G: Kenapa baru diributkan sekarang, katanya :P Dulunya isi tabloid masih bisa dibilang sopan. Belakangan memang sudah ngawur. Sudah nyaris bugil dan dipasangnya di emperan atau di perempatan, gimana ga jadi masalah? I'm not the only one who said that, but do they ever listen??
Sialannya (dan ga tau malunya) lagi, setelah bubar sebagian dari orang-orang ini malah terus jualan CD bajakan. Malu dong mas-mas dan mbak-mbak.. masak semua yang pernah pesan majalah edisi khusus dan VCD acara ulang tahun nya itu dikirimi email atau ditelepon ditawari satu per satu. Parah. ----- sedikit panjang...cuma lumayan buat merefresh ingatan masa2 kesuburan tabloid sexy yg murah.....btw aku juga masih punya sebenarnya koleksi perdana (dan terakhir) majalah eksklusif EXOMAG...edisi khusus poto2 eksklusif dari tabloid EXOTIC dulu...ada yang mau gak ya? mau aku lepas...nyepit2in rak buku soalnya.....kalo aku buang kerasa sayang liat body montok...di tempat sampah.... Philipus Parera, Olivia K. Sinaga, Titis Setianingtyas (Majalah Tempo, 20 Maret 2006) Anak Perawan di Sarang Tabloid BANGUNAN berlantai dua seperti rumah tinggal itu agak menjorok ke dalam dari Jalan Laga Raya, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Pada Selasa siang akhir Februari lalu, kantor tanpa papan nama itu tampak lengang. Dua satpam berseragam biru bersiaga dalam garasi di depan gerbang utama. Itu kantor Lipstik, salah satu tabloid yang tampil berani dengan foto-foto erotis dan kisah-kisah seks. Saat Tempo mendorong gerbang dan melangkah masuk, seorang satpam langsung mendekat. "Cari siapa, Mas?" sapanya penuh selidik. Dijawab ingin bertemu Natly Amir, pemimpin perusahaan tabloid itu, si penjaga malah bertanya balik, "Sudah buat janji?" Untung, Natly segera muncul. "Kami lagi tiarap. Sudah tiga minggu," katanya. Sejak Kepolisian Daerah Metro Jaya merazia tabloid "syur" pada awal Februari lalu, Lipstik berhenti terbit. Kantor sepi. Di lantai bawah, ruang pemasaran dan iklan, cuma seorang staf wanita asyik bekerja. Selebihnya, meja-meja berkomputer di balik kaca gelap setinggi bahu itu melompong. Di lantai atas ruang duduk idem dito. Ruang reporter hanya diisi sekretaris redaksi. Dua staf tampak sibuk di ruang tata letak. Perang terhadap media erotis membuat Natly pusing. Tiga minggu tidak terbit, ia kehilangan Rp 60 juta dari pemasang iklan. Keuntungan dari penjualan sekitar 40 ribu eksemplar per minggu pun lenyap. Padahal 18 karyawan plus 11 staf redaksi dan penata letak tetap harus digaji. Sementara Lipstik masih mempertahankan karyawannya, Exotica tidak. Tak kuat karena tak ada pemasukan, beberapa waktu lalu media yang berkantor di Jalan Haji Samali, Jakarta Selatan, itu merumahkan 15 dari 30 karyawannya. "Bagaimana mereka kami bayar?" kata Fuad Rohimi, Pimpinan Redaksi Exotica. Di agen-agen majalah, tak tampak lagi ada media erotis yang beredar dalam sebulan terakhir. Padahal, sebelumnya, di jalur ini ada 16 pemain. Selain Lipstik dan Exotica, antara lain ada Bos Bes, Dugem, Online, Buah Bibir, Prahara, Metropolis, Girls, dan Asmara. Sebagian besar media itu sulit dilacak kantornya. Ada yang "bersembunyi" sambil menunggu situasi aman. Tapi sebagian, sejak awal, memang sudah merahasiakan markasnya. Pada Februari lalu, ketika mencari kantor Buah Bibir di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Tempo bertemu laki-laki setengah baya, seorang penjual minyak tanah. Dia berniat membeli Buar Bibir edisi terdahulu yang tak sempat dibelinya. "Habis, kalau lihat tabloid ini langsung keringatan sih," ujarnya terkekeh. Tapi lelaki itu kecewa: kantor Buah Bibir tak ketemu. Sedangkan mencari tabloid itu di agen sudah sulit. Tabloid-tabloid syur sudah telanjur menghilang. *** TABLOID yang dengan foto-foto sensual untuk kalangan dewasa mulai muncul pada 1998, bersamaan dengan tumbangnya rezim Orde Baru. "Melihat ada peluang, ya kami jalan," ujar Slamet Wiyono. Slamet adalah pengelola Pop. Tabloid dengan logo apel digigit itu adalah perintis genre tabloid "syur". Pertama terbit dengan 20 ribu eksemplar, Pop terus berkembang. Pada puncaknya, tahun 2000, oplahnya pernah mencapai 125 ribu. Setelah itu, penjualan Pop terus menurun. Beberapa jurnalis yang semula bekerja di Pop mengundurkan diri dan membuat tabloid sejenis. Natly, yang kini memimpin Lipstik, dulunya adalah penata letak Pop. Dia dikontrak untuk tiga edisi perdana. Melimpahnya pembaca di jalur inilah yang membuat tabloid erotik tumbuh subur. Apalagi ternyata untuk memulai bisnis ini tidak diperlukan biaya besar. "Dengan Rp 50 juta, jalan kok," ujar Slamet. Cuma butuh dua komputer untuk mengetik dan mengerjakan desain, sebuah printer, pemindai, satu-dua reporter, dan seorang fotografer, bisnis ini bisa jalan. Daya tarik utama tabloid ini adalah foto erotis. Itu pun tak susah dibuat. Sangat gampang mencari model yang mau tampil sensual. Malah banyak menawarkan diri difoto secara sukarela, dengan berbagai tujuan. "Kalau sudah lama nggak tampil di tabloid, ibu saya malah yang tanya, 'Kok, sudah lama sih nggak difoto'," kata Vika Tania, 22 tahun, seorang model erotis. Pemotretan sering dilakukan di luar ruang, biasanya di vila atau kolam renang. Untuk tempat ini pun kerap tak perlu keluar uang. Asalkan dalam setiap foto yang tampil lokasi pemotretan disebutkan, pemilik vila biasanya sudah senang. Makanya, biaya operasional redaksi jadi sangat rendah. Lisptik, menurut Natly, hanya butuh Rp 3 juta untuk biaya operasional redaksi untuk empat penerbitan dalam sebulan. Agar lebih menarik, selalu ada cerita tentang model-model yang jadi cover. Kadang bentuknya narasi, kadang wawancara panjang yang ditampilkan dalam bentuk tanya-jawab. Dialognya bisa sangat sensual. Perhatikan dialog dengan Sisi, model cover Lipstik dalam edisi 24-30 November 2005. Lipstik: Kalau kita lakukan dengan cara aman, gimana? Masih mau nggak? Sisi: Idih..., usaha! Tapi, kalau aku kepepet, mau juga kali ya.... Soalnya banyak yang bilang enak sih. Hi-hi-hi , bercanda lho! Tuh kan, kamu sudah mulai kelihatan tegang." Porno? Pemimpin Redaksi Exotica, Fuad Rohimi, menolaknya. "Ini memang sensual. Tapi porno? Definisi porno itu apa sih?" ujarnya. Lagi pula, dia menambahkan, tabloid mereka ditujukan untuk orang dewasa. Natly lain lagi. Dia malah mempertanyakan kenapa baru sekarang kehadiran mereka dipersoalkan. Lipstik terbit sejak tahun 2000. Dulu kantor mereka di Jalan Biak, Roxy, Jakarta Pusat. Tempat itu sangat dekat dengan markas Front Pembela Islam (FPI) di Tanah Abang. Lokasi kantor keduanya hanya dipisahkan Kali Cideng. "Nyatanya, mereka tidak pernah mendemo kami," ujarnya. Front Pembela Islam adalah organisasi massa yang rajin memprotes media lher atau tempat hiburan malam. Cuma, kata Natly, setiap menjelang puasa FPI dan Front Mujahidin mengirim faks, minta agar bulan puasa dihormati. Tabloid mereka diminta tak menampilkan bikini. Imbauan itu diikuti. Sebagai gantinya, saat-saat seperti itu mereka memakai model yang lebih terkenal. Misalnya, mereka pernah menampilkan Denada pada edisi Lebaran tahun 2003. Beruntung, bintang terkenal tetap mau dikasih honor ala kadar oleh tabloid esek-esek ini. Protes terhadap gerakan antipornografi juga datang dari kalangan model. "Aku pengen banget lho dipanggil ke Polda supaya bisa mengeluarkan semua argumenku tentang RUU Antipornografi itu," kata Sisi, seorang model. Sisi adalah remaja yang langganan jadi cover tabloid. Di usia 14 ia sudah memermak payudaranya agar bisa laku jadi model (lihat Gadis itu Melahap Malam). "Susah mengukurnya, apalagi kalau yang berkaitan dengan seni. Itu kan kebebasan berekspresi," kata Sisi menggebu. Model protes, pengelola tabloid tak kapok--meski untuk itu beberapa dari mereka sudah digelandang ke kantor polisi. Bisnis ini, menurut Slamet, memang menggiurkan. "Paling tidak, nggak rugilah," ujarnya. Slamet sendiri mengaku keluar dari bisnis ini karena permintaan keluarga. Ia hengkang beberapa bulan sebelum Pop bubar pada awal 2004. Data yang diperoleh Tempo dari beberapa agen menyebutkan oplah tabloid-tabloid ini 25 ribu sampai 45 ribu eksemplar. Distribusinya lumayan luas: sebagian tabloid bahkan tersebar hingga Papua. Beberapa malah sampai ke Malaysia untuk konsumsi para pekerja migran asal Indonesia di sana. Di samping keuntungan langsung dari penjualan yang bisa mencapai Rp 1.500 per eksemplar, pemasukan juga datang dari iklan. Kebanyakan iklan party line, jamu, serta obat-obatan multivitamin. "Setiap minggu ada 15-20 iklan, sekitar Rp 20 juta," ujar Natly. Maka jangan heran, ketika menerbitkan Pop, menurut Slamet, modal sudah kembali pada edisi ke-13. Lipstik lebih cepat lagi, cuma dua setengah bulan alias 10 edisi. Exotica, yang baru terbit pada akhir 2003, meski beberapa saat terakhir cuma beroplah 25 ribu, juga tak lagi pernah mengeruk kantong investornya. "Paling tidak untuk biaya operasional, cetak, dan bayar gaji, sudah bisalah," ujar Fuad. *** KINI situasi tak menentu. Kalaupun mereka nekat terbit lagi, tak ada guna. Agen pun untuk sementara "tiarap". Lalu bagaimana nasib tabloid erotis selanjutnya? "Entahlah," ujar Fuad. "Padahal ini bacaan dewasa, seharusnya tidak dilarang." Yang perlu, menurut Fuad, menjaga agar jangan sampai tabloid ini dijual ke anak-anak di bawah umur. Soal penjualan inilah yang harus diatur oleh undang-undang, bukannya melarang tabloid erotis. Toh dia tak mau nekat. "Sementara Exotica menunggulah," ujarnya. Tak seperti Exotica yang hanya menunggu, Lipstik selangkah lebih maju. Pada awal Maret lalu mereka terbit lagi dengan nama Star Lipstik. Sesuai dengan judulnya, tak ada lagi model kencur. Semuanya selebriti. Konsep fotonya pun berubah, tak ada lagi swim suit. Edisi pertama mereka akan menampilkan artis dangdut Yessy Vibrantor. Cover-nya foto Yessy mengenakan kaus ketat tanpa lengan bermotif macan tutul. Bawahannya celana jins lusuh. Mengingkari pembaca? "Tidak juga," ujar Natly. "Meski konsep fotonya berubah, isi berita tetap, tentang seksualitas." Tetap bisa bikin orang keringatan. Simak saja rencana judul edisi perdana Star Lipstik, "Yessy: Kuat 'ML' Tiap Hari?". Tidak khawatir digasak lagi? "Lho, yang dipermasalahkan kan fotonya, kenapa yang lain harus kami ubah?" ujar Natly. Philipus Parera, Olivia K. Sinaga, Titis Setianingtyas (Majalah Tempo, 20 Maret 2006)