MOD: Boleh tahu, Yohannes Sulaiman itu siapa?
Ini tulisan dari Sdr. Yohannes Sulaiman sendiri menanggapi e-mail dari Anton Djakarta yang berjudul "Yohannes Sulaiman, Ikranegara Dan Dialektika Sejarah Sukarno" Kebetulan, saya kenal dengan Yohanes Sulaiman, beliau meminta tolong saya untuk mem-forward tanggapannya terhadap tulisan Anton berikut di milis Mediacare. Meyrien > > > Tanggapan Saudara Anton memang benar-benar menarik, walaupun > kelihatannya ditulis dalam kondisi yang emosional dan terlalu > bersemangat 1945, padahal keinginan untuk saling belajar dan berkepala > dingin paling penting dalam sebuah diskusi apalagi tentang masalah > G30S/PKI yang kontroversial ini. Sebelum Saudara Anton membaca > tanggapan saya, pertama-tama, saya lampirkan dulu tanggapan saya > terhadap tulisan Bapak Ikranegara: > > Tulisan sanggahan Pak Ikranegara memang menarik, namun sayangnya ia > tidak melihat konteks politis Indonesia pada masa itu. Dalam tulisan > ini, saya akan membahas sanggahan-sanggahan yang ia kemukakan dan > mencoba menempatkan para pembaca dalam konteks situasi waktu itu. > > Sanggahan pertama Pak Ikranegara terhadap tulisan saya terletak pada > peran PKI. Pak Ikranegara melihat peran PKI adalah sebagai serdadu > sipil, namun Sukarno membutuhkan PKI bukan untuk sebagai serdadu. > Sukarno menguatirkan kepopuleran PKI dikalangan masyarakat, di mana > pada pemilu 1955 PKI mendapatkan 16.4% suara dan pada pemilu daerah > tahun 1957, perolehan suara PKI meningkat sebesar tujuh juta, dan ini > hanya di Jawa. Pada tahun 1963, tak ada lagi partai politik yang bisa > menyaingi PKI: Masyumi sudah dibredel tahun 1959, PNI tak terlalu > berguna, sementara NU hanya kuat di kalangan kaum tradisionalis di > Jawa Tengah dan Jawa Timur. > > Selain itu, tak bisa dilupakan bahwa PKI adalah partai komunis > terbesar ketiga di dunia, dibelakang Uni Soviet dan China Beijing! > Posisi PKI begitu ditakutinya di dunia, sampai Uni Soviet dan China > Beijing berusaha mendekati PKI. Apalagi, setelah China Beijing > berhasil meledakkan bom nuklir dan Sukarno ingin mendekatkan Indonesia > ke China Beijing, PKI menjadi sulit dipisahkan. Sebetulnya masih ada > juga satu alasan kenapa Sukarno betul-betul mau membentuk poros > Jakarta-Beijing-Pyongyang-Phnom Pehn, namun saya tak akan bongkar > sekarang, karena saya ingin kalau disertasi saya diterbitkan juga > masih ada kejutan yang belum saya buka. Saya hanya beri petunjuk saja, > bahwa ada hubungannya dengan Amerika Serikat. > > Sanggahan kedua Pak Ikranegara terletak pada posisi Sukarno sebagai > Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI dan Pemimpin Besar Revolusi. > Perlu diingat bahwa tentara Indonesia itu mungkin paling unik di > dunia, bahwa hampir semua divisi (bahkan batalyon!) memiliki kebebasan > sendiri, akibat minimnya dana yang bisa curahkan pemerintah untuk > memenuhi kebutuhan angkatan bersenjata. Kebebasan tentara pun > diperkuat atas bisnis tentara sendiri, di mana untuk memenuhi > kebutuhan dana militernya, mereka harus bergantung kepada > penyelundupan dan usaha-usaha bekas milik Belanda yang > dinasionalisasi. Jadi, walaupun Sukarno memiliki banyak gelar, ia tak > berkuasa sepenuhnya kepada angkatan bersenjata. Karena itu, sulit > untuk Sukarno untuk seenak perutnya memecat jendral-jendral yang ia > tidak sukai. > > Ketiga adalah pribadi Sukarno sendiri. Pak Ikranegara menolak melihat > Sukarno sebagai seorang yang emosional, penuh dendam, dan emosional. > Mari saya kutipkan tulisan Sukarno sendiri melalui autobiografinya > yang terkenal (kecuali kalau anda rasa itu tulisan CIA juga): "Sukarno > adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin > yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja > sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. > Sukarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan > manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka." > > Orang macam apa yang berani menulis seperti ini, kecuali Sukarno > dengan harga dirinya yang memang sangat tinggi itu, di mana ia ingin > Indonesia juga memiliki harga diri tinggi di mata dunia? Saya tadinya > juga tidak percaya waktu membaca dokumen CIA tersebut, tapi dari > membaca biografi Sukarno serta melihat tindakan-tindakannya sejak > tahun 1945lah maka akhirnya saya percaya bahwa Sukarno BISA melakukan > hal ini, yakni melempar Indonesia ke Konfrontasi karena ia > dipermalukan Malaysia. Masih banyak lagi bahan yang bisa saya gunakan > untuk mendukung argumen saya ini, tapi saya tak mau memanjang- > manjangkan tulisan yang memang sudah cukup panjang ini. > > Dari sanggahan Pak Ikranegara, ada satu yang saya setuju, yakni G30S/ > PKI itu bertujuan untuk mengadili para jendral. Tapi saya menekankan > satu hal dalam disertasi saya, yakni G30S/PKI itu adalah sebuah > kecelakaan. Namun saya tak tuliskan dalam tulisan di Kompas berhubung > keterbatasan tempat dan di luar topik. Mungkin anda tak percaya, tapi > pada tanggal Oktober 6, 1965, CIA sendiri menyatakan kepada Presiden > Johnson bahwa tak mungkin PKI merencanakan pembunuhan atas keenam > jendral tersebut karena situasi politis di Indonesia sangat > menguntungkan PKI, suatu laporan yang agak sulit diterima kalau kita > berpendapat bahwa AS/CIA itu adalah dalang dari G30S/PKI. > > Keempat, Pak Ikranegara sayang sekali sangat berpandangan naïf tentang > Sukarno, sehingga ia tak bisa menghargai dan mengagumi kehebatan dan > kelihaian Sukarno dalam berpolitik. Walaupun disertasi saya ini > mungkin dianggap menyerang Sukarno, tapi semakin lama saya mempelajari > Sukarno, semakin kagum saya, kok bisa ada orang selihai ini, tak > seperti yang biasa dituliskan dalam buku-buku biografi tentang dia. > > Terakhir, saya menolak kalau saya dianggap ikut-ikutan pandangan guru > besar saya yang dianggap berpandangan "American Uber Alles" itu. > Soalnya, saya lebih berpandangan "American Uber Alles" daripada dia! > (yang ini bergurau, tolong jangan dianggap serius). > > YS > --------------- > > Saya rasa saya sudah menjawab sebagian besar tulisan Saudara Anton. > Sekarang untuk menjawab tanggapan Saudara Anton yang belum dibahas > dalam tanggapan saya kepada Pak Ikranegara: > > Pertama-tama saya akan membahas tanggapannya mengenai bahan-bahan dari > CIA. Semua dokumen yang saya gunakan ditulis persis pada saat > terjadinya sebuah peristiwa, kecuali satu buku investigasi dari CIA > tentang G30S/PKI yang diterbikan tahun 1969 dengan menggunakan bukti- > bukti dari pengadilan orang-orang yang terlibat dalam G30S/PKI dan > satu artikel untuk publikasi internal CIA yang mengulas peran Amerika > Serikat dalam kejatuhan Sukarno. Semua dokumen tersebut adalah untuk > konsumsi internal yang baru saja dilepaskan untuk umum beberapa tahun > yang lalu, sehingga tak ada inisiatif bagi para penyusun dokumen itu > untuk memain-mainkan apa yang mereka tulis untuk umum. Semuanya hanya > untuk para pengambil keputusan di Washington. Mungkin Saudara Anton > ini sudah cenderung terbuai semua rumor tentang propaganda CIA akibat > paham kirinya yang menggembar-gemborkan dialektika sehingga ia tak > bisa membedakan mana dokumen yang diperuntukkan untuk konsumsi umum > dan mana yang diperuntukkan untuk konsumsi internal di Washington. > Begitu pula dengan Sukarno: ada yang Sukarno katakan untuk konsumsi > umum dan ada juga yang untuk konsumsi kalangan tertentu, dan lucu > bahwa pidato Sukarno yang jelas-jelas untuk konsumsi umum dianggap > lebih berbobot daripada dokumen-dokumen CIA yang ditulis untuk > konsumsi elit di Washington. Keduanya sama pentingnya sebagai bukti > sejarah, pertanyaannya adalah bagaimana kita, sebagai orang yang > mempelajari sejarah, berusaha untuk menganalisanya. > > Kedua, mungkin saya memang sudah lama tidak di Indonesia akibat > bergumul dengan pelajaran di sini karena itu saya sudah ketinggalan > tentang perkembangan literature G30S/PKI di Indonesia. Tapi sejauh > yang saya lihat, dari tulisan-tulisan yang muncul di berbagai media, > ditambah lagi beberapa buku baru yang baru diterbitkan seperti buku > John Roosa yang menarik, yang membahas tentang G30S/PKI, tak ada dari > mereka yang betul-betul mencoba melihat korelasi antara Malaysia > dengan tentara-tentara yang terlibat G30S/PKI. Berbuhung dari itu, hal > ini tak bisa saya bantah, tapi di sisi lain juga, Saudara Anton perlu > memberikan bukti kepada saya bahwa banyak sejarahwan di Indonesia > sudah memperhatikan hubungan antara Konfrontasi dengan G30S/PKI. Di > sini, saya dengan senang hati menunggunya. > > Ketiga, cukup banyak tulisan Saudara Anton ini yang sulit dibantah, > bukan karena tak terbantahkan, tapi karena ia melakukan orasi di sana > sini, tanpa data-data yang kuat. Jika waktu itu Kalimantan memang > sudah dipenuhi pasukan Indonesia dan Sukarno yakin bahwa Indonesia > menang, mengapa tak ada penyerbuan kepada Malaysia saat itu juga? > Dipikir-pikir Inggris sendiri waktu itu juga sebal, karena biaya > mereka setiap hari itu mencapai satu juta poundsterling dan alasan > mereka untuk membentuk Malaysia sendiri agar mereka bisa cepat-cepat > meninggalkan Asia Tenggara dan mendapatkan Federasi Malaysia yang > terdiri dari Malaya, Singapura, Sabah, dan Serawak yang anti komunis. > > Keempat, soal Tan Malaka, mungkin anda tak tahu, tapi Tan Malaka > pernah meminta dukungan Sjahrir untuk mengangkat dirinya sebagai > presiden menggantikan Sukarno. Sjahrir menjawab pendek: kalau kamu > hanya sepuluh persen saja sepopuler Sukarno, kita akan > mempertimbangkan untuk mengangkatmu senagai presiden. Ini bukan dari > CIA, ini adalah tulisan Rosihan Anwar, kecuali kalau anda juga > menganggap Rosihan Anwar dipengaruhi CIA. > > Kelima: Saya tak pernah berpendapat Ahmad Yani itu pengecut. Ada > perbedaan besar antara orang yang tahu kekuatan dirinya sendiri > sehingga menolak untuk berkelahi dengan orang yang tak mau berkelahi > karena pengecut. Contoh yang pertama adalah Ahmad Yani. Saya tak > pernah melihat tindakan Ahmad Yani sebagai sebuah kepengecutan. > > Keenam, tulisan anda itu sudah terlalu panjangnya dan meleber kemana- > mana seperti nila didalam susu saja, sampai saya terus terang bingung > mau balas bagian mananya, soalnya pusing. Tujuan tulisan saya di > Kompas kan hanya untuk mencoba membawa isu Malaysia ke perdebatan > tentang G30S/PKI dan memperlihatkan bahwa Sukarno sendiri bukannya > pendukung PKI 100% karena tindakan Sukarno yang berpihak kepada PKI > sejak tahun 1963-5 didasarkan oleh kalkulasinya tentang Malaysia. > > Satu nasihat saya: kalau menulis sejarah, tak perlu bawa-bawa > dialektika. Dialektika imperialisme/kolonialisme yang senangnya > digembar-gemborkan Aidit dan pemimpin-pemimpin komunis di Beijing dan > Moskow sana membuat tulisan jadi panjangnya enggak karu-karuan dan > meleber kemana-mana, tak terlalu bisa memberikan kontribusi yang > berarti kepada perdebatan, dan membuat anda menjadi "bias" dan menolak > mengevaluasi fakta-fakta yang ada secara objektif. > > YS