Pasifisme Demokrasi
Oleh Burhanuddin
04/10/2007

Acapkali 'kebencian' terhadap suatu kelompok dilanjutkan dengan
perilaku main hakim sendiri. Ketidaksukaan terhadap suatu kelompok
seringkali diwujudkan dengan aktivisme sepihak yang merampas
wewenang polisi. Lebih daripada itu, banyak kelompok intoleran yang
menekan elite politik setempat untuk menerbitkan baik SK
Gubernur/Bupati, Perda, dan semacamnya untuk mengakomodasi tuntutan-
tuntutan mereka.

Dalam perspektif kultur politik demokrasi (civic culture),
stabilitas demokrasi ditentukan oleh dua unsur yang sekilas tampak
kontradiktif. Pertama, unsur 'aktif' yang merekomendasikan adanya
partisipasi politik warga dan keterlibatan politis (political
engagement). Kedua, unsur 'pasif' yang meniscayakan adanya budaya
politik yang toleran dan sikap percaya antarwarga (interpersonal
trust). Kombinasi apik dua unsur aktivisme dan pasifisme demokrasi
ini, menurut Almond dan Verba (1963), akan membentuk kultur politik
yang moderat yang akan memberikan garansi bagi terkonsolidasinya
sebuah rezim demokrasi.

Realitas sui generic Indonesia pasca Soeharto ditandai oleh
melonjaknya surplus percaya diri masyarakat di satu sisi, dan
melorotnya wibawa negara di sisi lain. Ini terlihat dari kurang
berdayanya aparat dalam menegakkan hukum di tengah maraknya pelbagai
bentuk aktivisme dan partisipasi politik non-konvensional sekelompok
warga. Berbeda dengan partisipasi konvensional yang ditentukan waktu
dan metode pelaksanaannya seperti ikut pemilu dan kampanye,
partisipasi non-konvensional bersifat timeless, merentang dari
bentuk yang paling lunak seperti mengorganisir petisi, dialog,
demonstrasi, hingga memboikot, memblokir lalu-lintas dan merusak
sarana dan prasarana umum.

Adalah benar, seperti dikatakan sarjana politik seperti Verba,
Schozman dan Brady (1995) bahwa aktivisme dalam partisipasi politik
adalah intinya demokrasi. Tapi, aktivisme saja tidak cukup
menstabilkan demokrasi. Diperlukan adanya pasifisme demokrasi yang
menyertai —apa yang disebut Almond dan Verba sebagai— 'budaya
politik partisipan.' Di antara unsur pasif yang paling penting
adalah toleransi. Doktor ilmu politik dari Ohio State University,
Saiful Mujani (2003) membagi toleransi dalam dua sisi mata uang yang
tak terpisahkan: (1) toleransi religio-politik atau keagamaan dan
(2) toleransi politik. Intinya, kultur politik toleran ini
diharapkan mampu menenggang perbedaan-perbedaan dalam tradisi
keagamaan, afiliasi politik dan lain-lain.

Sayangnya, kultur politik Islamis yang berkembang di Indonesia pasca
Soeharto ditandai oleh miskinnya budaya toleran, baik yang bersifat
toleransi internal umat Islam maupun eksternal. Kultur politik
Islamis menunjuk pada suatu pandangan yang percaya bahwa Islam
memiliki semacam pranata yang lebih superior dan kaffah yang
mencakup hubungan individu dengan masyarakat dan negara, dan
karenanya harus diterapkan di ruang publik. Kita menyaksikan
rentetan peristiwa pengusiran jamaah Ahmadiyah dan perusakan aset-
aset organisasi Ahmadiyah mulai dari Sumatra Barat, Kuningan,
Tasikmalaya hingga Lombok, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
Islamis. Kita juga menjadi saksi atas penghancuran masjid-masjid
LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) atau lebih dikenal sebagai
Islam Jamaah. Melorotnya indeks toleransi kaum Islamis itu juga
makin kentara dengan aksi-aksi sepihak mereka untuk membubarkan misa
kebaktian, menutup gereja-gereja, dan semacamnya.

Pada bulan suci Ramadhan ini kita juga disuguhi aksi-aksi partikelir
yang menunjukkan intoleransi para pelakunya terhadap kalangan-
kalangan yang berbeda dengan mereka. Dengan mengatasnamakan Tuhan,
mereka merasa diberi semacam lisensi untuk menutup warung-warung
makan, tempat-tempat hiburan, kafe-kafe dan sejenisnya. Kita juga
baru saja disodori berita tentang intoleransi warga Padang terhadap
kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah.

Sebenarnya kita boleh-boleh saja `membenci' kelompok lain,
sepanjang `kebencian' kita tidak menghalangi hak-hak kelompok
tersebut. Kita boleh tidak suka terhadap para penjual makanan yang
masih buka di bulan puasa. Tapi kita tidak boleh menghalangi hak-hak
mereka untuk mencari nafkah. Kita boleh tidak setuju terhadap
keyakinan jamaah Ahmadiyah, tapi hak mereka untuk hidup dan
beribadah tidak boleh kita ganggu. Itulah toleransi.

Yang terjadi masih jauh panggang daripada api. Acapkali `kebencian'
terhadap suatu kelompok dilanjutkan dengan perilaku main hakim
sendiri. Ketidaksukaan terhadap suatu kelompok seringkali diwujudkan
dengan aktivisme sepihak yang merampas wewenang polisi. Lebih
daripada itu, banyak kelompok intoleran yang menekan elite politik
setempat untuk menerbitkan baik SK Gubernur/Bupati, Perda, dan
semacamnya untuk mengakomodasi tuntutan-tuntutan mereka. Celakanya,
banyak elite politik yang tergiur untuk memenuhi tuntutan tersebut
semata-mata karena kepentingan politik jangka pendek dan populisme
[]






Reply via email to