Waktu berjalan tanpa mengenal kata henti. Tanpa terasa, kita pun  tengah berada 
di bulan yang mulia ini. Melalui munajat dan doa,  alhamdulillah, Allah 
menakdirkan kita untuk kembali menjumpai Ramadan;  bulan penuh rahmat, bulan 
penuh ampunan, yang padat dengan limpahan  pahala. Seluruh kaum muslimin dari 
berbagai penjuru dunia merindukan  dekapan bulan mulia ini, namun tidak semua 
kerinduan mereka itu  terobati, karena ajal lebih dulu datang menjemput sebelum 
bulan yang  mereka rindui itu tiba.
 
Dan kini, Allah telah memilih,  dengan menuliskan kita sebagai hamba yang 
beruntung, sehingga dapat  merasakan Ramadan di tahun ini. Yang menjadi 
pertanyaan adalah, mampukan  kita menjadikan Ramadan kali ini sebagai ladang 
meraup ampunan dan  rahmat Allah? Atau kita justru membiarkannya berlalu begitu 
saja,  mengisinya dengan etos amal dan produktifitas yang sangat rendah?  
Na’udzubillahi min dzalik, semoga bukan hal seperti itu yang kita  lakukan.
 
Puasa tak ubahnya amalan ibadah yang misterius.  Indikasi itu terungkap dalam 
sebuah hadis Qudsi yang berbunyi, "Setiap  amalan manusia adalah untuknya 
kecuali puasa. Amalan puasa adalah  untuk-Ku (Allah Swt.)" (HR. Bukhari). Dapat 
disimpulkan bahwa ibadah  puasa adalah amalan rahasia, di mana kejujuran 
amalannya hanya diketahui  oleh orang yang berpuasa dan Allah Swt. saja. Cukup 
sukar membedakan  yang berpuasa dengan yang tidak, karena amalannya tidak 
nampak 
secara  kasat mata. Berbeda halnya dengan shalat, sedekah dan zikir yang bisa  
dilihat secara zahir.
 
Begitu rahasianya, sehingga orang  yang berpuasa ibarat seorang artis kawakan 
yang lihai berakting dan  memakai topeng dalam sandiwaranya. Jika demikian, 
benarlah apa yang  disabdakan Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis: "Betapa 
banyak 
orang  berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar, dan betapa banyak  
orang yang menghidupkan malam tidak mendapatkan apa-apa kecuali  begadangnya 
saja." (HR Ibnu Majah). Boleh jadi ia terlihat giat dalam  salat Tarawih, 
shalat 
tepat waktu, tadarus Al-Quran dan bersedekah,  namun dalam waktu bersamaan ia 
tetap eksis memproduksi dosa-dosa  maksiatnya.
 
Seorang hamba sudah seharusnya merenungi dan  menerapkan hakikat ihsan dalam 
setiap aktivitasnya, apalagi selama  Ramadan di mana seseorang selalu 
dimonitori 
oleh hati kecil yang ia  miliki, dan menyadari bahwa Allah senantiasa 
menyaksikan gerak-geriknya.  Kesadaran itu sangat membantu seseorang mawas diri 
dan memotivasinya  untuk beramal dengan hati yang suci. Jika nilai-nilai itu 
telah menjadi  aset pribadi, tentu kecil kemungkinan aksi berpura-pura di bulan 
penuh  ampunan ini terjadi.
 
Melalui pemahaman esensi puasa, kita  dapat meluruskan anggapan bahwa Ramadan 
hanya berfungsi sebagai ajang  pengungkungan aktivitas dan produktifitas 
seseorang saja. Selain itu,  puasa juga tidak sebatas didefenisikan dengan 
menahan lapar, haus dan  naluri seksual, sebab di bulan ini diajarkan manajemen 
kemauan,  pendidikan vertikal antar seorang hamba dengan Allah yang dibarengi  
dengan penyucian jiwa. Ingatkah kita, bagaimana Siti Maryam, ibunda Isa  as. 
ketika dihujani hujatan dan tuduhan, ia hanya membalas dengan  mengatakan, 
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang  Maha Pemurah, maka 
aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun  pada hari ini." (QS. 
Maryam: 26). Menahan diri, itulah esensi terbesar  dari puasa yang kita jalani 
saat ini, sebagai pembelajaran sekaligus  bekal dalam mengarungi sisa kehidupan 
kita di dunia.
 
Manusia  kerap lalai mengingat Sang Khalik karena kesibukan mengurusi dunianya. 
 
Ramadan adalah momentum istimewa untuk menjadikan hidup lebih bermakna  dan 
bertabur pahala. Jika selama ini kita sadar selalu berlari tanpa  henti 
mengejar 
dunia, maka sekarang, istirahatlah sejenak, aturlah nafas  yang terengah-engah 
itu, dan manfaatkanlah bulan mulia ini dengan  ibadah dan memohon ampunan 
dari-Nya. Mari sekarang bersama-sama kita  membenahi diri, karena Ramadan esok, 
belum tentu milik kita lagi.  Wallahua’lam bishawab []

Kirim email ke