http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=305724
Jumat, 28 Sept 2007, Genealogi Kejumudan Pemikiran Islam Oleh Fahrul Muzaqqi "Islam merupakan pengingkaran total terhadap Eropa" (Ernest Renan, 1824) ------- Ungkapan di atas disampaikan Ernest Renan dalam pengukuhannya di College de France, akademi di Prancis yang memberikan penghargaan kebudayaan terhadap Ernest. Olehnya, Islam direpresentasikan sebagai eksotisme kebudayaan yang identik dengan fanatisme, radikalisme, dan tentunya ekslusivisme yang anti terhadap ide-ide yang terus berkembang dalam ilmu pengetahuan. Persepsi Ernest sekaligus pula merupakan representasi pandangan Barat yang selalu melihat negatif terhadap Islam. Tentunya, persepsi tersebut mempunyai alasan-alasan mendasar yang kuat. Di antaranya, Islam cenderung terjebak dalam teokrasi kekuasaan dan teologi pemikiran yang eksklusif. Pembelaan dari sebagian intelektual Islam pun semakin memantapkan sentimen negatif Barat terhadap Islam. Bahwa Islam itu sudah sempurna dan universal sepanjang zaman. Modernisasi dan pembaruan terhadap Islam percuma belaka dan hanya membawa Islam dalam kubangan yang lembek, lemah, dan hina. Dalam hal itu, kejumudan pemikiran Islam dalam OKP-OKP Islam saat ini tidak dapat dilepaskan dari latar historis-genealogis di atas yang masih diperdebatkan hingga kini. Dalam sebuah pengantarnya, Charles Kurzman (1998) mengategorikan setidaknya ada tiga mainstream pemikiran Islam yang menurunkan varian-varian pemikirannya. Pertama, Islam adat (customary Islam). Tradisi pemikiran itu berkembang pada masa awal sepeninggal Rasulullah SAW yang mengombinasikan lokalitas kultural di daerah-daerah penyebaran Islam di luar Arab (Asia Selatan, Asia Tenggara, dan sebagian Afrika) dengan ajaran-ajaran murni Islam yang berlandaskan Alquran dan Hadis. Kedua, tradisi pemikiran Islam revivalis (revivalist Islam). Tradisi itu mengkritik dan menolak tradisi Islam adat yang dinilai sudah keluar dari Islam dan cenderung mengarah pada bid'ah, khurafat, dan musyrik. Mengapa? Sebab, itu tidak sejalan dengan kemurnian ajaran Islam yang diwahyukan Rasulullah Muhammad SAW dan memelintir Islam kepada tradisi lokal berbau animisme-dinamisme, yakni percaya kepada kekuatan selain Allah SWT. Ia menghendaki dimurnikannya ajaran Islam sebagaimana pada masa kejayaan Islam, yakni masa Rasulullah SAW yang sudah final. Ketiga, tradisi Islam liberal. Di samping mengkritik dua tradisi pemikiran sebelumnya, ia lebih mengakomodasi perkembangan zaman untuk kepentingan masa depan ketimbang masa lalu yang kontras dengan prinsip yang dipegang oleh kalangan revivalis, yang lebih mengakomodasi perkembangan zaman untuk kepentingan masa lalu. Dalam perjalanan sejarahnya, ketiga tradisi pemikiran tersebut saling mengkritik untuk memperoleh legitimasi pemikiran dan pengikut sebanyak-banyaknya. Tak jarang terjadi pertumpahan darah atas nama ideologi pemikiran di antara mereka. Agaknya, kita perlu jeli dan berhati-hati dalam menyikapi ketiga tradisi pemikiran tersebut sebelum memutuskan dengan ekstrem ekslusivitas maupun inklusivitas dalam Islam yang akan kita pegang. Kejumudan pemikiran dalam Islam cenderung tidak melihat kenyataan sejarah Islam yang sedikit banyak mengundang perang saudara maupun perang wacana. Lebih parah, Islam hanya dijadikan komoditas simbolis untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan pragmatis-politis individu ataupun komunitas. Islam adat menghendaki lokalitas-lokalitas yang ada untuk dipertahankan, namun sering abai dalam mengantisipasi penyelewengan kearifan lokal yang mengarah pada kemunduran rasionalitas dalam masyarakat. Dengan dalih penghormatan terhadap warisan nenek moyang, praktik-praktik lokal dimistifikasi, yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman ketika dikontekskan dalam relaitas masyarakat. Masyarakat awam sering menelan mentah-mentah segala ide yang dianut oleh mayoritasnya. Dalam hal itu, praktik-praktik semacam ziarah, sedekah bumi, sekaten, wayangan, dan sebagainya yang kental dengan nuansa lokal hendaknya dijelaskan secara mendalam dan gamblang oleh OKP-OKP Islam yang punya mainstream dan tanggung jawab etis untuk itu. Di sisi lain, penganut tradisi pemikiran revivalis hendaknya tidak memungkiri kenyataan masyarakat Indonesia yang multireligio-kultural dan perkembangan zaman yang kian cepat. Artinya, fundamentalisme Islam yang dianggap sudah final, yang dalam praktiknya identik dengan Arabisme -penggunaan simbol-simbol Arab dan penolakan simbol-simbol Barat- tidak dapat secara membabi-buta memaksakan ideologinya dalam masyarakat. Begitu pun penganut inklusivisme ekstrem semacam Islam liberal. Dikotomi tegas antara agama dan politik yang dianut kalangan sekularis menafikan kenyataan negara Indonesia yang masih mengakomodasi agama dalam sila pertama Pancasila. Namun, bukan berarti penulis kemudian menolak ketiga tradisi pemikiran tersebut. Segala wacana tentunya mempunyai prinsip-prinsip inklusi dan eksklusi yang harus diterapkan. Prinsip inklusi berarti kebersediaan untuk mengadopsi ide-ide dari luar yang sejalan dengan pemikirannya. Sebaliknya, prinsip eksklusi menghindari dan bahkan memusuhi segala ide yang tidak sejalan dengan mainstream yang dianut. Masalahnya, tidak ada ruang komunikasi di antara mainstream-mainstream yang ada. Maka, penganut tradisi liberal Islam bisa juga dikatakan jumud kalau tidak mau mengomunikasikan ide-ide yang diyakininya dengan penganut-penganut mainstream lain di luarnya (kalangan revivalis dan kalangan adat). Begitu pun sebaliknya, kalangan revivalis sering dijustifikasi jumud karena tidak mau mengomunikasikan ide-idenya dan menganggap bahwa pemikiran Islam sudah final sebagaimana yang diyakininya. Fahrul Muzaqqi, aktivis di CRCS (Center for Religious and Community Studies) Surabaya. E-mail: [EMAIL PROTECTED]