Kalau harga minyak naik ke 150 dolar jangan hanya lihat sisi negatifnya, kan 
asik juga bisa buka kebun singkong , terus dari singkong ubah ke bioetanol . 
titik impasnya sekitar 70 dolar kalau di jual 150 dolar bisa untung 100% lebih 
. Bisnis bioetanol bisa menyerap banyak tenaga kerja. Kalau harga minyak stabil 
di 150 dolar untuk jangka panjang bisa makmur negara kita. Negara kita kan 
lahannya luas. 

Bisnis bioetanol dengan biodisel beda, kalau biodisel bahan baku nyang paling 
bagus dari kelapa sawit tapi kalau minyak naik harga kelapa sawit juga naik 
jadi percuma, nah bioetanol bahan bakunya bisa dari jangung, tebu, lumut dll 
umumnya pake singkong, jadi kalau harga singkong naik karena banyak permintaan 
,ga perlu pusing2 tanam aja sendiri. nanam singkong beda dengan nanam kelapa 
sawit. nanam singgkong ga perlu keahlian khusus ,di tempat gersang pun singkong 
bisa tumbuh ,hehehe.

Dodik <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                             Terbelenggu Mitos 
Bahan Bakar Minyak
 Jumat, 16 Mei 2008 | 00:28 WIB 
 Oleh Faisal Basri
 
 Akhir pekan lalu, harga minyak mentah di pasar
 berjangka New York untuk penyerahan Juni sudah
 mencapai 126 dollar AS. Itu adalah harga nominal.
 Hasil kajian yang dimuat majalah Economist, 17 April
 2008, memaparkan bahwa dengan menggunakan ukuran lain,
 tampaknya harga minyak saat ini belum tergolong mahal.
 
 Dengan menggunakan acuan perkembangan pendapatan
 konsumen tahunan negara-negara kaya yang tergabung di
 dalam G-7 sejak 1981, harga minyak seharusnya naik
 menjadi 134 dollar AS. Apabila dipadankan dengan
 perkembangan pendapatan siap belanja (disposable
 income) penduduk AS, harga minyak bisa bertengger
 setinggi 145 dollar AS. Dan seandainya diselaraskan
 dengan pangsa belanja minyak terhadap output global,
 harga minyak berpotensi mencapai 150 dollar AS. Jadi,
 harga minyak dewasa ini belum tergolong tinggi. Harga
 pada masa lalu itu, sebetulnya, yang relatif terlalu
 murah.
 
 Pada awal Mei, Goldman Sachs mengeluarkan prediksi
 terbaru bahwa harga minyak dapat mencapai 200 dollar
 AS sebelum akhir tahun ini. Sebetulnya, Goldman Sachs
 bukan yang pertama keluar dengan angka itu. Jauh hari
 sebelumnya, Stephen Leeb dan Glen Strathy lebih dulu
 mengingatkan kemungkinan ini di dalam bukunya yang
 diterbitkan tahun 2006: The Coming Economic Collapse:
 How You Can Thrive when Oil Costs $$200 a Barrel.
 
 Asumsi harga minyak yang tercantum di dalam Anggaran
 Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan yang
 baru saja ditetapkan April lalu adalah 95 dollar AS.
 Dengan harga sekarang, acuan tersebut sudah meleset
 lebih dari 30 dollar AS. Tanpa kenaikan harga BBM,
 subsidi energi melonjak dari Rp 187 triliun menjadi
 hampir Rp 250 triliun. Kalau harga merangkak naik
 hingga 150 dollar AS, subsidi bisa menggelembung ke
 sekitar Rp 300 triliun.
 
 Sampai kapan harga BBM bersubsidi dibiarkan ”anteng”
 pada tingkat sekarang ini? Tentu ada batasnya.
 Sejatinya, persoalan utama bukanlah subsidi yang
 menggelembung. Karena, ada 1.001 cara untuk menekan
 subsidi: penjadwalan hingga kemplang utang luar negeri
 maupun dalam negeri, penghematan departemen dan
 lembaga negara, penerapan pajak progresif atas
 komoditas yang sedang booming, jual BUMN, pemotongan
 gaji, peningkatan produksi minyak, dan lain-lain.
 
 Problem disparitas harga
 
 Katakanlah langkah-langkah spektakuler tersebut
 berhasil secara maksimal. Apakah lantas inti masalah
 terpecahkan? Tidak sama sekali. Karena, persoalan akan
 azali sepanjang terjadi disparitas harga, yakni antara
 harga yang ditetapkan pemerintah dan harga
 keekonomian.
 
 Tak seorang pun bisa melawan hukum pasar. Piuh
 (distortions) akan kian merajalela kalau harga yang
 ditetapkan pemerintah semakin jauh (lebih rendah) dari
 harga keekonomian. Pertama, peningkatan konsumsi akan
 tak terkendali karena harga relatif BBM di mata
 konsumen sangat rendah. Peningkatan konsumsi ini sudah
 terjadi. Konsumen Indonesia tak peduli sekalipun harga
 minyak dunia meroket karena harga yang mereka bayar di
 Indonesia bergeming. Maka, jadilah Indonesia sebagai
 negara yang tergolong paling boros di dunia dalam hal
 penggunaan energi. Begitukah cara kita mengelola
 sumber daya alam yang langka dan tak terbarukan?
 
 Cadangan minyak akan makin cepat susut sehingga
 generasi mendatang tak bisa lagi mencicipi rezeki emas
 hitam. Selain itu, kita pun secara sadar menambah
 intensitas produksi racun ke udara sehingga
 memperburuk pemanasan global dan menurunkan kualitas
 hidup.
 
 Bagaimana dengan mitos bahwa kita merupakan negara
 produsen dan pengekspor minyak? Ternyata, dalam satu
 dasawarsa terakhir produksi minyak kita melorot terus,
 dari sekitar 1,5 juta barrel per hari pada tahun 1997
 menjadi hanya 910.000 barrel per hari pada tahun 2007.
 Karena tingkat konsumsi selalu naik, kita mengalami
 defisit yang bertambah besar.
 
 Keadaan semakin memprihatinkan karena kapasitas
 pengilangan minyak tak kunjung bertambah sehingga
 defisit perdagangan BBM membubung. Pada tahun 2002,
 defisit perdagangan BBM baru 2 miliar dollar AS, lalu
 naik lebih dua kali lipat menjadi 4,2 miliar dollar
 AS, dan melonjak lebih tajam lagi menjadi 9,8 miliar
 dollar AS pada tahun 2007.
 
 Sekadar gambaran, ekspor dan impor BBM tahun 2007
 masing-masing 2,9 miliar dollar AS dan 12,7 miliar
 dollar AS. Maka, sebetulnya BBM yang kita
 ”hambur-hamburkan” itu makin banyak yang kita beli
 dari luar negeri.
 
 Apakah pola konsumsi yang boros itu bisa
 ditoleransikan apabila kita dapat mukjizat mampu
 meningkatkan produksi, katakanlah, menjadi dua kali
 lipat, sehingga kembali menikmati surplus produksi dan
 menjadi mengekspor neto? Tentu saja, tidak. Karena,
 lebih baik sebagian besar peningkatan produksi kita
 jual pada harga internasional atau harga keekonomian,
 lantas dana yang kita peroleh puluhan triliun rupiah
 dialokasikan bagi pengentasan penduduk miskin dan
 belanja modal sehingga kita juga bisa mewariskannya
 kepada anak dan cucu.
 
 Pengalokasian dana untuk kegiatan-kegiatan produktif
 dan peningkatan akumulasi modal jauh lebih bermakna
 ketimbang untuk mempertahankan subsidi yang kian
 menggelembung. Apatah lagi mengingat bahwa sebagian
 besar subsidi dinikmati oleh kelompok berpendapatan
 menengah ke atas. Data versi pemerintah menunjukkan
 bahwa 20 persen penduduk terkaya menikmati 43 persen
 subsidi, sedangkan kelompok 20 persen penduduk
 termiskin hanya memperoleh 7 persen saja.
 
 Data dalam publikasi Bank Dunia terakhir lebih parah
 lagi: 10 persen terkaya menikmati sekitar 45 persen,
 sedangkan 10 persen termiskin hanya sekitar 1 persen
 saja.
 
 Bukankah menaikkan harga BBM hanya akan menambah
 derita penduduk yang sudah miskin? Betul, jika
 pemerintah tak berbuat apa-apa terhadap mereka. Dilema
 yang muskil ini tak cuma dialami Indonesia. Di
 Kamboja, yang rata-rata penduduknya jauh lebih miskin
 dari Indonesia, harga premium 2,5 kali lebih mahal
 dari Indonesia. Di Timor Leste, yang ketika masih
 bergabung dengan Indonesia adalah provinsi termiskin,
 harga premium 1,8 kali dari Indonesia. Di kedua negara
 ini, kenaikan harga minyak dunia tak memicu
 demonstrasi, apalagi chaos. Kenapa kita harus berbeda
 sendiri dan terbelenggu oleh BBM?
 
 Keluar dari pusaran masalah
 
 Kita harus keluar dari pusaran masalah. Selama 30
 tahun kita jadikan persoalan harga BBM sebagai ”ritual
 tahunan”, yang ditandai dengan: sikap ragu pemerintah,
 demonstrasi, pembahasan alot di DPR, kelangkaan
 pasokan, oplosan, penyelundupan, dan ekses-ekses lain.
 
 Setiap penguasa berusaha menghindari risiko menaikkan
 harga BBM dan sedapat mungkin mengalihkan risiko itu
 kepada penguasa berikutnya, kecuali kalau tak ada
 pilihan lain atau merupakan pilihan terakhir.
 Penundaan demi penundaan menyebabkan ongkos bagi
 perekonomian bertambah mahal dan kontraproduktif.
 Karena, ketika sudah terjepit, penyesuaian harga harus
 dilakukan secara drastik sehingga perekonomian selalu
 ramai guncangan.
 
 Tak pernah ada rencana yang dilaksanakan dengan
 konsisten untuk mengakhiri rezim subsidi BBM sehingga
 persoalan ini menjadi langgeng dan membelenggu diri
 kita sendiri. Apakah kita akan biarkan terus persoalan
 BBM menjadi duri di dalam daging perekonomian?
 
 Kita sungguh sangat mendambakan kehadiran sosok
 negarawan yang mumpuni dalam memacu negeri ini untuk
 maju, bukan yang justru kerap menghambat kemajuan.
 Pemimpin yang mampu mengelola dan memobilisasikan
 seluruh sumber daya secara efektif bagi sebesar- besar
 kemakmuran rakyat. Pemerintahan yang senantiasa peka
 terhadap setiap ancaman yang menghadang rakyatnya
 serta menyiapkan dan mengoperasikan sekoci penyelamat
 apabila terjadi mara bahaya.
 
 Inilah inti persoalan yang tak kunjung disentuh
 pemerintah. Sangat kuat kesan, daya dengus pemerintah
 tumpul dalam mengantisipasi persoalan. Segala upaya
 untuk mengamankan kebijakan menaikkan harga BBM
 terkesan serba dadakan. Dulu BLT, sekarang BLT.
 Sementara, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
 sudah diundangkan tak kunjung dihidangkan untuk
 disantap oleh warga miskin yang terempas oleh
 mekanisme pasar bebas. Mengapa harus menunggu sampai
 batas akhir pemberlakuan efektif SJSN? Mengapa tak ada
 upaya mempercepat kehadirannya?
 
 Kalau pengelolaan negara dengan cara seperti itu terus
 berlanjut, sebaik apa pun niatan dan tindakan
 pemerintah akan dipandang sebelah mata oleh rakyatnya.
 Kalau sudah begitu, sumber masalah terletak pada
 pemerintah sendiri. Jangan berharap pemerintah mampu
 menolong rakyat jikalau menolong diri sendiri saja tak
 mampu.
 
 Faisal Basri Pengamat Ekonomi
 
 
     
                                       

       

Kirim email ke