Risiko Pasar Saham Meningkat
Irna Gustia, Ardian Wibisono - detikcom

Jakarta - Bukan cuma punya modal banyak, investor yang masih berani  
bermain saham dalam 1-2 minggu kedepan juga harus punya nyali gede.

Pasalnya, gejolak di pasar saham baik di Indonesia maupun luar negeri  
diprediksi belum akan reda dalam satu bulan kedepan.

Pasar saham dan pasar uang kini masuk dalam kategori berisiko sangat  
tinggi dibanding periode sebelumnya.

Ini terlihat dari penurunan dan kenaikan saham yang tajam dalam tempo  
cepat. Selain itu juga terjadi keluar masuk dana yang cepat di pasar saham.

"Kondisi sekarang lebih cocok untuk para spekulan," kata Anton Gunawan,  
Ekonom dari Citibank ketika dihubungi detikcom, Jumat (19/5/2006).

Anton menilai, fluktuasi yang begitu tinggi di pasar saham lebih karena  
terseret pasar global dan kesempatan untuk melakukan aksi profit taking,  
karena saham sudah naik banyak.

Ekonomi AS menjadi pemicu bergejolaknya pasar global. Investor khawatir  
dengan tingginya defisit perdagangan dan inflasi, akan membuat the Fed  
menaikkan suku bunga lagi hingga 5,5 persen dari posisi saat ini 5 persen.

Akibatnya, dana yang semula duduk di pasar berkembang (emerging market)  
dialihkan lagi ke pasar negara industri. Namun ujar Anton, bukan berarti  
investor asing meninggalkan pasar Indonesia.

"Investor asing tidak melihat Indonesia jelek, mereka masih melihat dan  
membeli prospek ekonomi kedepan yang mulai bagus," katanya.

Selisih tingkat suku bunga yang masih memberikan gain, dan kecenderungan  
inflasi menurun dijadikan pijakan investor untuk memburu saham di  
Indonesia.

Menurut Anton, setelah satu bulan terombang-ambing, selanjutnya Indeks  
Harga Saham Gabungan (IHSG) akan memasuki periode konsolidasi, sebelum  
kembali lagi ke level 1.500.

Sementara Kepala Riset BNI Securities Adrian Rusmana mengatakan,
pasar saham regional termasuk Indonesia terhempas kenaikan suku bunga Cina  
dan The Fed. IHSG juga rontok akibat ekspektasi investor yang tidak  
terpenuhi.

"Peningkatan suku bunga artinya mereka mau meredam pertumbuhan ekonomi  
sekaligus mengurangi ekspor ke dua negara itu, sehingga kalau pertumbuhan  
ekonomi dikurangi akan mengurangi ekspor kita yang mengakibatkan laba  
turun dan harga saham ikut turun," kata Adrian dalam perbincangannya  
dengan detikcom di kantornya, Kamis (18/5/2006).

Menurutnya, Cina sudah menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin pekan  
lalu dan rencananya akan kembali dilakukan lagi bulan depan. Langkah yang  
sama juga dilakukan The Fed akibat ekspektasi inflasi yang tidak tercapai.

"Kalau suku bunga internasioanal naik mungkin BI akan mempertahankan suku  
bunga, harapan investor tidak kesampaian jadi sahamnya dijual," ujar  
Adrian.

Adrian juga mengatakan investor khususnya investor asing jangka pendek  
hengkang akibat tidak tercapainya indikator-indikator ekonomi.

Dengan demikian ekspektasi investor yang mengharapkan pertumbuhan ekonomi  
mencapai 6,2 persen seperti yang ditetapkan pemerintah kian sulit tercapai.

Adrian juga mengatakan tidak tertutup kemungkinan hal serupa akan terjadi  
di pasar obligasi.

Indikasi hengkangnya dana asing dari pasar modal terlihat dari posisi net  
sales yang mulai diambil investor asing beberapa hari terakhir.

"Total net sale tanggal 12, 15 dan 16 Mei Rp 241 miliar. Kalau per tahun,  
2004 net buy, 2005 net sale, 2006 sampai saat ini masih net buy, tapi  
kalau seperti ini terus dan dipukul rata bisa jadi net sale," katanya.

Saat ini partisipasi asing hanya 30-40 persen di lantai bursa, namun  
perilaku investor asing cukup signifikan terhadap pergerakan indeks.

"Karena mereka dianggap punya info dan riset yang kuat dan perilakunya  
diikuti oleh investor lokal sehingga pengaruhnya kuat untuk sentimen,"  
jelas Adrian.

Jatuhnya indeks juga dinilai wajar, karena indeks dinilai sudah terlalu  
ngebut akibat ekspektasi yang besar dibandingkan negara-negara tetangga.

Hal ini diindikasikan oleh Price Earning Ratio perusahaan di Indonesia  
sebesar 13,9 persen, yang juga lebih tinggi dibanding rata-rata negara di  
asia sebesar 13-14 persen.

"Misalnya harga saham kita yang dua kali lipat dibanding Thailand padahal  
kondisinya bisa dibilang lebih baik. Tapi ekspektasinya disini memang  
lebih baik," kata Adrian.

Meski indeks turun naik seperti roler coaster, Adrian mengatakan, yang  
menarik adalah tingkat likuiditasnya yang tinggi terlihat dari rata-rata  
nilai perdagangan yang lebih dari Rp 1,2 triliun per hari.

Hal ini merupakan nilai tambah bagi bursa Indonesia karena resiko  
likuiditas relatif kecil sehingga investor bisa mudah keluar masuk.

Investor yang tinggal setelah gonjang-ganjing indeks, adalah investor yang  
melihat dari sisi fundamental. Selanjutnya pertumbuhan indeks diperkirakan  
akan melambat tapi pasti.

"Setelah stabil saham-saham tertentu yang akan dibeli misalnya  
pertambangan yang labanya diuntungkan saat rupiah melemah, telekomunikasi  
yang kontribusinya tinggi terhadap GDP dan perkebunan. Kalau kemarin kan  
di beli semua," kata Adrian merekomendasikan.(ir)

dari:  
http://www.detikfinance.com/indexfr.php?url=http://www.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/05/tgl/19/time/115906/idnews/598401/idkanal/6


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Home is just a click away.  Make Yahoo! your home page now.
http://us.click.yahoo.com/DHchtC/3FxNAA/yQLSAA/zMEolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/obrolan-bandar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke