Sore, pada tanggal 30 September 2007, saya menghadiri Doa bersama/Tahlil 
untuk mengenang gugurnya para Pahlawan Revolusi, di Lobang Buaya.
Bersama teman-teman Nasrani kita pisah menuju tempat Kebaktian di Gedung 
Paseban, dimana acara dimulai dengan penyampaian refleksi oleh Irjenad, 
Kebaktian Oikumene, ucapan terima kasih dari keluarga Pahlawan Revolusi, 
diwakili oleh Salomo DI. Panjaitan, kemudian ramah tamah/makan malam 
bersama.

Dalam sambutan Salomo, maupun oleh adik dari Mayjen Anumerta DI Panjaitan, 
telah disampaikan kembali bahwa, keluarga mereka telah memaafkan para pelaku 
maupun PKI.
Namun dalam mengikuti pemberitaan, dimana ada pihak-pihak yang ingin memutar 
balikan fakta sejarah dan berupaya untuk mempermasalahkan Pancasila, maka 
hal-hal semacam itu membuat sakit hati  keluarga.


Wassalam, yhg.
----------------




http://kompas.com/

Selasa, 02 Oktober 2007
Ancaman Masih Nyata
Presiden Tinjau Diorama Sebelum Upacara Kesaktian Pancasila


Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi inspektur
upacara pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta 
Timur, Senin (1/10). Sebelum upacara dimulai pukul 08.00, Presiden secara 
pribadi meninjau diorama yang menggambarkan upaya pengkhianatan terhadap 
Pancasila.

Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengemukakan, peninjauan diorama 
itu dilakukan sekitar 20 menit. Kebiasaan ini berbeda dengan Presiden 
Soeharto yang meninjau diorama setelah upacara bersama peserta upacara.
Diorama berada di museum, yang terletak di sisi barat lapangan upacara.

Upacara yang dihadiri pula oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua DPR Agung 
Laksono, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita, dan Ketua MPR 
Hidayat Nur Wahid itu berlangsung khidmat. Dalam upacara itu Presiden tidak 
memberikan amanat. Namun, Ketua DPR, mewakili rakyat Indonesia, 
menandatangani deklarasi kesetiaan kepada Pancasila.


Ancaman ideologi

Seusai upacara, Hidayat mengingatkan, ancaman terhadap Pancasila sebagai 
ideologi masih nyata. Oleh karena itu, peringatan saja tak mencukupi. 
"Laksanakan Pancasila secara jujur. Jangan hanya diperingati atau 
dipolemikkan sebagai asas," ujarnya lagi.

Hidayat menyebutkan, upaya menghidupkan komunisme dan separatisme adalah 
lawan Pancasila. Ancaman dari kelompok Islam ada juga, tetapi tidak secara 
khusus seperti tampak dalam terorisme. "Mayoritas bangsa Indonesia, di 
dalamnya umat Islam, sudah sepakat. Sudahlah, ini negara kesatuan kita yang 
di dalamnya ada Pancasila," ujarnya.

Setelah upacara, Presiden meninggalkan lapangan upacara. Seperti tiga
peringatan sebelumnya, ia berhenti di depan paduan suara, mendengarkan
persembahan lagu, dan mengucapkan selamat dan terima kasih.
Sebelum pulang, ia bertemu anggota keluarga beberapa Pahlawan Revolusi.


Jangan gunakan kekerasan

Dalam diskusi "Refleksi Atas Tragedi 30 September 1965", Senin di Jakarta, 
Ketua Umum Majelis Dakwah Islamiyah KH Chalid Mawardi mengingatkan, 
perebutan kekuasaan dengan cara di luar demokrasi atau undang-undang tidak 
boleh terjadi. Ini menimbulkan konflik dan tindak kekerasan yang merugikan 
bangsa dan menodai nilai kemanusiaan.

Pendiri Centre for Strategic and International Studies Harry Tjan Silalahi 
juga menegaskan, pentingnya terus membangkitkan kebencian kepada Partai 
Komunis Indonesia sebagai pelaku pemberontakan 1965. (INU/MZW) 

Kirim email ke