FYI
Teman-teman sebangsa setanah air, 
Berikut ini adalah tulisan dari majalah TEMPO.
Tiada maksud lain selain sekedar menambah wawasan saja.
Maaf jika mengganggu.
Salam.


-----Original Message-----
From: xxx
Sent: January 23, 2003 11:01 AM
Subject: [TEMPO] -----------


Bu Presiden, Subsidi bukanlah Morfin

Presiden Megawati Soekarnoputri, subsidi minyak bukanlah morfin. Ibu tak 
perlu khawatir bahwa dengan mempertahankannya orang-orang miskin akan 
kecanduan. 

Jika pernah naik Metromini jurusan Pasar Rebo - Blok M, Ibu akan bisa tahu 
kenapa mereka membutuhkan subsidi minyak, bahkan lebih besar lagi dari 
subsidi sekarang. Di Metromini Ibu bisa mencicipi apa sebenarnya kemiskinan 
itu. Ratusan ribu orang Jakarta setiap hari merasakannya--buruh, pegawai 
rendahan, dan pedagang kecil.

Orang-orang akan dipadatkan dalam angkutan massal itu, secara harafiah, 
seperti ikan asin dalam kaleng. Sopir Metromini tidak akan menginjak pedal 
gas sebelum setiap inci bisnya penuh terisi. 

Di tengah riuhnya orang bicara tentang pentingnya customer services pada era

globalisasi ini, bahwa pelanggan adalah raja, mohon Ibu jangan sekali-kali 
memikirkannya jika sempat mencoba Metromini. Kondektur akan memaksa
penumpang 
merapat dan terus merapat. Jika menolak, kondektur akan memaki-maki kita. Di

Metromini, orang harus berbagi keringat dari kulit ke kulit sebelum sampai
ke 
tempat kerja, atau ketika pulang sore harinya--yang sudah pasti lebih kecut 
baunya.

Ratusan ribu orang seperti itulah yang akan membayar lebih mahal 
ongkos "pelayanan" Metromini jika Ibu jadi mencabut subsidi minyak. Mutu 
pelayanan Metromini bahkan akan lebih buruk lagi. Penghasilan sopir dan 
kondektur rata-rata hampir sama dengan para penumpangnya. Dikejar beban 
setoran lebih besar, boro-boro mereka memikirkan kenyamanan penumpang, aspek

keselamatan akan makin terabaikan. 

Jika sempat naik Metromini, cobalah duduk di kursi dekat sopir, maka Ibu
akan 
melihat jelas: pedal gas karatan, prosneling diikat dengan karet dan rem 
mungkin tidak pernah dirawat. Naik Metromini, Ibu akan merasakan, hampir 
mirip menunggang roller-coaster, tapi tanpa rel dan sabuk pengaman. Ketika 
sopir berkejar-kejaran semua hal bisa terjadi, termasuk misalnya, seperti 
pernah kejadian, bus mencebur ke Sungai Sunter, membenamkan seluruh
penumpang 
ke dalam air yang hitam pekat karena polusi. 

Para penumpang dan sopir Metromini di Jakarta bagamanapun tetap lebih 
beruntung ketimbang puluhan juta warga Indonesia lain yang jauh lebih
miskin.

Mohon Ibu jangan silau dengan gemerlap gedung perkantoran di Jalan Thamrin 
dan Sudirman. Atau dengan Jaguar, BMW dan Baby Benz yang mejeng di tempat 
parkirnya. 

Menurut data resmi pemerintah, sekarang ini ada sekitar 24% penduduk 
Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan, artinya hampir 50 juta 
orang. Tapi, bahkan akurasi data itu layak dipertanyakan karena kecilnya. 
Data itu disandarkan pada perhitungan era Rezim Soeharto. Untuk melebih-
lebihkan sukses pertumbuhan ekonominya, Pemerintah Soeharto mengatakan telah

berhasil memangkas angka kemiskinan menjadi 11% saja pada 1996 (atau 22 juta

orang saja dari seluruh penduduk negeri ini).

Sekilas itu memang sebuah prestasi besar. Sebab, jika benar, maka selama 30-
an tahun Pemerintah Soeharto berhasil memangkas separo angka kemiskinan 
setiap dasawarsa, dari 40% pada 1970-an.

Tapi, menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), perhitungan jumlah orang

miskin itu tidak sesuai dengan standar dunia, sehingga memberikan gambaran 
yang keliru. Menurut ILO, Indonesia memakai patokan penghasilan di bawah 55 
sen dolar Amerika per hari di perkotaan, dan 40 sen dolar di pedesaan, untuk

menyebut sesorang "berada di bawah garis kemiskinan". Padahal standar dunia 
seperti yang dipakai di Malaysia dan Filipina memiliki patokan US$ 1.
 
Memakai standar sama seperti negeri-negeri tetangga itu, menurut ILO, jumlah

orang miskin di Indonesia pada 1996 akan jadi lima kali lipat dari 
perhitungan pemerintah, artinya sekitar 100 juta orang. Walhasil, justru 
ketika Indonesia mengalami puncak pertumbuhan ekonomi yang dibangga-
banggakan, lebih separoh penduduk Indonesia sebenarnya tetap berkubang di 
bawah lumpur kemiskinan.

Dan Ibu mafhum, sejak 1997, meski sebelumnya dipuji-puja oleh Dana Moneter 
Internasional (IMF) dan World Bank seperti laksana Titatic yang tak bisa 
karam, ekonomi Indonesia sedang menuju dasar laut.

Orang miskin umumnya lebih sensitif terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok.

Dengan kenaikan harga sedikit saja, puluhan juta orang akan seketika 
terlempar ke jurang kemiskinan. Menurut ILO, setahun setelah krisis, 
pencabutan subsidi minyak yang direkomendasikan IMF, dan yang diperkirakan 
menaikkan harga-harga sekitar 25%, telah melontarkan 40 juta penduduk 
Indonesia lain ke bawah garis kemiskinan. Total jenderal angka kemiskinan 
menjadi 140 juta (atau 66% dari jumlah penduduk).

Bagaimanapun, Bu, puluhan juta atau ratusan juta hanyalah statistik. Orang-
orang supermiskin di perkotaan atau pedesaan, yang bahkan kurang beruntung 
dibanding para penumpang Metromini, menemukan masing-masing tragedinya
setiap 
hari. Ada yang meninggal karena penyakit sepele, misalnya, hanya gara-gara 
mereka tak bisa membeli obat. Atau yang tewas dibakar hidup-hidup karena 
terpaksa mencuri sepeda motor. 

Jalanan selalu lebih kejam, Bu. Akbar Tanjung memang masih bisa menjabat 
Ketua DPR meski di dua pengadilan terbukti menyelewengkan dana Rp 40 milyar,

tapi di jalanan seseorang bisa menjadi timbunan daging matang jika dia 
terpaksa mencuri motor karena kemiskinannya.

Apa yang Ibu bisa lakukan untuk puluhan, bahkan seratusan juta lebih orang-
orang tak beruntung itu?

Para ekonom anti-subsidi mengatakan Ibu harus mencabut subsidi minyak. 
Subsidi minyak, menurut mereka, adalah subsidi tidak langsung yang, seperti 
candu, gampang disalahgunakan. Mereka mengusulkan Ibu mencabut subsidi tidak

langsung itu dan menggantinya dengan subsidi langsung kepada rakyat miskin.

Usulan itu tidak masuk akal. Dengan segala hormat, jika data ILO tadi bisa 
diterima, saya harus mengatakan Ibu tak mungkin sanggup membagi-bagikan 
subsidi itu kepada 140 juta orang. Bahkan, jika kita hanya ingin memakai
data 
resmi saja, pemerintah pun takkan sanggup medistribusikan subsidi langsung 
kepada 50 juta orang. Mustahil.

Subsidi langsung untuk mengatasi problem kemiskinan hanya bisa dilakukan di 
negara-negara kaya seperti Amerika Serikat atau Prancis. Subsidi langsung 
mensyaratkan sasaran yang jelas dan terbatas (kepada orang-orang yang 
alamatnya jelas).
 
Di Prancis sama sekali tidak problem. Jumlah orang miskin di sana hanya di 
bawah 1% dari penduduk. Di Amerika lebih problematis, karena jumlah orang 
miskin mencapai 12% dari penduduk (atau sekitar 20 jutaan orang). Tapi, di 
samping pendataan lebih baik, distribusi subsidi langsung di Amerika jauh 
lebih efektif ketimbang di Indonesia.
 
Di Indonesia, seperti sudah disebut tadi, jumlah orang miskin sangat
kolosal, 
belum lagi menimbang pendataannya yang amburadul. Dan berbeda dengan
Amerika, 
Indonesia juga tak punya kemampuan bagus untuk melakukan "self healing"--
menyembuhkan bagian tubuhnya sendiri yang miskin--karena kemiskinan 
kolektifnya. 
 
Pendapatan per kapita di Amerika, berdasarkan perhitungan yang terkoreksi 
lewat "purchasing power parity", mencapai US$ 36.200, sementara Indonesia 
hanya US$ 2.600 saja. Artinya apa, Bu? Meski ada banyak orang miskin di 
Amerika, tetap terlalu banyak orang superkaya di sana, sehingga bisa 
diharapkan adanya inisiatif "pengentasan kemiskinan" dari swasta dan 
perorangan, tanpa perlu mengandalkan pemerintah.
 
Di Indonesia? Bahkan mereka yang mayoritas hidup di atas garis kemiskinan 
adalah orang-orang yang bersiap tergelincir ke jurang kemiskinan setiap kali

ada kenaikan harga-harga.

Dalam situasi itu, potongan harga bahan bakar--satu bentuk subsidi tak 
langsung yang tidak membutuhkan mekanisme distribusi--adalah cara paling 
mungkin bagi pemerintah untuk memberi salah satu kemudahan kepada rakyat 
miskin.

Jadi saran saya, Bu, tetaplah pertahankan subsidi minyak. Lebih dari itu, 
pemerintah juga tetap harus menyediakan dana Rp 18 trilyun yang dibutuhkan 
Menteri Jusuf Kalla untuk program-program pengentasan kemiskinan, jika perlu

bahkan melipatgandakannya. 

Dari mana dana diperoleh? Sederhana. Jika Ibu bersedia mencabut subsidi 
kepada pemilik bank senilai Rp 91 trilyun, Menteri Kalla akan lebih senang 
mendapatkan tiga kali lipat dana pengentasan kemiskinan yang dibutuhkannya.

Baik, Bu, kapan saya bisa menemani Ibu naik Metromini?

[farid gaban]


--
PT. Tempo Inti Media Tbk (http://www.tempo.co.id)

* Gunadarma Mailing List -----------------------------------------------
* Archives     : http://milis-archives.gunadarma.ac.id
* Langganan    : Kirim Email kosong ke [EMAIL PROTECTED]
* Berhenti     : Kirim Email kosong ke [EMAIL PROTECTED]
* Administrator: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke