Seiring diluncurkannya UU ITE baru yang salah satu pasalnya mengatur
masalah peredaran content pornografi di internet, kemudian disusul
dengan merebaknya perdedaran film fitna karya seorang anggota parlemen
Belanda, pemerintah Indonesia melakukan penutupan akses
internet pada situs-situs yang ditengarai menyimpan film tersebut.

Bukan hanya situs You Tube, penutupan akses ini juga merambat pada
situs-situs lain termasuk situs yang sedianya lebih merupakan situs
penyedia layanan blogging dan social networking seperti Myspace dan
Multiply.

Mudah ditebak, penutupan akses informasi seperti ini kemudian
menimbulkan gelombang protes di kalangan para pengguna internet di
tanah air.

Bukan hanya karena kebijakan seperti ini mengingatkan pada pola
breidel di masa orde baru, dalam konteks peredaran film fitna yang
dimaksudpun opini para pengguna internet secara umum tak mudah
menerima kebijakan ini sebagai satu kebijakan publik yang cukup cerdas
dan selaras dengan semangat demokrasi dan kemajuan jaman di era
reformasi ini.


* * *

Kebijakan ini memang kebijakan publik yang terkesan bodoh, dan lebih
condong pada wajah kedikatatoran ketimbang wajah demokratis yang
digadang-gadang partai utama pengusung pucuk pimpinan dalam
pemerintahan ini.

Praktik isolasi hanya diterapkan pemerintahan yang bodoh. Yang tak
mampu melihat sisi dalam dari satu fenomena, tak mampu mengurai dan
mencari solusi yang lebih menyelesaikan akar permasalahan dan hanya
mampu bersifat rekasioner-negative seperti mekanisme defense dalam
psikologi remaja yang belum dewasa.

Terlebih lagi, masyarakat Indonesia pada umumnya, dan pengguna
internet pada khususnya kini sudah jauh lebih cerdas untuk menyikapi
hanya sekadar film propaganda dalam durasi yang demikian pendek.

Apalagi bagi mereka yang telah cukup jam terbang malang-melintang
sebagai netter, umumnya cukup terbiasa dengan material-material
propaganda, hoax, maupun silang sengketa opini yang bertebaran di
dunia maya. Akibatnya film fitna bagi para netter, seperti pula kasus
kartun nabi yang pernah terjadi, tak lebih hanya akan disikapi melalui
dialog perdebatan-perdebatan.

Memang dalam dunia nyata, aksi-aksi yang cenderung brutal dan
mengedepankan vandal (pengrusakan) properti umum, telah terjadi. Namun
secara nyata gelombangnyapun tak terasa cukup menggetarkan cita rasa
kemanan sosial dalam masyarakat.

Dan pula, aksi-aksi demikian seharusnya disikapi dengan penerapan
hukum, dan bukan dengan kebijakan isolasi. Menjadi konyol ketika
pemerintah tak mampu dan tak mau menerapkan hukum secara tegas, lalu
kemudian memilih menempuh langkah "tutup lubang" dengan mengisolasi
masyarakat dari sumber-sumber informasi.


* * *

Gelombang protes telah dimulai sejak penutupan beberapa situs
dilakukan oleh satu-dua perusahaan penyedia layanan internet (ISP &
NPA), dan semakin menguat ketika pemerintah mengeluarkan ultimatum
yang mendorong ISP-ISP lain mengikuti jejaknya.

Kita tak tahu sejauh mana gelombang protes ini akan bergerak.

Pengerahan massa mungkin tidak, apalagi kalau anda mengharapkan
gelombang ini meletup sampai aksi bakar-bakaran atau pengrusakan, saya
yakin tidak.
Karena berbeda dengan stereotype yang dicitrakan seorang pakar, sosok
para bloger sesungguhnya jauh lebih santun.

Mereka yang memilih lebih menggunakan tulisan untuk menyuarakan
pendapat - sekeras apapun pendapat itu-, jelas jauh lebih santun
ketimbang mereka yang menggunakan batu dan potongan kayu.

Dan penutupan akses pada situs-situs termasuk social networking dan
blogging, menurut hemat saya belum cukup menjadi satu pemicu untuk
mengubah para blogger dan netter umumnya menjadi monster. Tidak perlu
bertaruh, tapi saya yakin kebijakan yang menyedihkan ini, tidak akan
pernah menghasilkan 68% monster baru dari pengguna internet di Indonesia.


* * *

Tetapi menyepelekan kekuatan kaum netter secara umum, atau blogger
pada khususnya sesungguhnya pula merupakan suatu blunder besar.

Karena satu hal yang dilupakan pemerintahan ini, netter atau pengguna
internet adalah kaum terdidik.
Bekal pendidikan yang rata-rata cukup tinggi dalam diri mereka-mereka
yang menggunakan internet, akan menyebabkan mereka -dalam posisinya
masing-masing di masyarakat- mempunyai kemampuan untuk menggiring
opini masyarakat, baik dalam lingkungan yang terkecil seperti keluarga
maupun lingkungan yang lebih luas.

Dan sebagai akibatnya opini buruk mereka terhadap pemerintahan ini,
yakinlah akan membawa gelombang antipati pada jumlah masyarakat yang
jauh lebih besar.

* * *


Membawa musuh baru yang tak perlu dalam logika yang umum adalah
pilihan yang tak pernah dilakukan orang yang waras.

Dengan demikian, pemerintahan yang mendudukan dua setengah juta atau
bahkan lebih kaum terdidik-pengguna internet sebagai musuh baru dalam
setahun terakhir masa pemerintahannya, mungkin memang bukan
pemerintahan yang waras.

Dan oleh karenanya, jangan bertanya pada siapa mereka akan memilih
sosok presiden di pemilu nanti.

Kita mungkin belum tahu jawabannya.

Yang pasti, orang yang tak waras pastilah bukan pilihan.



Sentaby,
DBaonk 2008


*tulisan ini dibuat sebagai bagian dari perlawanan kaum blogger
terhadap kebijakan pemblokiran*

sumber dari salah satu situs yang diblokir (multiply):
http://dennybaonk.multiply.com

Kirim email ke