Kompas, Jumat 22 Januari 2010

Mencegah Kritis menjadi Krisis

Oleh : CHRIS PANGGABEAN

Senator, you asked me my opinion as an economist. Unfortunately, this is a
mat-ter for psychology." Demikian ja-waban Ben Bernanke, Pemimpin Federal
Reserve, dalam dengar pendapat dengan Kongres Ame-rika Serikat, September
2008.

Saat itu, Ketua Komite Ekonomi Ga-bungan bertanya kepadanya mengapa ku-curan
dana 150 miliar dollar Amerika Serikat tidak cukup untuk meyakinkan pasar
bahwa Kongres dan pemerintah benar-benar series mengatasi krisis.

Melalui besarnya dana talangan yang dijanjikan, Pemerintah AS ingin memberi
sinyal kepada pasar bahwa mereka me-megang kendali atas situasi dan
diharap-kan kepercayaan pulih dan pasar kembali tenang. Pasar yang dimaksud
bukanlah tanpa wujud, ia adalah benak jutaan orang yang merasa sebagian atau
seluruh hidup-nya akan terkena dampak krisis ekonomi.

Ketegangan psikologis

Saya mencoba memahami dampak sis-temik yang dimaksudkan dalam perkara Bank
Century dari perspektif psikologi social. Dampak sistemik yang dimaksud
adalah jika penutupan Bank Century seba-gai bank gagal, memicu terjadinya
ke-panikan pasar.

Bentuk kepanikan pasar adalah terja-dinya penarikan simpanan, membeli mata
uang acing, memindahkan uang ke luar negeri, melepas saham, menghemat
se-jumlah biaya, memecat pegawai, atau me-nunda sejumlah kewajiban yang
terjadi secara bersamaan dan masif.

Secara sistemik bank demi bank akan rontok, diikuti oleh sektor industri,
lalu merambat ke sektor lain. Konsumen akan sangat selektif membelanjakan
uangnya., Akibatnya, banyak barang produksi yang tidak terserap. Jika pasar
panik, segala sesuatu menjadi sukar diprediksi, terma-suk besarnya biaya
yang harus ditang-gung.

Sebelum terjadi panik, ada prakondisi psikologis berupa kecemasan. Emosi
ce-mas merupakan hasil penilaian kognisi akan situasi lingkungan. Apa yang
kita dengar dan lihat diproses dalam pikiran dengan melibatkan segenap
pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan dalam ingatan. Eksperimen Travesky
dan Kah-neman membuktikan bahwa rasio indi-vidu cenderung menghindari
situasi yang merugikan dan memilih situasi yang menguntungkan; sekalipun
peluang ter-jadi atau nilai yang diperoleh dari masing--masing situasi sama
besarnya.

Prospek teori itu sejalan dengan pemikiran John Locke bahwa manusia pada
dasarnya menjauhi hal yang menyakitkan dan mendekati hal yang menyenangkan.
Bagi homo economicus, bayangan tabungan yang hangus, kekayaan berkurang,
bang-krut, kehilangan pekerjaan atau jatuh mis-kin dapat mengaktifkan
kecemasan.

Agar terhindar dari mimpi buruk itu, seseorang dapat memindahkan kekayaan
atau mengonversinya ke dalam bentuk lain. Ketegangan psikologis pun bertahan
atau meningkat sejalan dengan perkem-bangan situasi. Setiap orang menjadi
sen-sitif akan informasi karena tindakan an-tisipatif harus dilakukan tepat
pada wak-tunya, jangan sampai terlambat.

Lalu, apakah ketegangan psikologis sebagai sufficient condition untuk
terjadinya kepanikan pasar dirasakan oleh banyak orang? Ataukah ia
halusinasi yang hanya muncul di benak Sri Mulyani Indrawati dan Boediono?
Bayangan akan krisis eko-nomi dan resesi hadir di pikiran jika ingatan
mengenainya teraktivasi. Infor-masi dari media massa merupakan sti-mulus
utama yang mengaktivasi skema kognitif mengenai krisis ekonomi dan se-gala
akibatnya.

Berita mengenai krisis ekonomi di Amerika dan Eropa sudah mengisi ruang
publik sejak kuartal terakhir tahun 2007. Bergerak dari berita di halaman
dalam menjadi berita utama dan editorial di berbagai media cetak utama.
Sejak Januari 2008, semua indikator yang menunjukkan tren kondisi ekonomi
Indonesia membu-ruk dan merosot tajam pada Oktober-No-vember. Sebut saja
indeks harga saham gabungan, nilai tukar rupiah, cadangan devisa, surat
utang negara, status sebagai negara berisiko tinggi. Bahkan, pinjaman
antarbank sempat terhenti sama sekali.

Indeks Stabilitas Financial BI pada No-vember menunjukkan bahwa sistem
per-bankan dan keuangan domestik masuk ambang kritis. Merujuk pada berita
media massa kala itu, banyak tokoh dan elite politik yang menunjukkan
kekhawatir-annya. Mereka mengimbau pemerintah agar mengambil langkah yang
tepat agar RI tidak jatuh ke dalam krisis. Hal ini wajar karena semakin
kompleks pengetahuan seseorang mengenai ekonomi, semakin nyata gambaran
ancaman krisis baginya.

Mencegah krisis

Jika Pemerintah AS berupaya menjaga kepercayaan pasar agar negaranya tidak
masuk ke lubang krisis yang lebih dalam lagi, maka bagi Pemerintah RI
tujuannya agar ekonomi negara RI yang sedang kritis tidak jatuh ke dalam
krisis. Dalam suasana tegang dan situasi genting, segala tindak tanduk
pemerintah menjadi krusial bagi pasar.

Jangan sampai ada bahasa tubuh yang bisa diartikan negatif, menutup bank
misalnya. la dapat menggenapi self ful-filling prophecy di benak banyak
orang yang yakin bahwa ekonomi Indonesia su-dah krisis. Dengan
mempertimbangkan konteks psikologis pasar saat itu, maka kesimpulan bahwa
tindakan menutup bank apa pun akan "berdampak sistemik" sesungguhnya
memiliki justifikasi.

Seperti di AS, ada keserakahan dan kecerobohan di balik gagalnya lembaga
keuangan, Berita ada keserakahan lain yang ingin mereguk aliran dana
talangan. Perlu diingat bahwa bergulirnya kasus Bank Century dan
terbentuknya Panitia Khusus Bank Century berawal dari dugaan adanya dana
talangan yang mengalir menjadi dana politik. Membuktikan dugaan tersebut
si-fatnya akan lebih terukur karena terde-finisi dalam hukum pidana, tidak
ada wilayah abu-abu, dan minim perdebatan.

Sementara menggugat justifikasi ke-simpulan "berdampak sistemik", berarti
mempertanyakan hulu kebijakan. Preten-sinya sangat politic, karena hendak
mem-buktikan bahwa si pembuat kebijakan ber-salah. Pilihan kebijakan adalah
persoalan normatif, tingkat legitimasinya diukur berdasarkan nilai
utilitasnya. Adakah kon-disi ekonomi kita bergeser dari situasi kritis
menjadi krisis?

CHRIS PANGGABEAN 

Asisten peneliti di Universitas Indone-sia.

 Aktif di Lingkar Muda Indonesia

 

 

Reply via email to