Semoga sempat dibaca dan direnungkan, terutama oleh orang2 yang terhormat di
Senayan sana ...

 

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/16/02483317/demokrasi.tak.hormat.ka
ta

 

Demokrasi Tak Hormat Kata

Sabtu, 16 Januari 2010 | 02:48 WIB

Triyono Lukmantoro 

Hormat terhadap kata merupakan hukum pertama yang menjadikan seseorang
matang, baik secara intelektual, emosional, maupun moral. 

Dag Hammarskjold (1905-1961), sebagaimana dikutip James A Jaksa dan Michael
S Pritchard (Communication Ethics, 1994), menyatakan betapa kata-kata mampu
mengikat masyarakat bersama-sama, hingga terjaga kualitasnya.

Pernyataan mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
periode 1953-1961 tersebut sungguh signifikan jika dikaitkan dengan
pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Tanpa dapat disangkal, demokrasi kita
berjalan cepat pada keleluasaan untuk berbicara. Perdebatan dan demonstrasi
menjadi fenomena harian. Namun, persoalan yang acap diabaikan adalah
kalangan aktor demokrasi tidak pernah menghiraukan arti penting kata-kata.

Kata-kata sekadar dimaknai sebagai instrumen bahasa. Kata-kata pun meluap
menjadi sebentuk ekspresi kemarahan. Bahkan, kata-kata bukan saja tidak
dihormati, melainkan telah dilecehkan. Akibatnya, umpatan dan caci-maki
menggerus kejernihan argumentasi. Boleh saja fenomena itu dianggap sebagai
sebuah fragmen dalam teater politik, tetapi capaian yang mampu direngkuh
tidak lebih dari retorika intrik yang sama sekali tidak mendidik, bahkan
menghancurkan makna substansial demokrasi sendiri.

Kenyataan itu terjadi pada saat beberapa anggota Panitia Khusus DPR tentang
Hak Angket Bank Century mengemukakan aneka pertanyaan kepada pihak-pihak
yang diposisikan sebagai saksi. Nada berbicara yang tinggi, intonasi yang
terkesan penuh gertakan, dan pilihan kata yang cenderung menyudutkan sering
berhamburan. Bukan pada persoalan para saksi yang diajukan itu adalah
pejabat tinggi negara; sehingga kata-kata yang dikemukakan harus menunjukkan
watak ketertundukan dan penuh nilai rasa penjilatan. Namun, saksi-saksi
tetaplah pihak yang mengemukakan testimoni, bukan sekumpulan pesakitan yang
sengaja dipasang sebagai obyek caci-maki. Hal yang lebih buruk lagi adalah
di antara para anggota Pansus sendiri terlibat dalam saling sanggah sehingga
mereka menampilkan diri sebagai kerumunan politisi yang pongah.

Sebenarnya tidak perlu diterapkan kode etik khusus bagi para anggota Pansus
jika mereka mampu menyadari kata-kata selalu lekat dengan derajat
intelektualitas dan moralitas. Kata-kata yang diucapkan para aktor demokrasi
kalau hanya mampu menunjukkan kadar emosi yang tinggi secara otomatis
mendegradasikan etika dan kecerdasan. Benar pernyataan Isokrates, seorang
filsuf Yunani yang hidup pada abad kelima Sebelum Masehi, pembicaraan yang
dilakukan manusia menunjukkan level peradaban. Ketika demokrasi dilumuri
kata-kata penuh cacian dan gertakan, maka tersembul karakter perpolitikan
yang dikendalikan daya barbarian.

 

Dramaturgi kata-kata

Sangat masuk akal jika dikemukakan bahwa Pansus yang digulirkan di gedung
wakil rakyat dan demonstrasi yang digelar di jalanan merupakan sebentuk
panggung drama. Di ruang-ruang itulah kalangan aktor menampilkan diri sesuai
dengan status yang disandang. Kalangan anggota Pansus dituntut untuk
mengemukakan berbagai pertanyaan yang kritis dan tajam. Para demonstran juga
didorong menampilkan aksi-aksi teatrikal semenarik mungkin untuk menarik
perhatian. Adapun kalangan saksi, terlebih lagi yang telah dicurigai mencuri
uang negara, sekadar diposisikan sebagai sekelompok orang yang menjadi
sasaran kata-kata garang.

Namun, setiap pentas drama, terlebih lagi drama politik, tidak lebih memuat
kepura-puraan. Sebab, kalangan aktor-merujuk pemikiran Erving Goffman
(1922-1982)-harus melakukan manajemen kesan (impression management). Mereka
yang memihak ataupun menentang saksi-saksi tertentu berupaya menampilkan
diri sebagai pembela dan penghujat. Kata-kata sengaja diatur, ekspresi wajah
dikendalikan, gestur tubuh dikontrol, dan intonasi berbicara terus
diubah-ubah supaya menyajikan kesan yang baik dan memberikan kepuasan bagi
khalayak yang menyaksikan.

Tanpa bisa dihindarkan, maka kejujuran pun lenyap. Inilah risiko dramaturgi
kata-kata yang mendorong para aktor melakukan estetisisasi ucapan, yang
melibatkan dua teknik yang saling berlawanan. Pertama, eufemisme yang
bermaksud mengemas kata-kata penuh kesantunan untuk mendapat efek simpati
dan memberi kehormatan bagi saksi-saksi yang didukung. Kedua, diseufemisme
yang diniatkan untuk membuat kata-kata yang serba menggertak dan penuh
cemoohan untuk mengundang dampak kebencian dan melenyapkan kehormatan untuk
saksi-saksi yang sengaja ditentang.

Eufemisme dan diseufemisme adalah sebentuk topeng kata-kata. Eufemisme lebih
menekankan pada kesantunan palsu untuk memberikan sanjungan yang tidak
perlu. Diseufemisme lebih memberikan penekanan pada kevulgaran berbahasa
untuk merontokkan martabat seseorang. Eufemisme dan diseufemisme
memperlihatkan pemakaian kata-kata yang sama-sama pantas dipertanyakan
kejujurannya.

Kompetensi berbahasa

Demokrasi yang menghormati kata adalah perpolitikan yang mengharuskan para
aktor memiliki kompetensi berbahasa. Syarat ini hanya dapat terpenuhi jika
kata-kata dimengerti dengan baik, bukan saja pada makna yang terdapat di
dalamnya, tetapi juga pada aturan tuturan yang harus disepakati bersama.

Di sini etika komunikasi menjadi bisa direalisasikan karena untuk menggapai
tujuan yang baik harus menggunakan cara yang terpuji pula. Etika komunikasi
melampaui etiket berbicara karena problem yang diperhatikan tak hanya
bermuara pada tata krama, melainkan pada standar moralitas yang dapat
diterima.

Untuk memenuhi kompetensi berbahasa itu, merujuk ide Jurgen Habermas, ada
tiga hal yang harus diperhatikan aktor-aktor demokrasi. Pertama, tindak
wicara konstatif yang memfokuskan pada syarat kebenaran. Pada lingkup ini,
pengalaman aktual menentukan kepastian pernyataan, misalnya "bail out untuk
Bank Century dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian" atau "bail out bagi
Bank Century tidak perlu dijalankan karena bank sekecil itu tidak berdampak
sistemik".

Kedua, tindak wicara regulatif yang kepentingan utamanya terkait dengan
kepatutan norma-norma yang diberlakukan pada konteks tertentu. Pada domain
ini, aturan-aturan yang diterima secara sosial mengikat seluruh partisipan,
misalnya gaya bertanya model interogator ataupun cara bertanya ala penjilat
tidak pantas diterapkan bagi saksi-saksi yang dihadirkan dengan tujuan untuk
meremehkan atau menyanjung. 

Ketiga, pengakuan yang mengemukakan klaim kejujuran yang berarti ada
keharusan semua partisipan untuk menetapkan maksud sebenarnya dari
ucapannya.

Tanpa kompetensi berbahasa, yang berarti pula menghormati kata-kata, maka
demokrasi tidak lebih dari sekadar menjadi arena penyanjungan dan caci-maki
yang memalukan.

 



 
<http://1422708.sigclick.mailinfo.com/sigclick/03060203/02020D4E/0103004D/07
22201525.jpg> 

<<attachment: winmail.dat>>

Kirim email ke