Bisnis Indonesia www.bisnis.com 

China vs AS 


Oleh: 
Christovita Wiloto
CEO & Managing Partner
Wiloto Corp. Asia Pacific
www.wiloto.com 

Stasiun TV Beijing beberapa waktu lalu melaporkan suatu berita mengenai adanya 
kasus penggunaan kertas kardus yang direndam air garam sebagai daging isi dalam 
bakpao. Berita ini telah mengundang perhatian besar dari masyarakat, setelah 
berita tersebut disebar luaskan oleh berbagai kalangan media massa dan situs 
internet.

Bahkan kelompok media massa skala besar tingkat internasional pun mengekor 
pemberitaan tersebut, memicu kekhawatiran seluruh negara di dunia terhadap 
makanan di China. 

Namun pemerintah China membantah isu tersebut, dan menyatakan bahwa berita 
tersebut adalah berita palsu dari Zi Bei Jia - seorang reporter stasiun TV 
Beijing- untuk menaikkan tingkat audiensi. 

Sebelumnya China juga diguncang isu tidak sedap berupa pemakaian cat yang 
mengandung terlalu banyak timbal pada mainan anak-anak. Akibat kasus ini, 
penjualan produk mainan anak-anak asal China di seluruh dunia anjlok cukup 
signifikan. 
China juga sempat dihajar dengan hebohnya berita permen beracun, makanan 
berbahaya, garmen dan tekstil yang mudah terbakar, sendal karet yang melecetkan 
kaki, obat-obatan yang berbahaya, dan tak kurang dari ratusan media Barat 
ramai-ramai mengangkat berita tentang berbagai pelanggaran HAM terhadap para 
pekerja China. 


Raksasa Ekonomi Dunia

China kerap diramalkan bakal menjadi salah satu raksasa alias kekuatan utama 
ekonomi dunia. Sebenarnya ramalan itu kini sudah menjadi kenyataan. Ini bermula 
ketika mayoritas ekonominya diswastakan sekitar tiga dasawarsa lalu. 

Walau pemerintah masih mengawasi ekonominya secara politik, terutama terhadap 
perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan sektor perbankan. 

Sejak 1978, kepemimpinan Pemerintah China telah memperharui ekonomi dari 
ekonomi terencana model Soviet ke ekonomi yang berorientasi pasar, tapi masih 
dalam kerangka kerja politik yang kaku dari Partai Komunis. 

Yang menarik, Pemerintah China tidak suka menekankan kesamarataan saat mulai 
membangun ekonominya, sebaliknya pemerintah menekankan peningkatan pendapatan 
pribadi dan konsumsi, serta memperkenalkan sistem manajemen baru untuk 
meningkatkan produktivitas. 

Pemerintah juga memfokuskan diri dalam perdagangan asing sebagai kendaraan 
utama untuk pertumbuhan ekonomi. Untuk itu mereka mendirikan lebih dari 2.000 
Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zones, SEZ) di mana hukum investasi 
diliberalisasi untuk menarik modal asing. 

Hasilnya adalah PDB yang berlipat empat sejak 1978. Pada 1999 dengan jumlah 
populasi 1,25 milyar orang dan
PDB 3.800 dolar AS per kapita, China sudah menjadi negara dengan ekonomi keenam 
terbesar di dunia dari
segi nilai tukar, dan ketiga terbesar di dunia setelah Uni Eropa dan AS dalam 
daya beli. 

Pendapatan tahunan rata-rata pekerja China mencapai 1.300 dolar AS. 
Perkembangan ekonomi China diyakini
sebagai salah satu yang tercepat di dunia, sekitar 7-8 persen per tahun. 

Ini menjadikan China sebagai fokus utama dunia pada masa kini dengan hampir 
semua negara, termasuk negara Barat yang selalu mengkritik China, ingin sekali 
menjalin hubungan perdagangan dengannya. Apalagi, setelah pada 1 Januari 2002, 
China sudah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Yang lebih mencengangkan, ekspor China ke AS mencapai 125 milyar dolar AS pada 
2002, sebaliknya ekspor AS ke China hanya 19 milyar dolar AS. Perbedaan ini 
utamanya disebabkan oleh fakta bahwa orang AS mengkonsumsi
lebih banyak dari yang mereka produksi, dan tentu saja karena orang China yang 
dibayar rendah tersebut, tidak mampu membeli produk mahal AS. 

Faktor lainnya adalah pertukaran valuta yang tidak menguntungkan antara 
yuan/renminbi dan dolar AS yang di-kunci, karena China mengikatkannya kepada 
kadar tetap 8 renminbi pada 1 dolar AS. 

Walau, pada 21 Juli 2005, pemerintah China membolehkan mata uang renminbi 
ditentukan oleh pasar, dan menoleransi kenaikan 0,3 persen sehari. 

Ekspor China ke AS pun melonjak 20 persen per tahun, lebih cepat dari ekspor AS 
ke China. Sementara, dengan penghapusan kuota tekstil, China sudah tentu 
menguasai sebagian besar pasar baju dunia.

Lalu bagaimana dengan AS? Super power dunia ini sejak awal menjalankan sistem 
ekonomi kapitalis. Pertumbuhan
ekonomi negara ini kokoh di permukaan. Indikatornya pengangguran dan inflasi 
rendah. 

Namun, defisit perdagangan yang rendah, secara tak langsung menggambaran AS 
membeli lebih banyak barang dari negara lain ketimbang menjualnya.

Ekonomi AS ialah salah satu yang terpenting di dunia. Banyak negara telah 
menjadikan dolar AS sebagai tolok ukur mata uangnya, artinya berharga atau 
tidaknya mata uang mereka ditentukan oleh fluktuasi dolar AS. Sejumlah negara 
menggunakan dolar sebagai mata uangnya. Bursa saham AS dipandang sebagai 
indikator ekonomi dunia.

Jarak struktur sosial AS yang besar, mencerminkan sejumlah orang AS cukup kaya. 
Pendapatan rata-rata penduduk AS sebesar 37.000 dolar AS setahun pada 2002. 
Walau sebenarnya masih ada juga rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. 

Negara ini memiliki banyak sumber daya mineral, seperti emas, minyak, batu bara 
dan endapan uranium. Pertanian membuat negara ini berada di antara produsen 
utama, di antara lainnya, jagung, gandum, gula dan tembakau. AS memproduksi 
mobil, pesawat terbang dan benda elektronik. Sekitar 3/4 penduduk AS bekerja di 
industri jasa.

Kondisi ekonomi kedua negara yang nyaris bertolak belakang tersebut menciptakan 
sebuah keadaan yang
kontroverisal. Dalam arti geliat ekonomi China makin berpotensi menggeser 
hegemoni ekonomi AS. Meski tak diakui terang-terangan, AS kian ngeri melihat 
perkembangan ekonomi China. Apalagi menjelang Olimpiade Beijing, yang pasti 
akan membuat ekonomi China bertambah booming. 

Perang PR , Bisnis dan Ekonomi

China telah, sedang, dan terus akan dihajar dengan berbagai pemberitaan dari 
berbagai belahan dunia, terutama barat dan AS. Dengan berbagai isu antara lain 
keselamatan dan hak asasi buruh, kualitas produk-produk, higienis makanan, 
minuman dan obat-obatan, dan berbagai macam bentuk serangan lainnya.

Yang memang faktanya hal-hal yg berkaitan dengan kesehatan, keselamatan dan hak 
asasi manusia seperti ini, seperti di negara kita juga, sangat mudah ditemukan 
di China. 

Seperti bahwa pekerja China dikenal sebagai buruh yang dibayar murah, mereka 
biasanya dibayar 50 sen-1 dolar AS per jam (rata-rata 0,86 dolar AS), -- 
bandingkan dengan 2-2,5 dolar AS di Meksiko, dan 8,50-20 dolar AS di AS. 

Buruh-buruh China ini seringkali terpaksa bekerja keras di kawasan berbahaya 
dan mudah ditindas majikan, karena tiada UU dan serikat sekerja yang bisa 
melindungi hak mereka.

Namun diluar itu semua pemicu utamanya lebih pada perang bisnis dan ekonomi. 
Pertumbuhan ekonomi China yang luar biasa, sangat mengkhawatirkan banyak pihak. 
Apalagi saat ini China sedang bersiap menyongsong kemakmurannya yang akan 
meledak menjelang, saat dan setelah Olimpiade China.

Sekarang tinggal kita tunggu apa reaksi China terhadap ini semua. Jika China 
menyadari bahaya ini dan membenahi diri dengan menjaga kualitas 
produk-produknya sehingga sesuai dengan standard negara-negara maju, maka China 
akan semakin kuat dan berjaya. 

Tetapi sebaliknya jika China, tidak mampu melakukan hal ini. Kita bisa lihat 
bahwa China akan limbung dengan berbagai hantaman berita-berita seperti ini. 
Apalagi China selalu lemah dalam Strategic Public Relationsnya, karena 
paradigma Strategic Public Relations yang lemah di kalangan pemerintah dan 
dunia usaha China. Sementara "lawan-lawannya" justru sebaliknya sangat piawai 
dibidang ini.

Namun menurut saya, China akan bisa mengatasi masalah ini dengan "caranya 
sendiri", setelah sebelumnya China mampu mengelola krisis dan bangkit dari 
hantaman SARS, yang sampai sekarang asal-usulnya masih sangat misterius.

Sangat menarik untuk memperhatikan bagaimana cara pemerintah China mengelola 
krisis ini. Agar setidaknya jika krisis yang sama terjadi terhadap negara 
tercinta Indonesia, kita sudah memasang kuda-kuda dan sigap untuk menghadapinya.



Kirim email ke