Mayang

Namanya Mayang (nama Aslinya sengaja aku simpan).. 19 tahun. Sejak awal ketemu 
dia, aku sudah tertarik dengan gaya lugu-nya - namun aku sendiri tidak 
menyangka bisa mendapatkan tubuhnya dengan mudah.




Semuanya berawal dari ajakan temanku untuk ikut liburan selama beberapa hari ke 
Kota Kuningan. Awalnya aku ragu, namun akhirnya aku memutuskan untuk ikut.

Hari pertama, Adhi mengajakku untuk nongkrong di Toserba Yogya, di sana dia 
menemui beberapa teman lamanya, sekalian cuci mata karena area toserba Yogya 
juga merupakan salah satu pusat tongkrongan anak muda di Kuningan.

Saat sedang mengisi pulsa di salah satu otlet yang dijaga oleh temannya Adhi, 
ada seorang gadis yang menepuk pundakku dari belakang. "Dicariin di Timezone 
malah ada di sini," katanya tanpa ba bi bu. Mata gadis itu membelalak lucu 
ketika sadar bahwa aku bukanlah orang yang dia maksud.

"Duh, maaf.." Ujarnya pelan, lalu dia mendelik kepada Jay -penjaga outlet- yang 
tertawa melihat kejadian itu.

"Makanya, jangan asal serobot az, May" Jay berkata disela tawanya, ternyata Jay 
dan gadis itu telah saling mengenal.

"Maaf ya, saya kira." Gadis itu tidak meneruskan ucapannya karena aku potong.

"Gak papa, kok." Ujarku sambil berusaha menampilkan senyum simpatik. Harus 
tebar pesona, soalnya gadis di depanku ini manisnya minta ampun.

"Di gebug lagi juga gak apa2, Neng'" timpal Adhi sambil mengedipkan matanya 
padaku.

Gadis itu masih tersipu, lalu dia cepat2 berlalu dari tempat itu.

"Kemana, May?" tanya Jay sebelum gadis itu menghilang.

"Masuk lagi, waktu istirahat dah abis." Jawab Mayang, lalu dia menghilang di 
balik mobil2 yang diparkir di depan outlet.

"Namanya Mayang, Dia SPG," Jay menerangkan sebelum Adhi sempat buka suara untuk 
menanyakan siapa gadis itu.

"Halagh. tau az Lu, Jay. Gue blom nanya Lu udah jawab duluan," Adhi terkekeh.

"Gue udah bisa baca dari sorot mata keranjang Lu itu,"

Aku pura2 sibuk menulis sms, namun dalam hatiku aku berusaha mengingat baik2 
nama gadis itu. Mayang, SPG H&R Toserba Yogya.

------------------------

Dua hari berlalu sejak kejadian itu. Tidak ada kejadian istimewa lain, tiap 
hari Adhi mengajakku mengunjungi tempat2 yang dulu biasa dia jadikan tempat 
nongkrong bersama teman2 lamanya. Aku bahkan hampir lupa soal pertemuanku 
dengan Mayang. Hingga akhirnya pada Malam Minggu Adhi mengajak aku untuk 
menonton acara Mentari on the Street, acara pentas musik band lokal yang rutin 
diadakan setiap malam minggu oleh salah satu radio di Kuningan.

Di sana aku kembali melihat Mayang. Dia sedang asyik menonton aksi panggung 
salah satu band lokal sambil dipeluk dari belakang oleh seorang cowok.

"Wah, udah punya cowok dia," ujar Adhi yang juga melihat Mayang.

"Wajar lah, cewek manis gitu." jawabku sambil mengalihkan pandangan ke arah 
panggung.

Lalu aku dan Adhi sibuk menertawakan aksi vokalis norak yang kehabisan nafas 
ketika meneriakkan reff lagu Crawling-nya Linkin Park.

Selang beberapa lagu, aku kembali melirik tempat di mana tadi aku melihat 
Mayang. Gadis itu masih sedang bersama cowoknya, namun kali ini tidak mesra 
seperti tadi. Mereka seperti sedang bertengkar, lalu Si Cowok pergi begitu saja 
sambil menunjuk-nunjuk Mayang dengan marah.

Dari jauh aku bisa melihat mata gadis itu berkaca-kaca, dia menggigit bibir 
menahan tangis. Secara naluri aku langsung menghampirinya.

"Ada apa, May? Kok Kamu bertengkar ama dia?" tanyaku kemudian.

Mayang menatapku selama beberapa detik, "Ah, Kamu yang ketemu aku di Outlet nya 
Jay, ya?"

"Iya, namaku Yudha. Sori bukan mo ikut campur, aku hanya gak tega melihat kamu 
hampir nangis di tempat seramai ini."

"Ah, sudahlah. Gak perlu di bahas," Mayang memalingkan wajahnya, mungkin dia 
merasa canggung karena aku melihatnya hampir menangis. "Surya memang begitu 
orangnya, moody banget".

"Oh, jadi cowok kamu namanya Surya?"

Mayang mengangguk. "Dha, mau bantu aku ngga?"

"Tentu," jawabku.

"Bisa anterin aku pulang gak? Aku gak berani pulang sendiri malem-malem gini"

"Memangnya rumah KAmu di mana?"

"Di Kadugede,"

Aku tidak tahu KAdugede itu sebelah mana, tapi siapa peduli? Toh Mayang bisa 
menunjukkan jalan. "Ok," jawabku kemudian. "Aku ngambil kunci motor dulu ya".

LAlu aku menghampiri Adhi dan memnjam kunci motornya. "Wah, dapet rejeki, Lu". 
Ledek Adhi sambil melemparkan kunci motor yang aku pinta. Aku mengedipkan mata.

Sepanjang perjalanan pulang, aku tahu Mayang menangis di belakangku. Tapi aku 
pura2 tidak tahu, aku tidak mau dia merasa canggung.

Sesampainya di rumah, Mayang memintaku untuk masuk sebentar. Di rumah itu hanya 
ada neneknya yang telah tertidur pulas di kamar belakang. Mayang bercerita 
bahwa orang tuanya tinggal di Bandung.

"Silakan di minum, Dha." Kata Mayang sambil menyimpan gelas minuman ke atas 
meja di depanku. Aku mengangguk. "Aku ganti baju dulu, ya." Lanjut Mayang 
kemudian, lalu dia berlalu ke kamarnya.

Kamar Mayang terletak tidak jauh dari ruang tamu, saat sedang berganti pakaian, 
aku mendengar Mayang bertengkar lagi dengan surya di telepon. Entah apa yang 
mereka permasalahkan, yang jelas aku mendengar Mayang bertengkar sambil 
menangis. Setelah pertengkaran itu, Mayang tidak juga keluar dari kamarnya. 
Setelah menunggu selama 30 menit lebih, akhirnya aku memberanikan diri untuk 
menghampiri Mayang di kamarnya.

Mayang sedang menangis di atas tempat tidur ketika aku masuk.

"Mungkin sebaiknya aku pulang ya" Ujarku sambil duduk di pinggir tempat tidur.

Mayang tersentak, "Aduh, Maaf, Dha. Aku gak bermaksud nyuekin Kamu"

"Gak papa kok, aku maklum."

"Entahlah, Dha. Aku bingung, hubunganku dengan surya akhir2 ini semakin kacau."

Nada bicara Mayang menunjukkan bahwa dia sedang butuh teman bicara, akhirnya 
aku membatalkan niatku untuk pulang dan berusaha sebijak mungkin memberikan 
kata-kata penghibur untuk Mayang. Setelah beberapa lama, akhirnya Mayang 
menghapus air matanya lalu duduk di sampingku.

"Nah, gitu dong, jangan sedih melulu" Ujarku sambil mengambil ponsel dari saku 
celanaku. "Aku foto ya, beri aku senyuman."

Mayang tersenyum, lalu aku mengambil gambarnya beberapa kali menggunakan kamera 
ponsel. Saat sedang mengambil gambar, secara tidak sengaja aku melihat belahan 
payudaranya yang tersembul di balik kerah kaosnya. Aku yang memang sejak tadi 
menahan hasrat, akhirnya tak mampu lagi membendung.

Perlahan aku duduk di samping Mayang, tanpa permisi terlebih dahulu aku 
langsung memeluk dan menciumnya. Mayang sempat kaget lalu berusaha berontak, 
namun aku mempererat pelukanku dan memperdalam ciumanku.

"Hmmpphhhh, Dha.." Rintih Mayang di sela-sela hujanan ciumanku.

"Jangan menolak, May. Aku butuh kamu." Bisikku sambil mengalihkan ciumanku ke 
lehernya yang jenjang. Aroma wangi tercium dari tubuhnya, membuatku semakin 
hilang kendali.

Tanganku menelusup ke balik kaos Mayang, menjalar menuju gundukan payudara yang 
tidak terlalu besar namun padat. Rangsangan2 yang kuberikan akhirnya mampu 
meredam perlawanan Mayang. Secara perlahan dia merebahkan tubuhnya, aku 
mengikuti dan langsung menindih tubuhnya.

"Yudha. jangan terlalu jauh ya." Bisik Mayang di sela2 nafasnya yang memburu.

Aku tidak menjawab permintaannya, dari atas tubuhnya, aku mulai melepaskan 
kancing baju Mayang satu persatu. Mayang berusaha berontak ketika aku 
melepaskan bajunya, namun aku berhasil membuka baju tersebut, bahkan sekalian 
merenggut bra nya hingga payudaranya terbuka dengan lebar.

Puting payudaranya menyembul keras, payudara ini pasti pernah dijamah 
seseorang, mungkin Surya, fikirku. Tapi aku tidak peduli, payudara ini tetap 
menawan. Erangan halus keluar dari mulut Mayang ketika mulutku mengulum dan 
mempermainkan putingnya. Aku membiarkan dia mengerang selama beberapa lama, 
semakin liar lidahku bergerak, semakin kuat erangan Mayang. Kemudian aku 
melepaskan kaos yang ku kenakan, lalu kembali menindih tubuhnya. Aku mengerang 
lirih ketika kulitku bersentuhan dengan kulitnya yang halus. Rudalku mengeras 
hebat di balik celana jeansku.

Mayang menolak ketika aku berusaha menyingkap rok nya, dia menamparku ketika 
aku berusaha memaksa. Untuk sejenak, aku harus melupakan keinginanku 
mempermainkan bagian bawahnya. Aku kembali menyerang payudara dan perutnya 
dengan usapan lidahku, ketika Mayang terbuai, sedikit demi sedikit aku 
mempreteli pakaian yang masih menempel di tubuhnya hingga terlepas semua, dan 
aku pun mempreteli semua pakaian yang masih melekat di tubuhku.

Mayang berusaha mendorong tubuhku ketika dia sadar aku dan dia telah telanjang 
bulat. "Jangan, Dha. Aku masih milik Surya." Bisiknya lemah.

Tapi mana mau aku melepaskan kesempatan ini. "Beri aku satu kali saja, aku 
ingin menikmati tubuhmu."

"Jangan, Dha.."

"Ayolah, May. Atau, kamu masih perawan?"

Mayang menggeleng, "Surya telah mengambilnya"

"Kalau begitu, apa salahnya kalau kamu memberiku kesempatan?" Aku tetap 
berusaha menindihnya, memperkuat posisiku diantara perlawanan Mayang yang 
semakin melemah. Kepala tongkatku beberapa kali menggesek bibir vaginanya, 
ketika tepat di depan lubang senggama Mayang, aku berusaha menekan, namun 
beberapa kali usahaku gagal karena Mayang merapatkan kakinya.

"Aku tidak mau menghianati Surya, karena... Ahhhhhh." Mayang tidak melanjutkan 
ucapannya ketika akhirnya kepala tongkatku berhasil memasuki liang kenikmatan 
tersebut.

Aku mengerang keras, sensasi kenikmatan menjalar cepat. Penisku belum masuk 
semua, liang senggama Mayang terasa sempit. Beberapa kali aku bergerak maju 
mundur hingga akhirnya BLESSSHHHH.. seluruh penisku masuk.

Mayang mengerang, vaginanya yang belum dilumasi secara sempurna terasa seret, 
sisa2 perlawanannya mulai berakhir..

Aku terus bergerak, menjemput kenikmatan demi kenikmatan dari tubuh Mayang. 
Secara perlahan, Mayang mulai menikmati dan ikut berperan hingga akhirnya 
persetubuhan ini berjalan seimbang. Bunyi khas terdengar dari liang senggamanya 
seirama dengan gerakan2 yang kami buat.

"Ahhhh. Yudha. punyamu besar sekali...."

"Nikmatilah sepuasmu, Sayang.. Aku juga. ahhh.." Pijatan halus vagina Mayang 
yang mengurut penisku membuatku tak mampu menyelesaikan ucapanku.

"Aku mau keluaarrrr..." Desis Mayang.. Beberapa lama kemudian liang senggamanya 
semakin penuh oleh cairan.

Aku masih terus mengayun, lalu aku bangkit dan melipat kedua kakiku. Tanpa 
membiarkan terlepas, aku menyetubuhinya dalam posisi baru.

Erangan dan rintihan masih berbaur. Sekilas mataku melihat ponsel milikku 
tergeletak di sebelah kiri. Ponsel itu kuambil, sambil tetap menyetubuhi 
Mayang, aku mengambil beberapa gambar melalui kamera ponselku.

JEPRET!!!




Yudha. apa yang kamu lakukan?" tanya Mayang di sela2 erangannya.

Aku tidak menjawab karena puncak kenikmatan semakin mendekat. Gerakan itu 
kupercepat dan aku kembali menjatuhkan tubuhku menindih tubuh Mayang. 
Sengatan-sengatan kenikmatan semakin cepat menerjang.

"Ahh. Dha. aku mau keluar lagi...." MAyang mengerang..

"Aku juga, Sayaaanggg," jawabku, pelukanku kuererat, gerakanku semakin ku 
percepat, intensitas enikmatan yang semakin meningkat membuatku tak tahan dan 
meninggalkan beberapa gigitan di leher dan dagu Mayang.

"Ahhh Ahhhhh Ahhhhhh.. Mayang semakin keras mengerang..."

"Ugh. keluarin di mana, Sayang?" tanyaku, gerbang puncak telah di depan mata.

"Jangan dicabuuutt. Di dalam saja, semprotkan semuanya padakuuuuuuu.."

Tubuhku mengejang, sensasi kenikmatan meledak di puncaknya diiringi erangan 
panjang aku dan Mayang... Aku menyemprot kuat beberapa kali.

"Kamu tidak takut hamil?" tanyaku setelah puncak kenikmatan berlalu perlahan.

Mayang menggeleng. "Saat ini aku memang sedang hamil dua bulan, itulah penyebab 
pertengkaranku dengan Surya." jawabnya.

Aku mencabut sisa-sisa yang masih ada dan membaringkan diri di samping Mayang. 
Tubuh kami berkeringat, tempat tidur acak-acakan tak karuan. Mayang memelukku.

"Nikmat sekali, Dha. Andai Surya sehebat Kamu.." bisiknya.

Aku tersenyum bangga. "Beri aku waktu istirahat beberpa menit, dan akan aku 
berikan lagi kenikmatan seperti tadi," jawbku. Kemudian aku mengecup keningnya. 
Malam itu empat kali aku menyetubuhinya hingga pagi. Perbuatan kami hampir 
dipergoki neneknya yang terbangun.

Jam 6 pagi aku pulang menuju rumah Adhi. Rentetan omelan menyambut kedatanganku.

"Gila Lo Dha. Nidurin cewek sampe lupain temen. Gue hampir pulang jalan kaki 
tadi malem, untung gue ketemu Anita yang nganterin gue pulang. Kalo tau gini, 
gak bakalan gue kasiin kunci motor itu."

Aku tersenyum. "Jangan belagak ngambek, Lo.. Gue tau tadi malem Lo juga "maen". 
Ama siapa? Anita? Siapa tuh Anita?"

"Tau darimana?" tanya Adhi heran.

Aku sengaja tidak langsung menjawab. Kemudian sambil berlalu menuju kamar 
mandi, aku berkata; "Empat cupang di leher Lo itu, jelas banget keliatan. 
Buset, ganas amat Si Anita. Kenalin dong. Gue juga pengen nyobain.."

Mendengar omonganku, Adhi langsung berlari menuju cermin..

 
 

Kirim email ke