Kiat-kiat mendidik anak

Ketika anak kita lahir, atau bahkan ketika kita hendak berangkat
menikah, yang terbersit dalam hati barangkali adalah kerinduan untuk
memiliki anak yang berbakti kepada-Nya. Inilah anak yang dirindukan oleb
kaum mukmin. Anak yang hukma-shabiyya rabbiradhiyyab (semenjak kecil
telah memiliki kearifan dan sekaligus diridhai Tuhan). Anak shalih yang
mendo'akan ketika para pelayat telah selesai menimbunkan tanah di
pekuburan kita. 

Kerinduan untuk memiliki anak yangherbakti kepada-Nya sejak kita
berkeinginan untuk menikah, bukan saja boleh. Bahkan kita perlu
membakarnya agar lebih meluap-luap lagi. Sehingga kerinduan itu membuat
kita mempersiapkan diri.Kalau Anda merindukan anak-anak yang demikian,
mari kita dengarkan  kata-kata Rasulullah: "Allah merahmati seseorang
yang membantu anaknya berbakti kepada-Nya,"  sabda Nabi SAW.  Beberapa
orang di sekeliling Nabi bertanya: Bagaimana caranya, ya Rasulullah?"
Beliau menjawab:  "Dia menerima yang sedikit darinya, memaafkan yang
menyulitkannya, dan tidak  membebaninya, tidak pula memakinya." 

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah bersabda,
"Bantulah anak-anakmu untuk berbakti. Siapa yang menghendaki, dia dapat
melahirkan kedurhakaan melalui anaknya." Siapa yang menghendaki, begitu
Rasullullah yang mulia berkata, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui
anaknya. Semoga tidak satupun di  antara kita yang menghendaki anak-anak
yang durhaka. Semoga tidak satu  pun. Tetapi apa yang sudah kita
lakukan? Sudahkah kita membantu anak-anak kita untuk berbakti
sebagaimana yang diserukan oleh Rasulullah SAW?  

Saya tidak berani menjawab. Marilah kita bertanya pada diri kita
masing-masing. Selanjutnya, marilah kita tengok sekeliling kita. Mereka
yang frustasi dan memberontak pada orangtua, anak-anak siapakah itu?
Mereka yang tertangkap saat meminum obat-obat terlarang, anak-anak
siapakah itu? Mereka yang berkelahi dan saling menerkam,  anak-anak
siapakah itu? Mereka bukan orang lain. Di antara mereka  adalah
anak-anak orang Islam. Bapaknya Islam. Ibunya Islam. Dan  kampung mereka
dikenal sebagai kampung Islam. Mengapa ini terjadi? 

Saya tidak berani menjawab. Marilah kita bertanya pada diri kita
masing-masing. Pada saat yang sama, marilah kita lihat apa yang
terpancang di rumah-rumah saudara kita. Kalau dulu mereka mengisi
saat-saat yang sepi dengan kidung barzanji atau maulid nabi, sekarang
telah berganti dengan antena parabola dan pesawat televisi di atas 30
inchi. Kalau dulu mata yang maksiat ditangisi tak henti-henti,  sekarang
hiburan telanjang dihadirkan ke rumah-rumah orang "mukmin"   melalui
televisi dengan mengorbankan waktu-waktu produktif. 

Sementara, koran-koran menyajikan isu dan gosip yang tak jelas ujung
pangkalnya lantaran semua telah berdiri di atas agama baru yang  bernama
bisnis dan konsumtivisme. Baju baru menjadi lebih berharga  daripada
harga diri, sehingga seorang gadis bersedia tidak perawan  lagi demi
memperolek gemerlap mode dan penampilan trendy. (Semoga  Allah
mensucikan kita dan keturunan kita dan hal-hal yang demikian). 

Masya-Allah, betapa banyak yang telah kita lupakan atau bahkan sengaja
kita tinggalkan. Kalau dulu tetangga merasa ikut bertanggungjawab atas
kebaikan anak tetangganya sehingga anak-anak berkembang dalam kesejukan,
sekarang ketika orangtua mendapati anaknya nakal yang terucap adalah
kata-kata,  "Apa salah saya? Kenapa anak saya yang begini? Padahal,
perasaan, tidak pernah menyakiti orang lain." 

Kenapa anak saya yang begini? menyiratkan kesaksian hati untuk
mengikhlaskan anak-anak orang lain rusak, asal jangan merusak anak
sendiri. Sehingga ketika anak sendiri yang rusak, pertanyaan yang
muncul adalah, "Kenapa anak saya yang begini? (Kenapa bukan anak orang
lain?)"  Ya, kenapa begini. 

Ada banyak hal yang perlu kita renungkan kembali. Tetapi, saat ini,
marilah kita mengingat-ingat hadis Nabi sebagaimana kita simak di awal
tulisan ini. Semoga kita termasuk orang-orang yang dirahmati Allah,
dengan melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Rasulullah SAW dalam
membantu anak kita berbakti kepada-Nya, yaitu:

1. Menerima yang Sedikit 

2. Memaafkan yang Menyulitkan 

3. Tidak Membebani 

4. Tidak Memakinya 

1. Menerima yang Sedikit 

Setiap anak telah diberi kelebihan oleh Allah 'Azza wa Jalla, dan ia
dimudahkan untuk melakukan apa yang menjadi kelebihannya (bakat).Setiap
anak memiliki kadar kelebihan yang berbeda-beda dan jenis keberbakatan
yang beragam-ragam. Saya mempunyai bakat menulis, alhamdulillah itu saya
telah memupuknya sehingga subur, dan orang lain  juga mempunyai bakat
menulis. Tetapi bakat saya menulis, berbeda  dengan bakat menulis orang
lain. Amanahnya juga berbeda antara saya  dan orang lain. Ada anak yang
bakatnya sangat beragam, sehingga ia menyukai hampir semua bidang dan
mampu berprestasi di setiap bidang  yang ia geluti.  

Imam Syafi'i adalah salah satu contohnya.Ia  meletakkan dasar-dasar ilmu
ushul-fiqh, menetapkan qaul-qaul (pendapat hasil ijtihad) fiqih,
menguasai ilmu firasat, memahami dan sekaligus termasuk ulama hadis yang
piawai, serta sejumlah bidang keilmuan sejenis lainnya. Beliau juga
orang yang banyak mendalami ilmu fisika, kimia, kedokteran, ilmu hitung,
ilmu falak, perbintangan dan ilmu-ilmu  empiris lainnya. Ada yang
bakatnya hanya pada satu bidang, sementara  bidang lainnya lemah. 

Bahkan ada yang semula tampak sangat kesulitan dalam bidang tertentu,
tetapi kemudian menjadi seorang yang paling menguasai. Setiap anak
memiliki kelebihan, betapa pun sedikitnya.Betapa pun sedikitnya.
Betapapun saat ini masih samar-samar. Atau, bahkan belum kelihatan. 

Tugas Anda adalah menerima anak dengan hati terbuka dan cinta yang
tulus. Terimalah yang sedikit dengan menjadikan diri Anda seorang ibu
yang aminah, ibu yang menjadi sumber rasa aman bagi anak-anak
Anda.Sehingga Andalah yang menjadi pelariannya ketika ia gelisah.
Pangkuan Andalah yang dicari-cari tatkala Ia tidak bisa ulangan
maternatika.Bukan justru takut mendengar suara sepatu Anda.  

Terimalah yang sedikit. Jangan terlalu banyak menuntut anak. Bisa jadi
anak menjadi seperti yang Anda tuntut saat ini, tetapi jangan-jangan ia
akan mengalami sejumlah masalah kejiwaan yang tak kunjung
selesai.Beruntung kalau ia memperoleb jawaban yang menyejukkan hati di
kitab suci. Kalau tidak, jangan-jangan tindakan orangtua terlalu
menuntut anak termasuk di antara perbuatan yang menyebabkan anak
melakukan kedurhakaan. Na 'udzubillahi min dzalik. 

Terimalah yang sedikit. Dan biarkan kasih-sayang, keteduhan dan
kedamaian belaian tangan Anda menjadi tanah subur tempat anak
menumbuhkan yang sedikit itu menjadi banyak dan berharga. Sedangkan
do'a-do'a yang Anda panjatkan di penghujung malam, menjadi air dan
penjaga kesucian tujuan serta niat Anda dalam mendidiknya sampai kelak
Anda berjumpa lagi di yaumil-qiyarnah Semoga kita termasuk orang-orang
yang dikumpulkan dengan anak-cucu dan orangtua kita.  

2. Memaafkan yang Menyulitkan 

Ketika SD dan SMP saya mempunyai kesulitan dalam mata pelajaran bahasa
daerah, disamping olahraga. Saya orang Jawa asli. Ibu Jawa dan bapak
juga Jawa. Tetapi saya kesulitan bukan main untuk belajar bahasa
Jawa.Ulangan bahasa daerah, sudah lumayan bisa mendapat nilai 5. Kalau
tidak, saya malah mendapat nilai 4 atau 3. Sebuah angka yang istimewa
karena jarang yang mendapatkannya. 

Tentu saja bukan angka istimewa ini yang membuat saya bahagia. Nilai
saya yang hampir selalu rendah dalam bahasa daerah, tidak menimbulkan
masalah yang menyulitkan perkembangan saya lantaran ibu memaafkan apa
yang menyulitkan saya. Ketika saya bercerita bagaimana hari itu saya
mendapat nilai yang jelek (jelek sekali) dalam bahasa daerah, ibu
justru balik bercerita bahwa beliau semasa sekolah juga mempunyai
kelemahan dalam mata pelajaran tertentu.  

Ibu bercerita tentang kecerdasannya dalam pelajaran bahasa daerah,
tetapi lemah dalarn mata pelajaran yang justru menjadi kelebihan saya.
Sekali waktu, ibu  membawakan buku biografi Albert Einstein, seorang
penemu rumus E = MC2   yang awalnya di-DO dan sekolah lantaran bodoh.
Kali lain, saya dibawakan buku biografi Thomas Alva Edison, ilmuwan
cemerlang yang pernah dianggap sinting gara-gara mengerami telur angsa
(tentu saja tidak bisa menetas). Ibu juga membawakan buku-buku biografi
lainnya, sehingga saya merasa aman terhadap diri saya dan menerima
kelebihan, kekurangan maupun apa yang oleh orang lain disebut kelemahan
saya. 

Kesulitan anak bisa beragam. Tidak hanya yang berkait dengan kecakapan
di kelas. Anak barangkali cerdas di kelas, tapi ia membutuhkan proses
yang lebih lama untuk bisa memakai dan meletakkan sepatu dengan
baik.Anak barangkali cepat tanggap terhadap ta'lim (pendidikan) yang
diberikan oleh bapaknya selepas shalat maghrib, tapi sulit mengucapkan
'ain dengan benar. 

Memaafkan yang menyulitkan sambil tidak berputus asa terhadap rahmat
Allah, insya Allah justru menjadikan anak berkembang dengan baik dan
mampu mengatasi sendiri kesulitan-kesulitannya.Memaksa, memarahi,
apalagi sampai membandingkan hal-hal yang rnenyulitkan anak dengan
kecakapan anak lain, justru rawan terhadap berbagai jenis penyimpangan
perilaku. Boleh jadi anak tidak nakal lantaran takut terhadap  sikap
keras Anda. Tetapi ia mungkin akan menjadi minder, rendah diri, dan
kurang bisa bersikap tegas. Mungkin juga ia justru sebaliknya, menjadi
sensitif, mudah tersinggung, kaku dan mudah tersulut kemarahannya. 

Ibu Albert Einstein bisa memaafkan kesulitan yang menimpa anaknya.Ia
membimbing anaknya dengan penuh kasih-sayang dan kesabaran. Ia tidak
membebani anaknya. Kelak, anaknya menjadi ilmuwan terkenal yang
sukses.Nasehat untuk memaafkan yang menyulitkan anak, ternyata tidak
hanya  efektif untuk kita yang muslim. Ia juga tepat untuk mereka yang
belum  mengenal Islam. 

Nah, kalau sekarang Anda belurn memaafkan hal-hal yang menyulitkan  anak
Anda, marilah kita segera membenahi diri selagi pintu belum
tertutup.Boleh jadi, rnaksud memaafkan yang menyulitkannya lebih luas
lagi, yaitu memaafkan perilaku anak yang menyulitkan orang tua. Semoga
dengan demikian, mereka kelak menjadi anak yang menyejukkan mata. 

3. Tidak Membebani 

Allah tidak membebani manusia, kecuali sebatas kemampuannya. Ketika
Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk bertakwa, yang Ia
perintahkan adalah fattaquLlaha mastatha'tum (bertakwalah semampu kamu).
Ketika Allah Jalla wa 'Ala menyerukan manusia untuk  melaksanakan
berbagai kebajikan, yang Allah serukan adalah ahsanu-amala (sebaik-baik
amal). Bukan aktsaru-amala (sebanyak-banyak amal). 

Ketika Rasulullah SAW mengajak sahabatnya untuk melaksanakan apa yang
beliau perintahkan, yang beliau katakan adalah, "Jika aku larang kau
melakukan sesuatu, maka jauhilah, dan jika aku perintahkan kau untuk
melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampu kamu. (Muttafaq 'Alaih,
diriwayatkan Bukhari & Muslim) 

Orangtua yang menginginkan anak berbakti kepadaNya, hendaklah tidak
membebani anak dengan tugas-tugas yang tidak mampu  ia
lakukan.Ketidakmampuan anak bisa disebabkan oleh belum siapnya anak
untuk  melakukan kegiatan-kegiatan yang dikehendaki orangtua, bisa
lantaran  usia anak maupun kesanggupan fisik anak belum memungkinkan,
bisa pula lantaran tingkat kemampuan anak belum memadai. 

Tugas-tugas atau tuntutan yang baik akan berakibat baik sebagaimana
dikehendaki, jika dilaksanakan pada waktu yang tepat, dengan cara yang
tepat, takaran yang tepat, dan membawa kemaslahatan bagi anak di
masa-masa berikutnya. Inilah antara lain pengertian dari istilah hikmah.


Didiklah anak dengan bijak dan lemah-lembut.Tanamkan padanya keinginan
untuk melakukan kebajikan-kebajikan dengan sebaik-baiknya menurut kadar
kesanggupannya. Jangan terlalu menuntutnya untuk mampu  melakukan segala
macam tugas seperti yang anda kehendaki, saat ini  juga. Jangan
membanding-bandingkan Ia dengan saudaranya yang memiliki prestasi lebih
bagus dalam bahasa Inggris, misalnya. Hindari terlalu  banyak membebani
anak dengan berbagai keharusan. 

Perintah-perintah yang terlalu banyak menggunakan kata harus, bukannya
memotivasi anak. Justru melemahkan. Perintah serba harus dan jangan
dengan serta-merta, tidak merangsang anak untuk kreatif dan antusias
melakukan kebaikan. Sebaliknya, ia secara perlahan berubah menjadi mesin
yang kehilangan inisiatif-inisiatif kreatif maupun kecakapan
berinovasi. Ia hanya melaksanakan apa-apa yang sudah diinstruksikan. 

Selebihnya, mudah-mudahan ia tidak mengalami tekanan mental yang
berkepanjangan.Dalam 'ushul-fiqli dikenal waidul-khamsah (lima prinsip
dasar), salah satunya adalah terpeliharanya akal. Kalau orangtua terlalu
membebani anak dengan tugas-tugas yang belum sanggup ia lakukan atau
dengan tuntutan untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, apakah ini
tidak termasuk pengebirian akal dan bahkan jiwa? Wallahua'lam bishawab. 

Abul Laits rahimahullah, menurut Shalih Baharits menggambarkan
kasih-sayang dan perlindungan ulama salaf terhadap anak-anaknya dan
perbuatan yang menyakitkan orangtuanya. Beliau berkata bahwa sebagian
kaum shalihin tidak memerintahkan anak suatu beban yang dikhawatirkan
akan mengantarkan anak mendurhakai orangtuanya sehingga menyebabkannya
masuk neraka. Itulah pandangan ulama salaf yang memiliki pandangan  yang
jauh tentang kasih-sayang kepada anak dan keutamaannya membantu anak
selamat di dunia dan di akhirat. Sehingga setiap hendak  memerintahkan
kepada anaknya, mereka selalu berfikir, "Apakah anakku  akan sanggup
melakukannya? Kalau tidak sanggup, bukankah itu berarti  aku telah
rnenjerumuskannya ke dalam kebinasaan?" 

Seorang ibu ketika hendak memberikan perintah kepada anaknya, hendaklah
memperhatikan betul apakah perintahnya akan mudah dilaksanakan anak atau
tidak. Seorang ibu perlu berusaha dengan sungguh-sungguh agar anaknya
tidak berkesempatan untuk menolak  perintah orangtua. Ini bukan dengan
menggunakan kekuasaan sebagai  orangtua untuk rnemaksa, tetapi dengan
berhati-hati betul dalam  mernberikan perintah. la hanya memberikan
perintah yang anak sanggup  melaksanakannya, kecuali tugas-tugas yang
sifatnya saran dan dorongan  saja.  

Kalau seorang anak memperoleh tugas-tugas yang sanggup ia lakukan,
semangatnya akan berkembang. Di samping itu perasaannya  terhadap
orangtua juga ikut berkembang ke arah yang baik, sehingga  secara
bertahap tumbuh dorongan untuk berbakti kepada orangtua. Inilah  yang
dijaga oleh orangtua terdahulu. Mereka takut anaknya mendapat  murka
Allah lantaran tidak melaksanakan apa yang ditugaskan  orangtuanya.
Sementara tugas dari orangtua itulah sesungguhnya yang  berat dan
mengejutkan anak.Mereka mengharapkan anak yang barakah. 

Kesabaran mereka bersumber dari kesadaran tentang rahmat dan murka
Tuhan. Lalu, apa akibatnya kalau anak senantiasa terbebani? Mungkin ia
menjadi anak yang minder dan tidak percaya diri.Mungkin ia menjadi
seorang opportunis yang kemana ia terbang tergantung pada kemana angin
bertiup. Mungkin ia menjadi seorang pemberontak yang menentang apa yang
diperintahkan orangtua, begitu ia  merasa punya kekuatan. Mungkin juga
ia memperoleh guru yang  menuntunnya dengan kearifan dan kesabaran.
Gurunya bisa jadi ia  dapatkan di masjid, di sekolah, di pasar, atau di
buku.

4. Tidak Memakinya 

Ridha Allah bergantung pada ridha orangtua. Ucapan ibu adalah do'a yang
mustajabah. Apalagi jika lahir dan keadaan hati yang kuat.Itulah
sebabnya, para ibu terdahulu sangat menjaga lisannya agar tidak  pernah
sekalipun mengucapkan kata-kata yang buruk bagi anaknya. Ia lebih
memilih untuk menangis ketika ia tak tahan lagi menahan kesal, daripada
rnengucapkan sumpah atan memberi julukan kepada anak sesuatu yang buruk,
misalnya, "Kamu ini kok nakal, sih?" 

Mereka menahan lidah sekuat-kuatnya, karena takutnya mereka kepada
Allah. Mereka menjaga ucapannya sebisa-bisanya karena takut ucapan yang
sekarang, menjadi jalan untuk mengucapkan makian pada anaknya. Sebab
ucapan seorang ibu kepada anaknya, terutama ucapan-ucapan yang keluar
dan hati yang paling dalam, akan menghunjam tepat di lubuk hati  anak. 

Kalau sekali waktu seorang ibu mengucapkan kata yang buruk, ia segera
berlari untuk memohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengasih. Kemudian
ia meminta maaf kepada anaknya.Di saat inilah, anak justru mendapatkan
pelajaran yang nyata. Tangis  ibu dan permintaan maafnya, menggerakkan
anak untuk rnenanggalkan  kenakalan-kenakalan, dan menggantinya dengan
akhlak yang baik. Ketika seorang ibu meminta maaf kepada anaknya, yang
terjadi justru anak akan ikut menangis. 

Atau, peristiwa itu menjadi sejarah besar yang mengesankan dan
mempengaruhi pertumbuhan pribadinya. Ia belajar mengenai akhlak yang
mulia dan kelemah-lembutan ibu. Dan bukan sebaliknya, yakni
makian.Caci-maki hanya mendorong anak untuk melakukan kenakalan yang
lebih besar, di samping sebagai pelajaran bagi anak itu sendiri
bagaimana mencaci yang menyakitkan orang. Makian orangtua justru
menjadikan anak kebal terhadap makian, nasehat, dan perkataan yang
kasar. Kata yang  kasar akan ia balas dengan kata yang kasar dan suara
lantang. 

Caci maki tidak merangsang anak untuk memiliki kepekaan terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Fir'aun adalah musuh Allah. Kezaliman Fir'aun
sangat melebihi batas. Ia bahkan telah mengaku menjadi Tuhan. Di
tangannya, Siti Masyithah menemui syahidnya setelah direbus dalam minyak
mendidih.Tetapi, terhadap orang yang sezalim itu, Allah 'Azza wa Jalla
memerintahkan Nabiyullah Musa alaihissalam agar menyeru Fir'aun dengan
lemah lembut. Allah SWT berfirman, "Pergilah kamu beserta saudaramu
dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam
mengingat-Ku. Pergilah kamu berdua  kepada Fir'aun, sesungguhnya dia
telah melampaui batas. Maka  berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat akan takut" (Q.S.
Thaahaa, 20:42-44). 

Sebagai penutup, marilah kita renungkan sebuah hadis Nabi SAW, sambil
mernohon kepada Allah SWT agar mensucikan mulut kita yang masih kotor:
Ibnu Umar RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW berkunjung kepada Saad  bin
Ubadah. Turut bersama beliau Abdurrahman bin Aufdan Saadbin, Abi Waqqash
dan Abdullah bin Mas 'ied RA, maka Rasulullah SAW tampak menangis.
Begitu para sahabat melihat beliau menangis, maka merekapun  ikut
menangis. Setelah itu beliau berkata, "Apakah kalian tidak  mendengar
bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa seseorang  karena tetesan
air mata, dan tidak pula karena kesedihan hati, akan  tetapi Dia akan
menyiksa karena ini atau memberi rahmat (sambil menunjuk lidahnya)."
(Muttafaq 'Alaih). 

Disarikan dari buku yang berjudul "Bersikap Terhadap Anak - Pengaruh
Perilaku Orangtua terhadapKenakalan Anak" karangan Moh. Fauzil Adhim.





=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+

Mailing List Nakita
milis-nakita@news.gramedia-majalah.com

Arsip
http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com/
------------------------------------------------

untuk berlangganan kirim mail kosong ke :
[EMAIL PROTECTED]

untuk berhenti berlangganan kirim mail kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke