(Tulisan ini juga disajikan dalam website

http://kontak.club.fr/index.htm)



                                 Sekitar G30S, Suharto,  PKI dan TNI-AD

Berikut di bawah ini adalah lanjutan dari serangkaian tulisan Sdr Harsutejo
mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan peristiwa G30S. Dalam tulisan
ini secara berturut-turut ia mengungkap kembali soal-soal yang berkaitan
dengan G30S, istilah Gestapu dan Gestok, Lubang Buaya, Gerwani, Letkol
Untung, Kolonel Abdul Latief dll.

Serangkaian tulisan ini bisa merupakan bantuan kepada banyak orang untuk
memperoleh informasi atau pandangan mengenai berbagai hal yang berkaitan
dengan peristiwa tersebut, yang berbeda dengan versi rejim militer Orde
Baru.

Tulisan bersambung ini juga disajikan berturut-turut dalam website
http://kontak.club.fr/index.htm



                                                             Sekitar GERWANI
(5)

Oleh: Harsutejo



Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) didirikan pada 1954, sedang cikal
bakalnya sudah berdiri pada 1950. Organisasi ini sangat aktif sampai tragedi
1965, terutama di kalangan rakyat kecil dari perkotaan sampai pedesaan. Para
pemimpin Gerwani terdiri dari kaum intelektual cerdik pandai maupun kaum
aktivis buruh dan tani. Mereka telah menghimpun kaum perempuan untuk
berjuang bersama kaum laki-laki merebut hak-hak sosial politiknya.



Di bidang pendidikan mereka telah mendirikan sekolah Taman Kanak-kanak,
utamanya untuk kalangan tak berpunya dengan bayaran kecil maupun gratis di
seluruh pelosok negeri. Gerakan ini juga giat mendirikan tempat penitipan
anak-anak bagi ibu pekerja dengan bayaran ringan maupun gratis. Gerwani
merupakan organisasi kaum perempuan paling luas menjangkau seluruh pelosok
Jawa khususnya. Mereka memberikan pendidikin kesadaran akan hak-hak
perempuan termasuk hak-hak politik dan kesadaran politik. Mereka aktif juga
dalam kesenian, kursus masak-memasak, pemeliharaan bayi dan anak, kesehatan
perempuan dan anak-anak. Pendeknya organisasi ini telah melakukan
pemberdayaan perempuan di seluruh kalangan, utamanya kaum buruh dan tani
serta kaum pinggiran, sesuai dengan cita-cita Ibu Kartini. Gerwani ini pula
yang menjadi primadona sasaran fitnah keji rezim militer Orba dengan segala
macam dongeng horornya. (Lihat Lubang Buaya).



Pertama-tama propaganda hitam Orba pada 1965 dimulai dengan menyerang
Gerwani habis-habisan sebagai bagian dari serangan terhadap PKI. Rusaknya
nama dan porak porandanya organisasi perempuan ini berarti rusak dan
lumpuhnya separo organisasi kiri Indonesia. Setelah itu dilakukan serangan
fisik terhadap PKI dan seluruh organnya sebagai bagian penumpasan lebih
lanjut pada 1965/1966. Tidak aneh jika kekejaman terhadap tapol perempuan
anggota Gerwani maupun yang didakwa Gerwani dilakukan dengan amat kejamnya,
sering lebih mengerikan karena harkat perempuannya. Seperti disebutkan dalam
studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil
untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani sebagai
gerakan perempuan kiri yang dimanipulasi sebagai “pelacur bejat moral”.
Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas
manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama.



Kaum perempuan tidak hanya mengalami penderitaan karena diciduk, ditahan,
dipenjarakan, dibuang, disiksa, tetapi juga ditelanjangi dan diperkosa
bergiliran dan dilecehkan martabat kemanusiaannya, dihancurkan
rumahtangganya, pendeknya mereka mengalami penderitaan luar biasa lahir dan
batin. Perkosaan telah menjadi kecenderungan umum para petugas keamanan
ketika berhadapan dengan tapol perempuan. Sering pelecehan seksual dan
perkosaan terhadap tapol perempuan menyebabkan kehamilan dan yang
bersangkutan melahirkan di tempat tahanan.



Penderitaan itu menjadi lebih lengkap lagi karena mereka melihat kehancuran
keluarga dan nasib anak-anaknya, terpisah-pisah di tempat yang berbeda-beda
dengan kondisi terpuruk yang berbeda-beda pula dengan perlakuan buruk negara
dan masyarakat yang diprovokasi. Tak jarang para ibu ini telah kehilangan
jejak anak-anaknya selama bertahun-tahun setelah dibebaskan dari penjara,
bahkan sebagian sampai saat ini. Tak jarang pula setelah orangtua mereka
dibebaskan, anak-anak yang berkumpul kembali dengan orangtuanya, terutama
dengan ibunya, anak-anak memusuhi dirinya karena merasa menjadi korban
perbuatan ibunya, suatu penilaian amat tidak adil. Itulah salah satu buah
indoktrinasi menyesatkan rezim Orba selama bertahun-tahun yang sangat
merusak.



Suami seorang perempuan kembang desa di Purwodadi yang anggota BTI ditangkap
pada November 1965, kemudian dibuang ke Pulau Buru. Setiap malam sang isteri
kembang desa ini digilir diperkosa oleh pamong desa setempat, tentara,
pentolan ormas agama dan nasionalis. Bahkan suatu kali datang seorang tokoh
penjagal kaum komunis yang ketika malam datang menidurinya dengan pakaian
berlumuran darah dan kelewang yang besimbah darah pula. Ini bukan dongeng
horor model Lubang Buaya, tetapi sejarah horor, sejarah hitam legam kaum
militer Orba sebagai panutannya yang telah menciptakan kondisi dan konsep
kebuasan tersebut. (Baca buku John Roosa cs [ed], Tahun yang Tak Pernah
Berakhir, Elsam, Jakarta, 2004).



Sungguh nama baik Gerwani yang telah mengabdikan dirinya untuk Ibu Pertiwi
dan rakyat kecil umumnya itu, sebagai kelanjutan cita-cita Ibu Kartini telah
dinodai dan dirusak habis-habisan dengan fitnah jahat tiada tara. Dengan
upaya bersama semua pihak yang peduli, terlebih lagi kaum sejarawan dan
aktivis perempuan, hari depan negeri ini akan memberikan tempat yang layak
bagi Gerwani dalam sejarah bangsa.







TOKOH G30S, LETKOL UNTUNG (6)



Tokoh ini tipikal seorang militer lapangan, sama sekali bukan tipe
intelektual dengan otak cemerlang yang mampu melakukan langkah manipulasi
canggih penuh perhitungan. Ia anak bodoh tetapi berani dan setia pada
Sukarno. Hal ini amat berbeda dan berbalikan dengan Jenderal Suharto beserta
beberapa pembantunya seperti Ali Murtopo [dan Yoga Sugomo] Begitu analisis
Ben Anderson.. Sekalipun demikian ia salah satu lulusan terbaik Akademi
Militer.



Letkol Untung salah satu pelaku G30S yang sebelumnya pernah menjadi anak
buah Suharto di Jawa Tengah dalam Divisi Diponegoro. Ia pun pernah menjadi
anggota “Kelompok Pathuk” di Yogya meskipun bukan dalam kelas yang sama
dengan Suharto atau Syam. Mereka berpisah pada tahun 1950, kemudian bertemu
kembali pada tahun 1962 ketika bersama bertugas merebut Irian Barat, ia
berada di garis depan. Mendengar kisah keberaniannya selama bertugas di
medan Irian, ia dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden, lalu ditarik
menjadi Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, suatu kedudukan cukup
strategis. Sebelumnya ia pernah menjabat Komandan Yon 454 Diponegoro,
pasukan yang memiliki kualitas yang kemudian terlibat G30S.



Letkol Untung menikah pada umur yang agak terlambat pada akhir 1964. Acara
perkawinannya dilaksanakan di tempat cukup jauh di daerah udik di desa
terpencil Kebumen. Sekalipun demikian Mayjen Suharto memerlukan hadir
bersama isterinya ke tempat yang ketika itu tidak begitu mudah dicapai. Ia
merupakan satu-satunya perwira tinggi yang datang, ini merupakan kehormatan
besar bagi Untung dan menunjukkan hubungan keduanya cukup akrab. Bahkan yang
mempertemukan Untung dengan calon isterinya ialah Ibu Tien Suharto. Soal
kehadiran Suharto ini tidak pernah diungkapkan olehnya sendiri yang memiliki
ingatan tajam itu, tetapi toh terekam dalam sebuah berita koran Pikiran
Rakyat.



Letkol Untung pernah dikirim belajar ke AS, tentunya CIA memiliki cukup
catatan tentang dirinya sehingga ia dapat direkomendasikan. Seperti
tercantum dalam catatan laporan CIA tertanggal 1 Oktober 1965 dalam CIA
2001:300, memorandum untuk Presiden Johnson bahwa Untung memiliki “military
police background and was trained in the United States”. Sementara orang
menyebut catatan CIA ini tidak akurat karena Untung tidak pernah belajar ke
AS. Banyak pihak menyatakan ia seorang muslim yang taat, sangat muak dengan
korupsi dan tingkah laku kehidupan sejumlah perwira tinggi.



Menurut David Johnson, Letkol Untung bukanlah tergolong pada apa yang
disebut “perwira progresif”, ia pun bukan tergolong perwira yang tidak puas.
Ia lebih tergolong sebagai seorang militer profesional yang berhasil. Ia pun
menunjukkan tanda-tanda memiliki pandangan anti komunis. Selama beberapa
bulan berkumpul di Penjara Cimahi, Bandung, Subandrio mencatat bahwa Untung
bukan orang yang menyukai masalah politik, ia tipe tentara yang loyal kepada
atasan. Ia risau dengan adanya isu Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan
Presiden Sukarno. Kepribadiannya polos dan jujur, hal ini antara lain
dibuktikan dengan kenyataan, sampai detik terakhir sebelum eksekusinya, ia
masih percaya vonis mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan.
“Percayalah Pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara”, ujarnya kepada
Subandrio. Ia percaya Suharto mendukung tindakannya terhadap para jenderal
dan akan memberikan bantuan seperti dijanjikannya.



Dalam persidangan Letkol Untung terungkap ia baru mengenal Syam dan Bono
ketika dipertemukan oleh Mayor Udara Suyono kepada sejumlah perwira dalam
pertemuan pertengahan Agustus 1965 sebelum gerakan. Untung yang tidak pernah
sepenuhnya percaya kepada Syam, mencoba melakukan penyelidikan tentang
hubungan rahasianya dengan ketua PKI. Hal ini tidak berlanjut, dan
menganggap lebih bijak untuk tidak menantang Syam berhubung ia terdesak
waktu bagi penyelesaian agendanya sendiri. Bagi Letkol Untung agenda mereka
adalah mengambil langkah-langkah untuk menggagalkan kudeta Dewan Jenderal
serta melindungi Presiden Sukarno. Kudeta itu diyakininya akan terjadi pada
5 Oktober 1965.



Berdasarkan kesaksian Mayor AU Suyono maka dapat disimpulkan adanya berbagai
pertentangan di antara tokoh gerakan dengan ketegangan yang kian meningkat
serta bermacam perbedaan pendapat selama berjalannya waktu yang mendekat.
Letkol Untung menjadi cemas dan mungkin mempertimbangan untuk menghentikan
semuanya. Rencana gerakan semula adalah tanggal 25 September, tetapi karena
pasukan dari Jawa Timur belum tiba maka gerakan ditunda sampai 30 September.



Dapat disimpulkan Untung bukanlah seorang komunis bawah tanah. Jika ia
seorang komunis semacam itu, ia mungkin sekali akan mendapatkan akses lebih
mudah untuk menghubungi langsung ketua PKI DN Aidit untuk memastikan
kedudukan Syam yang sebenarnya. Andaikata ia seorang komunis demikian maka
dalam kedudukan dan pangkat yang disandangnya ia bakal memiliki serangkaian
pendidikan dan pengalaman politik yang cukup memadai yang akan dengan mudah
membuang ilusi pribadi terhadap Jenderal Suharto, bahwa Suharto telah
berkhianat terhadapnya bagi keuntungan diri dan kelompoknya. Dengan begitu
ia akan menyadari kesalahan analisisnya terhadap Suharto. Ia seorang
prajurit yang setia kepada Bung Karno. Dokumen yang terkenal dengan Cornell
Paper menyebutkan sebelum peristiwa telah bertahun-tahun, Sukarno, para
jenderal [AD], pimpinan komunis dan golongan lain telah terjerat dalam
manuver politik yang rumit. Semua itu secara keseluruhan menyebabkan Letkol
Untung melakukan aksinya.



Letkol Untung dieksekusi mati pada tahun 1969 di Cimahi. Demikianlah nasib
seorang prajurit yang naif politik itu tetap memendam ilusi pribadi besar
sampai saat terakhir, yang pundaknya telah menjadi panjatan sang
manipulator. Adatah itu memang realitas kehidupan di sepanjang sejarah.
Pemeo menyatakan itulah politik dalam kenyataan telanjangnya, menghalalkan
segala cara. (Petikan dari Harsutejo, “Sejarah Gelap G30S” / revisi).









No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.488 / Virus Database: 269.13.32/1032 - Release Date: 26/09/2007
20:20

<<clip_image001.gif>>

Kirim email ke