From: Budi Setiawan <>
Date: Sun, 11 Feb 2007 14:33:38 +0700 (ICT)
Subject: [psiindonesia] Seni Bertanya ketika Anak Malas Belajar

Tabloid Nyata, 28 Januari 2007


Seni Bertanya ketika Anak Malas Belajar

Setiap orangtua pasti mendambakan pertemuan yang
berkualitas dengan anaknya. Tapi bagaimana caranya?
'Gaya bertanya' ala Appreciative Inquiry ini bisa
dicoba, karena sembari bertanya, orangtua bisa
sekaligus membangun jiwa anak.

Setiap momen pertemuan dengan anak, sebisa mungkin
memang digunakan sebaik-baiknya.

Bahkan kalau bisa, setiap percakapan diusahakan agar
dapat sekaligus membangun jiwa anak. Meskipun tentu
saja, dengan gaya percakapan yang nyaman untuk anak.

Nah, agar percakapan menjadi lebih membangun,
pendekatan appreciative inquiry (AI) yang akhir-akhir
ini berkembang di Indonesia, bisa dicoba. Yaitu
melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuat
seseorang menjadi lebih positif.

Pendekatan ini sangat bagus diterapkan pada anak.
Sebab, tidak hanya bisa membuat anak menyelesaikan
sendiri persoalannya secara positif. Tapi juga
membuatnya menjadi pribadi yang positif.

Kenapa anak sebaiknya menjadi positif? Menurut Budi
Setiawan Muhamad, M.Psi, Ketua Divisi Riset &
Konsultasi Lembaga Pengkajian &

Pengembangan Psikologi Terapan (LP3T) Fakultas
Psikologi Unair, anak ibaratnya adalah bunga matahari.

Setiap bunga selalu berawal dari benih, dan ketika
tumbuh selalu mengarah kepada matahari. Benih itu,
adalah modal awal dia yang positif. Bisa jadi bakat,
kekuatan, keunikan, karakter, kecerdasan, harapan dan
sebagainya.

Nah, dalam mendidik anak, orangtua bisa berpegang pada
sisi positif anak itu. Jadi ketika kita
mengarahkannya, kita selalu bertolak dari sisi positif
itu.

Menurut pendiri komunitas Indonesia Impian, komunitas
yang menggagas berbagai metode untuk pengembangan
bangsa dengan menggunakan Appreciative Inquiry ini,
ada empat tahap percakapan yang berkualitas untuk
anak.

Contohnya, adalah saat anak malas belajar, atau malas
mengerjakan pe er. Tahap itu adalah:

*Discovery.

Orangtua harus menyadari sisi positif sang anak.
Seandainya tidak, dia harus menggali sisi positif itu.
Agar anak menyadari sisi positif itu, orangtua bisa
melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat sang
anak menggali dirinya sendiri.

Pernah nggak sih kamu menghadapi PR yang sangat sulit,
tapi akhirnya bisa mengatasinya?

Ajak anak untuk mengingat ingat, dan kemudian
bercerita. Begitu anak mengingat momen itu, gali lebih
jauh. PR apa itu, apa saja kesulitannya, bagaimana dia
mengatasinya, dan seterusnya.

Anak akhirnya tersadar bahwa dia bisa mengatasi
kesulitan-kesulitannya itu, karena dia memiliki sisi
positif tertentu. Sisi itu bergantung dari sang anak.
Bisa saja karena kesabaran, keuletan, usaha dia untuk
bertanya kepada teman, dan sebagainya.

Perkuat keyakinan anak, atau sadarkan anak. Misalnya
dengan mengatakan: Nah, kamu pernah mengalami hal yang
seperti ini, dan berarti kamu bisa mengatasinya

*Dream

Orangtua membantu anak membayangkan, apa yang dia
inginkan untuk masa depannya. Baik dalam waktu panjang
atau pendek.

Pancing anak untuk membayangkan sesuatu yang
menyenangkan jika dia berhasil mengerjakan PR-nya
dengan baik. Dalam AI, pertanyaan ini masuk ke dalam
tahap dream, yaitu untuk memompa anak mencapai
keinginannya.

Contohnya, kalau kamu berhasil mengerjakan pe er,
kira-kira apa ya komentar dari guru?

Minta dia menggambarkan imajinasinya dengan jelas, apa
jadinya jika PR-nya bagus. Mulai dari bagaimana senyum
sang guru, komentarnya, dan sebagainya. Bebaskan
impiannya, karena impian adalah salah satu pemompa
semangat untuk mencapai cita-cita.

Design

Orangtua mengajak anak mendesain cara agar impiannya
itu jadi kenyataan. Kembali ke kasus tadi, anak diajak
berpikir, kira-kira bagaimana caranya agar itu
terjadi.

Pada tahap ini ajak anak berdialog. Berdasarkan
pengalamannya itu tadi, ajak anak berimajinasi untuk
menghasilkan PR yang baik. Misalnya, belajar bareng
dengan teman, berani bertanya pada guru, belajar
sambil mendengarkan musik, dan sebagainya.

Jika percakapan berhenti karena anak susah mencari
jalan keluar,

bisa saja orangtua menceritakan kembali pengalaman
anak. Pilih yang kira-kira bisa membantu menyelesaikan
permasalahannya di masa ini. Buatlah anak teringat
kembali sisi positifnya.

Dan perhatikan, hindari menceritakan keberhasilan diri
sendiri, agar anak mencontohnya. Sebisa mungkin, anak
harus menggali ingatan akan keberhasilan dirinya
sendiri.

Destiny

Orangtua mengajak anak untuk mencari sisi-sisi positif
pada apa yang terjadi padanya. Sehingga sang anak bisa
bersyukur. Orantua membantu anak untuk menyadari
sendiri benih/sisi positif dari dirinya, sehingga dia
bisa yakin bahwa dia bisa mengatasi masalah yang dia
hadapi.

Ajak anak mensyukuri apa yang terjadi. Dan juga
menerima kegagalan. Ini yang disebut tahap destiny.

Ketika kegagalan itu terjadi, jangan marah. Anda bisa
mengajukan pertanyaan: Apa kira-kira yang bisa kita
lakukan agar untuk ke depannya lebih berhasil?

Jangan terlalu mengungkit penyebab kegagalan, tapi
petik pelajaran dari kegagalan yang lalu untuk masa
depan. Bagaimana jika ada kekecewaan pada anak? Ajari
anak untuk membuat pemakluman-pemakluman.

Contohnya, misalnya, sang anak berimajinasi agar si
ibu guru tersenyum, namun pada kenyataannya tidak
tersenyum. Coba ajak anak berpikir positif. Oh mungkin
saja ibu guru sedang sakit gigi.

Kekecewaan pasti ada, dan ajak anak untuk
menikmatinya. Analoginya, adalah 'bagaimana mencari
pelangi di tengah badai'.

Untuk membuat anak mempunyai sikap hidup yang positif
itu, tentu saja butuh proses. Karena susah juga
membuat anak bisa melakukannya dalam waktu semalam,
setelah diajak berdialog.

Dampak dari dialog-dialog berpikir positif semacam
ini, minimalnya adalah anak bisa belajar untuk
bersyukur. Namun sisi maksimalnya, adalah apa yang dia
inginkan tercapai, bahkan lebih.

Budi yakin, setiap orang bisa bersyukur. Dan ketika
bersyukur, orang akan selalu bisa menemukan sisi
positif-positif dari apapun yang terjadi pada dirinya.
Dan ketika itu, dia akan bisa belajar untuk lebih baik
lagi.

*end



Ketika Pulang Sekolah



Momen saat pulang sekolah pun bisa jadi saat yang
tepat untuk menambah motivasi anak untuk sekolah.
Sebisa mungkin, pancing dengan pertanyaan yang akan
membuatnya menjawab dalam bentuk paparan.

Jika Anda hanya bertanya bagaimana sekolahnya tadi?
setiap hari, mungkin anak hanya akan memberikan
jawaban singkat 'baik-baik saja', 'menyenangkan'.

Tapi kalau Anda bertanya, Coba ceritakan apa sih yang
paling membuat kamu senang hari ini di sekolah? Dan
kenapa sih, itu menyenangkan buat kamu?', mungkin anak
akan menjawabnya selama 30 menit. Dia akan
mengingat-ingat, berimajinasi, tentang apa yang
membuatnya paling senang di sekolah. Dampaknya, dia
makin senang pada sekolah. *



Jika Tidak Suka dengan Guru

Bagaimana jika dia tidak suka dengan guru?
Kadang-kadang, motivasi belajar anak memang
dipengaruhi oleh perasaan suka-tidak suka terhadap
guru.

Sementara guru tidak begitu 'berhasil' disukai oleh
murid-muridnya itu, bisa terjadi karena banyak hal. Di
antaranya, karena karakternya memang tidak begitu
bagus, bete karena suasana mengajar yang tidak nyaman,
atau lantaran terpaksa bagaikan mengejar setoran
karena terdesak kurikulum yang padat.

Untuk mengatasi hal ini, ajak anak untuk meluapkan apa
saja yang menjadi unek-uneknya soal sang guru. Biarkan
dia bercerita panjang dan lebar, sampai habis/puas.

Kemudian, tanya dia apa sih sisi menarik dari gurumu
itu? ada bagian yang bagus atau lucu nggak dari dia?
Apa kelebihan dia dibanding guru yang lain?

Ajak dia mengapresiasi sisi positif dari guru itu,
sebanyak-banyaknya. Misalnya dengan menanyakan Apa
pengalaman yang positif kamu dengan guru itu?

Yang sulit, adalah menyetir pertanyaan-pertanyaan itu
agar anak melihat sang guru dari segi positif. Kalau
sang anak sudah mendapatkan sisi menarik dari sang
guru, ajak anak untuk bersyukur, bahwa ternyata masih
ada sisi positif dari sang guru.

Setelah itu, coba ajak anak untuk menjadi murid yang
baik, karena bisa saja guru menjadi tidak begitu
menyenangkan ketika mengajar karena sikap sang anak.
Misalnya, tanyakan bagaimana sih suasana kelas waktu
itu, kok bu A bisa marah?

Kalau sikap sang anak lebih mendukung dia saat
mengajar, bisa saja sikap sang guru saat mengajar
menjadi lebih baik lagi.

Memang, butuh keterampilan khusus saat mengajak anak
berdialog. Tapi, setiap orangtua sebaiknya jangan
putus asa. Untuk mengajak anak menjadi positif,
orangtua terlebih dulu harus memandang positif
dirinya. Mereka harus yakin, mereka pasti bisa
melakukannya.*




=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+

Mailing List Nakita
milis-nakita@news.gramedia-majalah.com

Arsip
http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com/
------------------------------------------------

untuk berlangganan kirim mail kosong ke :
[EMAIL PROTECTED]

untuk berhenti berlangganan kirim mail kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke