Goldman naikkan proyeksi harga batu bara JAKARTA: Goldman Sachs JBWere Pty, Australia, perusahaan afiliasi sekuritas terbesar dunia, menaikkan proyeksi harga kontrak batu bara yang digunakan industri pengolahan logam sekitar 17%, di tengah melonjaknya harga bahan baku industri baja dari India. Kontrak tahunan komoditas itu diprediksi dapat menyentuh rekor US$140 ton dalam periode 12 bulan yang dimulai 1 April dari level US$98 pada tahun ini. Sebelumnya perusahaan ini sempat memprediksi harga komoditas itu akan mencapai US$120 per ton. BHP Billiton Ltd, perusahaan tambang terbesar dan pesaingnya berencana mengadakan pembicaraan dengan industri baja Jepang dan China mengenai kesepakatan harga kontrak tahunan batu bara itu pada bulan ini. "Kami percaya pasokan batu bara akan sangat memengaruhi harga kontrak batu bara," kata analis Goldman Malcolm Southwood dan Paul Gray dalam laporan tertulisnya. Para eksportir Australia telah mengikat kontrak penjualan batu bara di pasar spot dengan pembeli dengan harga US$160 per ton. Chief Executive Officer BHP Billiton Marius Kloppers pada pekan lalu mengatakan tidak melihat adanya potensi gangguan pasokan komoditas itu pada industri bijih besi dalam jangka pendek, seperti dikutip Bloomberg. Perusahaan yang berbasis di Melbourne ini juga menaikkan penjualan komoditas itu ke India sebesar 56% dalam periode enam bulan yang berakhir Juni bila dibandingkan dengan periode akhir tahun lalu. Sementara itu, harga batu bara untuk industri pembangkit diprediksi naik 35% menjadi US$75 per ton pada 2008, dari level saat ini US$56 per ton. Perusahaan sekuritas ini sempat memperkirakan harga komoditas itu akan mencapai US$68 per ton. Permintaan Eropa Dari sisi permintaan, kawasan Eropa sebelumnya diprediksi membeli tambahan batu bara hingga 20 juta ton dalam beberapa tahun ke depan. Menurut Geoff Crocker, Chairperson OAO Siberian Coal and Energy Co, Moskwa, peningkatan permintaan itu dipengaruhi kebijakan pemerintah yang akan menutup operasional pembangkit energi tenaga nuklir pada 2021 dan menutup areal pertambangan batu bara pada 2018 di kawasan tersebut. Menyinggung permintaan batu bara di Asia, Crocker memprediksi bisa tumbuh mencapai 100 juta ton hingga 150 juta ton sampai 2020. Disamping itu, permintaan batu bara itu juga dipengaruhi rencana Indonesia yang juga membangun pembangkit energi listrik dengan daya 14,6 gigawatt. Menurut Head of Asian Utilities Research UBS Stephen Oldfiled, kondisi ini diprediksi kian memperketat permintaan batu bara di Asia, menyusul rencana China yang juga membangun pembangkit energi listrik baru. "Akan terjadi peningkatan signifikan batu bara dari sejumlah pembangkit enegi listrik dunia. Kendati biaya operasional pembangkit listrik lebih murah bila menggunakan energi nuklir dan energi alternatif lainnya, China diprediksi tetap menggunakan batu bara untuk 73% pembangkit baru yang dibangun sejak 2007 hingga 2020," katanya kepada Bisnis belum lama ini. Karena kondisi itu, menurut perkiraan Oldfield, pasar batu bara untuk energi pembangkit di Asia Pasifik termasuk Australia dan Selandia Baru akan berubah dari surplus 25 juta ton pada 2006 menjadi kekurangan pasok hingga 103 juta ton pada 2020. Oleh Adhitya Noviardi Bisnis Indonesia
James Liem <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Heard that Citigroup just downgraded BUMI to a SELL with a target price of Rp 3625/sh. Currently BUMI is trading at 21x 08E PER while at its target price of 3625, BUMI will be trading at 17.4x 08E PER, at par with 17.8x 08 PER for JCI. You may want to advise clients to use the rebound to sell into strength on the counter and possibly switch the proceed to buy TLKM, PGAS, BMRI, TINS, UNTR among others. A sell recommendation on BUMI by Citigroup (one of a few big brokers calling a BUY, from December 2006) MAY also create selling pressure on other coal miner, PTBA. Just be careful. __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com