Salam,

Penjelasan yang panjang lebar, tetapi semakin menjelaskan kenaifan anda.
Sekedar contoh anda menyebutkan:

-Apabila membahas sistim kebijakan Pemerintah Orde Baru dengan
nilai-nilai dan norma yang berlaku sekarang, maka peraturan yang
dibuat tahun 60-an bisa saja dikatagorikan sebagai diskriminatif,
melanggar hak azasi, dsb, dsb,dsb.-

Lha memang sejarah itu dinilai oleh waktu (memudian). Di sisi lain ada upaya
untuk pembakuan HAM yang universal sejak kelahiran DUHAm. Sedangkan Soeharto
melakukan berbagai kebijakan represif dan diskriminatif melalui stigmatisasi
setelah kelahiran DUHAM, artinya dia terikat hukum itu.

Kemudian contoh anda tentang komunitas cina yang kaya, itu bukan sebuah
pembenaran yang menegasikan perilaku kekuasaan orba yang represif dan
diskriminatif.

Kenaifan anda membuat jika digunakan sebagai acuan semakin menambah biasnya
permasalahan, dan berpotensi kepada kelupaan masal akan sejarah.

On 10/5/07, Yap Hong-Gie <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>   Bung Manneke Yth,
>
> Terima kasih atas tanggapan Anda.
>
> Secara teoretis anda benar bahwa, "Suatu rezim kekuasaan tidak dapat
> secara moral membebaskan dirinya dari penghakiman sejarah."
>
> Tapi bicara tentang penghakiman sejarah, maka kita masuk satu wilayah
> yang amat subyektif, tergantung pada siapa yang melakukan penilaian
> dan penghakiman, belum lagi pengaruh dan sikap politik Pemerintah yang
> berkuasa, sehingga akan selalu menjadi kontroversi yang tidak pernah
> berakhir.
>
> Analogi Anda yang membandingkan Pemerintah Orba dengan Nazi Jerman,
> Pol Pot dan Idi Amin, cukup bombastis bila dilemparkan kepada kalangan
> pelajar SMU, padahal setiap peristiwa politik tidak bisa disamakan,
> apalagi membandingkan dengan kejadian dinegara lain.
>
> Lagi pula, tidak ada maksud dibenak saya untuk mengajukan apologia.
> Saya mengatakan bawah penilaian terhadap kebijakan pemerintah Orba
> adalah tidak tepat, oleh karena menggunakan parameter (nilai-nilai dan
> norma) yang berlaku 40 tahun kemudian, tanpa memasukan indikator
> situasi dan kondisi politik yang berlaku ketika itu.
>
> Agar tidak bertambah bias, saya ulangi pembuka penjelesan saya:
> =Apabila membahas sistim kebijakan Pemerintah Orde Baru dengan
> nilai-nilai dan norma yang berlaku sekarang, maka peraturan yang
> dibuat tahun 60-an bisa saja dikatagorikan sebagai diskriminatif,
> melanggar hak azasi, dsb, dsb,dsb.
> Kebijakan sosial-politik Pemerintah harus ditinjau dengan mengacu pada
> segala macam faktor, yang terkait pada situasi dan kondisi negara pada
> saat itu.=
>
> Mari kita fokuskan diskusi ini pada masalah seputar diskriminasi
> terhadap etnis Cina di jaman Orde Baru, masalah tindakan terhadap PKI
> dan ondebouwnya adalah isu dan substansi tersendiri.
>
> Sudah saya coba jelaskan tapi rupanya masih terlalu sulit untuk dicerna.
> Aturan dan kebijakan yang dibuat pasca G30S/PKI (1965-1967),
> mengutamakan fokusnya pada pemulihan keamanan, ketertiban dan
> stabilitas politik.
> Oleh karena itu pula segala macam masalah yang menyangkut ideologi,
> serta celah-celah yang bisa di infiltrir oleh komunis asing (RRC),
> ditangani lansung oleh Komando Operasi Tertinggi Ampera.
>
> Kenapa aturan-kebijakan tidak dilakukan oleh Pemerintahan RI?
> Karena Pemerintahan sudah vakum, sedangkan Kabinet Dwikora lagi
> sibuk-sibuknya berkonsolidasi dan berupaya menyelamatkan PKI.
>
> Soal siapa-siapa yang bergidik bulu kuduknya, pada masa pasca revolusi
> (kudeta), seluruh bangsa Indonesia dalam keadaan takut dan tidak menentu.
> Tetapi kebijakan ganti-nama, tetap saja merupakan anjuran, tidak ada
> sangsi hukumnya.
> Buktinya masih banyak warga etnis yang mempertahankan 3 nama, dalam
> keadaan sehat walafiat, tidak kurang suatu apa.
>
> Kadang saya bingung dengan "kepolosan" Anda menyikapi peristiwa
> sejarah, koq tega-teganya nanya: "mengapa anjuran ganti nama kok cuma
> buat etnik Cina, dan bukan untuk nama-nama Barat dan Timur Tengah?"
> Sekarang saya balik tanya, memangnya selama 10 tahun terakhir, PKI
> didukung oleh negara Barat dan Timur Tengah?
> Memangnya orientasi politik Orde Lama adalah poros:
> Jakarta-Abudabi-Amsterdam?
>
> Motif kebijakan ganti-nama, maupun soal adat/budaya saat itu, dilatar
> belakangi oleh masalah sosial-politik yang sedang pada titik paling
> kritis, yang tujuannya adalah agar terciptanya proses pembauran dan
> integrasi bangsa, guna menghindari loyalitas ganda, kepada
> pemerintahan komunis RRT.
>
> Kalau benar tuduhan bahwa selama 32 tahun Pemerintah Orde Baru
> menerapkan politik diskriminasi, maka:
>
> * Tidak ada kawasan perumahan mewah seperti: Pluit, Pantai Indah
> Kapuk, Pantai Mutiara, Kelapa Gading, Permata Hijau, Pondok Indah
> dll., yang dihuni oleh warga keturunan Tionghoa.
> * Tidak ada warga etnis Tionghoa masuk daftar "150 Richest in
> Indonesia 2007 atau masuk "Indonesia's 40 Richest" versi Forbes,
> selama berapa tahun berturut-turut.
> * Ada 2 lembaga ICMI, dimana yang pertama didirikan adalah "Ikatan
> Cina Miskin Indonesia", karena yang kaya sudah mabur semua!
>
> Wassalam, yhg.
> -----------------
>
>  
>

Kirim email ke