini. Perbedaan orientasi inilah yang kerap
  menimbulkan salah paham bahwa orang-orang betawi sangat tidak
  menghargai pendidikan. Mereka justru sangat menghargai dasar-dasar
  pendidikan, hanya orang Betawi-lah yang mengenal kultur `Pagi
  belajar di SD, Siang ke Ibtidaiyah'. Pandangan mereka pendidikan
  haruslah holistik bukan kompartemental yang berakibat tidak
  seimbangnya nalar dan hati.

  Orang Betawi terkenal senang menerima pendatang. Banyak dari
  pendatang-pendatang luar Jakarta yang modalnya buntelan menjadi
  sukses di Jakarta, waktu susah banyak ditolong orang Betawi di gang-
  gang sempit atau toleran terhadap bayaran rumah kontrakan. Rasa
  bertetangga mereka sangat tinggi, bahkan banyak ketika orang
  pendatang itu pindah ke tempat yang lebih jauh dan lebih nyaman dari
  awal dia hidup masih sering berhubungan dengan `kerabat-kerabat
  betawi-nya yang dulu pernah menolong'. Orang Betawi terkenal blak-
  blakan, kalau bicara seperti orang nyanyi. Bahasa Betawi adalah
  bahasa Melayu yang terkenal dengan akhiran huruf e. Kalau orang
  Melayu mengucapkan huruf e itu dengan mengayun lembut, orang Betawi
  membunyikannya dengan lempeng. Bahasa Betawi adalah bahasa yang
  paling berpengaruh dalam ruang pergaulan informal anak muda, kini
  seluruh radio-radio di seantero Nusantara menggunakan bahasa
  Indonesia dengan dialek Betawi sebagai bagian dari
  proses `Jakartanisasi'.

  Suku Betawi adalah satu-satunya suku di Jakarta yang paling awet
  menerima gempuran budaya urban, suku-suku lain seperti Jawa, Sunda
  dan Bugis mengalami kekalahan yang hebat dan mundur ke wilayah-
  wilayah pedalaman, pesisirnya dikuasai Belanda dan orang-orang timur
  asing (Vreemde Osterlingen) seperti Cina dan Arab. Berbagai macam
  pengaruh yang mencampuri keragaman budaya Betawi bahkan darah suku-
  suku Betawi tidak murni lagi sebagai sebuah ras, orang-orang Betawi
  adalah campuran dari cina, eropa dan arab. Bagi saya pribadi pernah
  membagi-bagi fisiognomi-geografi orang-orang Betawi, untuk ras yang
  di dominasi oleh ras Arab berdiam di sekitar wilayah-wilayah pusat
  dan utara kota Jakarta, orang-orang Betawi Ancol, Sunter, Tanah
  Abang, Slipi, Pekojan, dan sekitar Kampung Melayu dan Jatinegara
  merupakan betawi yang memiliki tekstur arab secara khas, mereka
  banyak yang keturunan arab. Sedangkan betawi-betawi yang berdiam di
  sekitar Kuningan, Mampang, Buncit, Pejaten, Kemang dan wilayah-
  wilayah tengah banyak yang berkulit putih bersih dan bermata sipit,
  mereka ini banyak keturunan dari ulama-ulama besar Islam keturunan
  Cina, sedangkan untuk wilayah Depok, ada sebuah keunikan, suku-suku
  betawi ini di bagi dua kelompok besar yaitu : keturunan Belanda dan
  keturunan sisa-sisa lasykar Mataram yang tidak berani pulang ke
  asalnya karena takut dihukum. Untuk yang keturunan Belanda terlihat
  sekali tingginya, bila anda datang ke wilayah-wilayah Jagakarsa,
  Ciganjur, Depok lama maka sesekali terlihat wajah-wajah indo yang
  tinggi badannya sekitar 180-an cm yang bicaranya `ngapak-ngapak',
  namun jenis ras indo ini tidak banyak, keturunan Mataram-lah yang
  banyak, mereka sendiri tidak mengetahui atau tidak mau mengetahui
  keturunan lasykar-lasykar Mataram, tapi bila dilihat dari namanya
  sungguh nama-nama itu adalah nama yang berasal dari Jawa; seperti
  Wiro, Tole, Bagor, Diro, Pulung dll yang bukan merupakan ciri khas
  nama Sunda atau Banten yang lebih banyak terpengaruh nama-nama
  Islam. Karena merupakan suku melting pot yang terus menerus berbaur
  bisa dikatakan wanita Betawi itu cantik-cantik.

  Ada juga betawi-betawi yang menyimpang dari arus besar komunitas,
  dan membentuk subkultur yang pertama, adalah keturunan Betawi-
  Portugis yang berdiam di sekitar wilayah Tugu dekat Tanjung Priok,
  agama mereka bukan Islam tetapi Kristen Protestan, pada awalnya
  mereka beragama Katolik tapi atas paksaan VOC yang anti Katolik dan
  penganut protestan Calvinis, mereka dipaksa masuk Protestan oleh
  Belanda dan sampai sekarang agama mereka protestan, mereka memiliki
  budaya sendiri seperti lempar-lempar bedak pada hari natal atau yang
  paling populer adalah musik keroncong, di tahun 1930-an orang-orang
  Tugu banyak menjadi buaya-buaya keroncong terkenal. Yang kedua
  subkultur Betawi "Belanda-Depok".

  Dulu disekitar wilayah Depok berdiri sebuah perkebunan besar yang
  dibangun oleh Cornelis Chastelein, pejabat penting VOC, wilayah ini
  mencakup Depok, Cinere dan sebagian kecil wilayah Jakarta Selatan.
  Luasanya sekitar 1285 hektar (hitungannya sekarang mungkin mencakupi
  6 kecamatan). Pada tahun 1696 menjelang Chastelein pensiun ia
  membeli tanah tersebut dan tahun 1714 tanah tersebut di wariskan
  oleh budak-budak yang dimerdekakannya, budak-budak itu diperkirakan
  ada 12 orang, nama-nama mereka adalah Leander, Loen, Jacob, Laurens,
  Joseph, Jonathans, Bacas, Soedira, Isakh, dan Zadokh. Keturunan-
  keturunan mereka banyak menguasai tanah-tanah di Depok, agama mereka
  kebanyakan Kristen Protestan, untuk nama belakang Zadokh saat ini
  tidak ditemukan lagi, kemungkinan karena beberapa generasi setelah
  Zadokh tidak ada lagi keturunan pria.

  ANTON




Kirim email ke