Dari Milis Sebelah.


HURU-HARA LIGA INGGRIS, ASTRO, AORA TV DST


Perkembangan mutakhir hak siar liga premier sepakbola Inggris (English
Premiere League, EPL)  dan kiprah Astro Malaysia di Indonesia memasuki
babak
yang semakin buruk. Sekarang ini, bukan saja masyarakat luas yang
dilecehkan, tapi keseluruhan sistem penyiaran Indonesia pun dijadikan
bulan-bulanan.

Celakanya, Komisi Penyiaran Indonesia dan  Depkominfo termangu bodoh di
pojok sana.

Saat ini, mereka yang sudah membayar 200 ribu rupiah per bulan untuk
berlangganan Astro pun sudah tidak bisa lagi menikmati siaran EPL.
Penyebabnya sederhana: Astro berseteru dengan Direct Vision yang
selama ini
menjadi operator TV yang membawa isi siaran yang dibawa Astro ke
Indonesia.
Astro menyatakan menarik diri dari kerjasamanya dengan Direct Vision, dan
dengan tenangnya mereka melenggang keluar.

Namun, itu tak berarti EPL akan hilang sama sekali dari layar televisi
Indonesia. Astro sudah akan pindah dari Direct Vision ke sebuah
operator tv
berlangganan baru, AORA TV yang sejak awal Agusus ini sudah beroperasi.
Hanya saja, untuk sementara migrasi ini masih berada pada tahap awal,
sehingga segenap tayangan Astro secara lengkap diperkirakan bisa disajikan
di AORA baru pada awal 2009 nanti.

Ini tentu menimbulkan banyak masalah. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
sudah bersuara keras tentang hak pelanggan Direct Vision. Direct Vision
sendiri pasti sedang kelimpungan kehilangan pelanggan besar-besaran
sekaligus mencari pengisi isi siaran alternatif selepas perginya Astro.
Migrasi pelanggan dari Direct ke AORA juga pasti melibatkan  birokrasi dan
dana yang besar.

Bagi banyak orang, segenap kekacauan ini sudah bisa diantisipasi terjadi
karena memang tak ada aturan yang jelas ditetapkan oleh KPI dan Depkominfo
mengenai industri televisi berlangganan di Indonesia. Industri televisi
berlangganan kita dibiarkan berantakan. Dan contoh terbaik dari kekacauan
ini adalah soal Astro TV.

KEKACAUAN DEMI KEKACAUAN

Astro, tentu semua tahu, datang dari Malaysia. Di negaranya sendiri,
mereka
adalah pemain tunggal. Dengan posisinya yang monopolistis itu, Astro bisa
mempenetrasi 60 persen rumah tangga di Malaysia.

Dalam rangka memperbesar diri, Astro kemudian merambah ke Indonesia yang
tingkat penterasi televisi berbayarnya masih sangat rendah. Untung bagi
Astro, kebijakan di Indonesia sangat longgar. Tak ada pembatasan jumlah
pemain televisi berbayar di negara ini.

Satu-satunya pembatasan di Indonesia yang menghambat ekspansi Astro ke
Indonesia adalah ketetapan UU Penyiaran mengenai modal asing. UU Penyiaran
kita tak mengizinkan pemain asing masuk begitu saja. UU menyatakan bahwa
saham asing di lembaga penyiaran berlangganan di Indonesia adalah maksimal
20 persen. Karena itulah Astro masuk ke Indonesia pada 2005, melalui
Direct
Vision yang adalah anak perusahaan grup Lippo.

Masalah berikutnya adalah soal satelit siaran. Astro sejak awal membawa
siarannya dari Malaysia melalui satelit Malaysia,  Measat-2,  yang
sebenarnya tak memiliki apa yang disebut sebagai "hak labuh" (landing
right)
di Indonesia.  Saat itu hanya satelit milik Indonesia yang memiliki hak
labuh di Indonesia.

Tapi, hambatan itu tak menghentikan langkah Astro. Perusahaan ini memang
memiliki kedekatan dengan para petinggi Malaysia. Hubungan antar
pemerintah
pun dilakukan. Hasilnya, pemerintah Indonesia mengizinkan siaran Astro
dipancarkan ke Indonesia melalui MEASAT-2. Untuk menyenangkan hati para
pemain di Indonesia, dalam kesepakatan itu dikatakan bahwa kedua negara
menerapkan asas resiprokal (timbal-balik). Implikasinya, satelit Indonesia
pun seharusnya memiliki hak labuh d Malaysia.

Sekadar catatan, prinsip resiprokal ini jadi tak berarti karena pada saat
yang sama, pemerintah Malaysia tak mencabut ketetapan tentang monopoli
Astro
dalam industri pay-tv di Malaysia. Akibatnya, walaupun  satelit Indonesia
dapat memancarkan siaran ke Malaysia, itu tak dapat digunakan untuk
kepentingan bisnis televisi berbayar di luar Astro. Padahal semula
diharapkan dengan disepakatinya prinsip tersebut,  operator pay-tv
Indonesia
seperti Indovision bisa juga berbisnis memasuki pasar Malaysia. Tapi itu
semua gagal diwujudkan karena, seperti biasa, pemerintah Indonesia begitu
mudah dikadali.

Setelah Astro resmi beroperasi di Indonesia, masalah demi masalah muncul.
Astro tahu tak mudah menembus pasar Indonesia. Karena itu, "tujuan
menghalalkan cara". Mereka tahu kuncinya adalah memaksa penonton Indonesia
untuk berpindah dari operator pay- tv yang ada serta memaksa mereka yang
sebelumnya tidak berlangganan pay-tv untuk mulai berlangganan pay-tv.
Kuncinya adalah: monopoli siaran!

Karena itulah sejak 2007 , mereka memegang monopoli hak siar EPL, sehingga
pertandingan-pertandingan liga sepakbola terpopuler itu tak bisa lagi
disaksikan melalui  operator televisi berbayar lain dan juga tak bisa
disaksikan oleh penonton televisi free-to-air. Strategi itu itu ternyata
lumayan sukses. Dikabarkan, Dircet Vision hanya dalam satu tahun bisa
memperoleh 60-80 ribu pelanggan. Masih jauh dari harapan Astro yang
mentargetkan bisa memperoleh satu juta pelanggan, tapi bisa disebut
sebagai
kesuksesan terbesar dibandingkan pay-tv yang lain.

Tapi rupanya, Astro belum cukup puas dengan itu. Kabarnya, Astro 
sebenarnya
berharap bisa membeli 20 persen saham Direct Vision. Tapi kenyataannya
sampai tahun ini, rencana itu tak kesampaian. Apapun persoalannya, Astro
tahun ini pecah kongsi dengan Direct Vision.

Namun, itu tentu bukan keputusan yang dibuat mendadak. Begitu Astro putus
hubungan dengan Direct Vision, hadir operator televisi berbayar baru: PT
Karya Megah Adijaya (KMA)-perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki
keluarga Rini Mariani Soemarno. KMA ini yang menjadi mitra baru Astro.

Brand yang digunakan KMA adalah Aora. Nama itu bisa disebut sebagai
akronim
Astro Nusantara. Aora TV juga akan menggunakan satelit Malaysia, MEASAT-3
yang menggunakan frekuensi KU-Band. Apakah MEASAT-3 sudah memiliki hak
labuh
di Indonesia? Tak jelas benar. Tapi siapa peduli?

Meloncatnya Astro dari Direct ke KMA tentu hal serius dipandang dari
kebutuhan membangun industri yang sehat. Tapi nampaknya, tak akan ada
kebijakan apapun  dikeluarkan oleh KPI dan Depkominfo. Akibatnya,
perpindahan Astro berjalan mulus.

Menarik juga untuk mencatat bahwa pihak KMA adalah lembaga penyiaran
berlangganan pertama di Indonesia yang memperoleh izin penyiaran tetap
dari
Depkominfo pada 31 Juli lalu. Mereka memeprolehnya sementara operator
pay-tv
lain – seperti Telkom Vision atau Indovision – masih menunggu proses
penyelesaian izin dari KPI.

Barangkali ini ada kaitannya pula dengan siapa yang berada di belakang
KMA.
Rini Soemarno dulu  dikenal sebagai Rini Suwandi, mantan menteri
perdagangan era Megawati. Inevastasi awal KMA, menurut tabloid Kontan,
baru
Rp 40 miliar.Tapi mereka juga mengaku bahwa akan ada kucuran dana
sampai Rp
450 miliar. Uang siapa? Bisa jadi, keluarga Soemarno. Tapi tolong
catat satu
hal: Presiden Direktur KMA adalah Ongki Sumarno, yang dulunya adalah
Presiden Dikrektur salah satu anak perusahaan  Humpuss, grup bisnis milik
Tommy Soeharto. Nah!

Keluarga Soemarno menguasai 95 persen saham KMA, sementara lima persennya
lagi dimiliki bersama oleh sejumlah orang penting Golkar, termasuk –
kabarnya --  Solihin Kalla, salah seorang putra Jusuf Kalla. Nah. Lagi!

SKANDAL EPL DI INDONESIA

Cerita hak siar EPL di Indonesia tahun ini juga tak kalah memalukannya.

Pihak yang menguasai hak siar EPL di Asia adalah ESS, yang merupakan
kerjasama dua raksasa kanal olahraga berbayar di dunia: ESPN dan Star
Sports. Sebelum masuknya Astro ke Indonesia, televisi free-to-air di
Indonesia berhubungan dengan ESS untuk memperoleh hak siar EPL di
Indonesia.  Sementara pelanggan pay-tv di Indonesia  menyaksikan EPL
di dua
channel: ESPN dan Star Sports.

Ini semua berubah tahun lalu, ketika Astro All Asia Network (induk Astro)
menyabet hak siar EPL di tiga negara: Malaysia, Indonesia dan Brunei.

Manuver Astro memang mengejutkan. Mereka membayar ESS 60 juta dolar untuk
tiga musim EPL (dari 2007-2008 sampai 2009-2010) untuk memperoleh hak siar
tiga negara sekaligus. Tapi mereka jelas bukan sekadar
menghambur-hamburkan
uang. Kalau diperinci menjadi per negara, Astro sebenarnya "hanya"
membayar
20 juta dolar AS untuk hak siar EPL di masing-masing negara selama tiga
musim, atau  kurang dari 7 juta dolar AS per negara pada satu musim.

Manuver Astro mengacaukan pasar dalam negeri Indonesia. Sebelum Astro,
pertarungan terjadi antar pemain di Indonesia untuk memperoleh hak siar di
Indonesia saja. Misalnya saja, pada 2005-2006, TV7 membayar 4,4 juta dolar
AS untuk satu musim EPL. Para stasiun televisi lokal ini tentu saja tak
tertarik untuk bertarung memperebutkan hak siar tiga negara seperti yang
dilakukan Astro.

Karena itulah, tahun lalu, Astro berjaya dengan hak siar eksklusifnya atas
EPL di Indonesia. Dengan hak itu, Astro berhak meminta ESPN dan Star Sport
untuk tidak menyiarkan satupun pertandingan liga Inggris melalui pay-tv di
luar Astro.

Tapi  tahun lalu para operator televisi berbayar lain memprotes karena hak
siar itu tidak pernah ditawarkan pada para pemain di Indonesia.
Praktek itu
dianggap tidak adil. Tahun ini, rupanya kecaman itu berusaha diredam
dengan
paktek akal-akalan yang sama sekali memalukan.

Sebelum EPL dimulai tahun ini, pihak ESS dan Astro tiba-tiba saja
menawarkan
hak siar EPL untuk musim 2008-9 dengan nilai fantastis: 25 juta dolar AS!
Ini angka gila sebenarnya. Lebih gila lagi, mereka hanya menyediakan waktu
empat hari bagi para operator televisi berbayar di Indonesia untuk
menjawab
tawaran. Jadi tawaran diajukan pada 8 Agustus, dan pihak yang tertarik
diminta mengajukan kesediaan pada 11 Agustus, yang kemudian diralat
menjadi
12 Agustus pagi. Bahkan dengan tambahan catatan, bila memang bersedia
membeli, pihak yang tertarik sudah harus membayar uang muka pada 14
Agustus
2008.

Tanggal 8 Agustus adalah hari Jumat, sementara 12 Agustus adalah Selasa.
Jadi bisa dibayangkan, para pengambil keputusan di empat televisi berbayar
Indonesia harus mengambil keputusan sangat cepat hanya dalam waku empat
hari, yang dua hari di antaranya adalah weekend!

Tapi yang tak dibayangkan Astro adalah, manuver itu ternyata justru
membuat
para operator televisi berbayar Indonesia bersatu. Empat operator pay-tv
Indoensia (Indovision, First media, Telkom Vision, dan IM2) memutusan
untuk
membentuk semacam 'konsorsium' untuk menjawab tawaran ESS-Astro itu.
Mereka
bersama-sama menjawab bahwa mereka tertarik untuk  membeli hak siar
tersebut
dengan harga yang ditawarkan, dengan rencana bahwa mereka kemudian akan
berbagi siaran selama sau tahun. Semangatnya adalah, pokoknya bukan Astro!

Melihat akal-akalan mereka berantakan, ESS kemudian mengumumkan  bahwa
tawaran itu dibatalkan mengingat "sudah ada tawaran pihak lain yang lebih
menarik". Tak ada penjelasan apa-apa mengenai siapa pihak lain itu. Tapi,
tentu saja, siapapun tahu yang akan memperoleh hak siar EPL itu adalah
Aora
TV. Di Wikipedia saja, sudah ada entri Aora TV, yang di dalamnya termuat
penjelasan bahwa "Aora TV berhasil memperoleh hak siar Liga Utama
Inggris di
Indonesia untuk musim 2008-2009 yang semula dimiliki oleh Astro
Nusantara".

Apa yang terjadi itu menjelaskan betapa berantakannya sistem penyiaran
kita.
Semua berlangsung dengan  diketahui Depkominfo dan juga KPI. Tak ada
satupun
yang berbuat apa-apa. Tak ada regulasi. Tak ada intervensi. Kompetisi
dipersilakan berlangsung sebabas-bebasnya. Tak ada kepedulian pada
kepentingan publik. Tak ada kepedulian pada kepentingan industri nasional
yang sehat.

Sekadar catatan, Singapura menolak kehadiran pemain asing dalam televisi
berbayar mereka. Sekadar catatan pula, di Inggris sendiri, tak boleh ada
monopoli siaran EPL. Di sana yang menyiarkan EPL adalah televisi berbayar
Sky-Tv dan televisi publik free-to-air, BBC.

Menurut saya, sudah saatnya negara (dalam hal ini Depkominfo dan KPI)
mengintervensi persoalan EPL. Kalau tidak, kita akan menjadi bulan-bulanan
bisnis televisi dan olahraga internasional yang dengan seenak-enaknya
menghisap kekayaan kita, seraya mengahancurkan industri pertelevisian di
dalam negeri.

Kalau perlu negara turut campur dan mewakili stasiun-stasiun televisi dan
operator televisi berbayar untuk berhadapan dengan industri asing. Kalau
tidak, kita benar-benar akan jadi bulan-bulanan.  Harga hak siar Liga
Inggris pada 2003, cuma 1,2 juta dolar AS untuk 62 pertandingan. Dua tahun
berikutnya sudah melonjak menjadi 4,4 juta dolar AS. Kalau sekarang ESS
berani mematok harga 25 juta dolar AS, itu menunjukkan betapa mudahnya
kita
dianggap dapat diadu-domba oleh konglomerat industri media internasional.



Kirim email ke