RUU PORNOGRAFI
jelas akan merugikan bangsa. Banyak pihak akan dipersulit.
Kalau kilahnya adalah agama. Agama mana yang diuntungkan?

Banyak aktivitas yang bisa terhambat, sebagai contoh, jangan pernah makan 
eskrim, karena nanti dianggap 'meniru kegiatan pornografi' karena dianggap 
seperti melakukan oral seks. Apalagi makan pisang.

Gw heran, koq goblok sekali ya mengarang RUU ini. niru siapa sih? Arab? Wong 
orang Arab sendiri, begitu tahu sudah diluar batas wilayahnya pada buka 
kerudung dan berpakaian sexy...! Eh, ini negara bebas, koq malah mau dibuat 
seperti itu. GOBLOK..!

Dah, gak banyak komentar, tapi kalau RUU ini jadi UU, sepertinya Bali akan 
tenggelam, karena akan didatangi 229.999.900 orang dari 230 juta orang 
Indonesia.


--- On Wed, 9/17/08, imam <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: imam <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [nonamanis] DRAFT RUU PORNOGRAFI
To: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
Cc: nonamanis2@yahoogroups.com
Date: Wednesday, September 17, 2008, 2:25 AM










    
            Rekan-rekan,
 
Beikut ini draft RUU APP yang saya dapat. Silakan menyimak sendiri. Pasal 5 dan 
6 ini, wah sok sucinya minta ampun. Kalau di tempat umum dilarang menyimpan, 
mengunduh, memperdengarkan, mempertontonkan pornografi -dan saya yakin hanya 
orang tidak waras yang mau mengunduh dan menonton pornografi di tempat umum- 
itu wajar. Tapi pasal 5-6 ini memuat larangan bagi semua orang di mana saja 
termasuk di kamar pribadinya, di komputer pribadinya -terkecuali seperti 
penjelasan pasal 5-6 ini yaitu lembaga sensor film, lembaga yang mengawasi 
penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi 
kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Ini benar-benar pasal edan, APA HAK 
NEGARA MELARANG MANUSIA MERDEKA UNTUK MENYIMPAN, MENGUNDUH, MENONTON, MEMBACA 
KONTEN ADULT DI RUMAH PRIBADINYA, DI KOMPUTER PRIBADINYA? Apa negara ini mau 
dijadikan negara gestapo yang bebas mengobrak-abrik wilayah pribadi orang 
dewasa? Bikin muntah saja baca ini RUU.
 Wassalam.

 
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI 
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk 
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, 
animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi 
lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka 
umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai 
kesusilaan dalam masyarakat.

2.Jasa pornografi adalah segala enis layanan pornografi yang disediakan oleh 
orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, 
televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik 
lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

3.Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan 
hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 
4.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5.Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik 
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia 
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 
1945.

6.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat 
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap 
harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, 
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. 
Pasal 3
Pengaturan pornografi bertujuan:
a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, 
berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, 
serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b.memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
c.memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari 
pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan 
d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, 
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, 
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: 

e.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
f.kekerasan seksual;
g.masturbasi atau onani;
h.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau
i.alat kelamin. 
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan 
ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan 
seksual.
Pasal 5 
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, 
atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), 
kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.

Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi 
objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang 
mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan 
atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, 
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. 

Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau 
Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, 
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa 
pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan 
perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan 
untuk kepentingan dan memiliki nilai: 
a.seni dan budaya; 
b.adat istiadat; dan
c.ritual tradisional.
Pasal 15
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, 
dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan 
pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan 
Pemerintah.

BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 16
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah 
akses anak terhadap informasi pornografi.
Pasal 17 
1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, 
dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta 
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi 
korban atau pelaku pornografi.

2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, 
kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan 
Peraturan Pemerintah.
BAB IV 
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 18
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, 
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah 
berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi 
atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet; 

b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan 
pornografi; dan
c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam 
maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan 
penggunaan pornografi.
Pasal 20
Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, 
Pemerintah Daerah berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi 
atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di 
wilayahnya; 
b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan 
pornografi di wilayahnya; 
c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan 
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d.mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka 
pencegahan pornografi di wilayahnya. 
Bagian Kedua 
Peran Serta Masyarakat
Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, 
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. 
Pasal 22 
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan 
dengan cara:
a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini; 
b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; 
c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang 
pornografi; dan 
d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b 
dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan.
Pasal 23
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat 
(1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan 
perundang-undangan. 
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 24
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap 
pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum 
Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 25
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum 
Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi 
tetapi tidak terbatas pada:
a.barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan 
cetakan, baik elektronik, optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan 
b.data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Pasal 26 
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, 
dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, 
jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik 
lainnya.

(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia 
jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data 
elektronik yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah 
menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data 
elektronik dari penyidik.

Pasal 27
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan 
data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.

Pasal 28 
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa 
dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa 
dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan 
dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan 
sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau 
dihapus.

BAB VI 
PEMUSNAHAN
Pasal 29
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 
oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a.nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;

b.nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII 
KETENTUAN PIDANA
Pasal 30
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, 
menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, 
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) 
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit 
Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 
000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 31
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan 
paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga 
miliar rupiah).

Pasal 32
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau 
pidana denda paling banyak Rp2.000.000. 000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, 
atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana 
dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak 
Rp2.000.000. 000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 34
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan 
paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 
000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar 
lima ratus juta rupiah).

Pasal 35
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek 
atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda 
paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 36
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang 
mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan 
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) 
tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta 
rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 37
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau 
di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, 
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun 
atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 38
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan 
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 
35, Pasal 36, dan Pasal 37, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman 
pidananya.

Pasal 39
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan 
kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling 
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling 
sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 
Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu 
korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi 
dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana 
tersebut dilakukan oleh orang‑orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun 
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik 
sendiri maupun bersama‑sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi 
tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat 
diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar pengurus korporasi 
menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi 
supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan 
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada 
pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda 
dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang 
ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi 
dapat dikenakan pidana tambahan berupa:
a.pembekuan izin usaha;
b.pencabutan izin usaha;
c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau

d.pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan 
setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan 
kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan. 

Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan 
yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap 
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. 

Pasal 44
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini 
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
PENJELASAN:
Pasal 4
Ayat (1) 
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan 
atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal seks, 
lesbian, homoseksual.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "kekerasan seksual" antara lain persenggamaan yang 
didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan 
paksaan, pemerkosaan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan" adalah penampakan tubuh dengan 
menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang tembus pandang. 
Pasal 5
Yang dimaksud dengan "mengunduh" adalah mengalihkan atau mengambil fail (file) 
dari sistem teknologi informasi dan komunikasi. 
Pasal 6
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya 
lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi 
penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi 
kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk 
pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.

Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau 
menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat 
atau lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga dimaksud.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan "mempertontonkan diri" adalah perbuatan yang dilakukan 
atas inisiatif dirinya atau inisiatif orang lain dengan kemauan dan persetujuan 
dirinya. Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan 
seksual, masturbasi atau onani.

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, 
atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, 
mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, 
meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, 
memanfaatkan, memiliki atau menyimpan.
Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini 
misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, pakaian 
olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan 
yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak 
menampilkan atau menggambarkan pornografi.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah materi yang tidak mengandung 
unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar 
kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan 
lingga dan yoni.

Pasal 16
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi 
terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan 
terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang 
Perlindungan Anak.

Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah 
pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah 
pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Reply via email to