Munas GOLKAR telah usai, seperti diperkirakan banyak orang bahwa AB akan 
memenangkan kursi Ketua Umum akhirnya terbukti.
 
Dan hanya bermodalkan "IDEALISME" pun juga terbukti tidak cukup untuk 
memenangkan sebuah posisi apalagi untuk sebuah posisi Politik di Indonesia. 
 
Selanjutnya kita tunggu bukti apakah "Idealisme" tetap di atas dan terutama 
melebihi kepentingan Modal, kekuasaan dan keuntungan kelompok?.....All is a 
matter of time.

Pertarungan Kekuasaan, Uang, dan Jaringan...
 
Jumat, 9 Oktober 2009 | 08:09 WIB
Idealisme dan kegigihan berjuang saja rasanya tidak cukup untuk meraih kursi 
nomor satu di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.

Seperti yang dialami sosok muda Yuddy Chrisnandi. Dia tak punya uang untuk 
”membeli” suara, kecuali untuk mendukung operasional kampanyenya yang 
kecil-kecilan. Apalagi kekuatan dan kekuasaan untuk ”menekan” para pemilihnya. 
Ia juga tak punya jaringan ke struktur Partai Golkar untuk bisa memperluas 
dukungan.

Yuddy hanya memperoleh dukungan dan simpati anak-anak muda Partai Golkar yang 
memiliki idealisme. Sebut saja Emil Tanri Abeng, Indra J Piliang, dan Renny 
Djayusman, yang bukan tokoh-tokoh Partai Golkar.

Karena itu, dalam pemilihan tahap pertama sebagai calon ketua umum DPP Partai 
Golkar, setelah lolos verifikasi persyaratan administrasi, Kamis (8/10) subuh, 
Yuddy tidak mendapatkan satu suara pun alias nol.

Padahal, di ruangan itu terdapat 536 suara, yang terdiri atas satu perwakilan 
DPP, 33 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat I, 10 organisasi massa pendiri dan 
yang didirikan serta organisasi sayap, dan 494 DPD tingkat II.

Demikian juga dengan Tommy Soeharto. Soal kemampuan dana tentunya bukan masalah 
bagi putra mantan Presiden Soeharto ini. Terbukti, ia bisa mendatangkan ratusan 
anak-anak muda berkaus putih dengan menumpang belasan bus meskipun hanya bisa 
sampai di gerbang hotel tempat munas berlangsung.

Akan tetapi, Tommy pun tak memiliki jaringan untuk menggerakkan infrastruktur 
dan struktur Partai Golkar.

Oleh karena itu, Tommy Soeharto juga ”bernasib” serupa dengan Yuddy. Ia sama 
sekali tidak mengantongi suara dukungan dari mana pun meskipun Satuan Karya 
Ulama—sebuah organisasi sayap di bawah Partai Golkar—mengeluarkan siaran pers 
tertulis akan mendukungnya secara penuh.

Strategi

Adapun Surya Paloh, meskipun untuk persoalan dana dan kekuatan tak ada masalah, 
ia tak memiliki apa yang dipunyai pesaingnya, Aburizal Bakrie, yaitu segalanya.

Sebut saja mulai dari jaringan, uang, hingga dukungan kekuasaan yang menyatu 
dan terkoordinasi.

Dalam bahasa Aburizal yang disampaikan dalam keterangan pers pertamanya, 
sekitar satu jam setelah ia terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, 
kemenangannya merupakan ”hasil kerja yang baik dari cara kerja yang strategis 
dan jitu”.

Karena itu, ia sangat berterima kasih pada mantan Ketua Partai Golkar Akbar 
Tandjung dan mantan Wakil Ketua DPR Agung Laksono. Aburizal juga berterima 
kasih pada lembaga yang mengorganisasi kepentingannya dalam pemilihan ketua 
umum Partai Golkar, yakni Fox, lembaga yang dipimpin Choel Mallarangeng dan 
Rizal Mallarangeng, seperti saat pemilu presiden, 8 Juli lalu.

Bandingkan saja, misalnya, dengan deretan pendukung yang berada di belakang 
Surya Paloh. Ibaratnya hanya ”lapisan kedua”, seperti Ariady Ahmad, Jeffrey 
Geovanie, dan Zainal Bintang. Dukungan politik dari Ketua Umum Muhammad Jusuf 
Kalla, sebagaimana disinyalir Aburizal, sebenarnya juga hanya ”samar-samar”.

Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar berakhir semalam. Namun, kesibukan belum 
akan berakhir. Seorang petinggi Partai Golkar menyarankan Kompas untuk memantau 
transaksi bank pada Kamis siang.

Apakah itu mengindikasikan adanya politik uang seperti yang tercium kuat selama 
munas berlangsung? Wallahualam....
Sumber: KOMPAS cetak.



________________________________



      

Kirim email ke