Pemilik lisensi alat berat merek Hitachi, PT Hexindo Adiperkasa Tbk (HEXA) sedang negosiasikan kontrak penjualan alat berat tambahan senilai US$ 130 juta dengan PT Kaltim Prima Coal (KPC), anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI). "Penandatangan kontrak sebelumnya agak mundur sebab kami sedang menegosiasikan kontrak tambahan dengan KPC senilai US$ 130 juta," ungkap Corporate Secretary HEXA, Hery Akhyar saat dihubungi detikFinance, Kamis (21/8/2008). Sebelumnya, HEXA dan KPC sudah merampungkan negosiasi penjualan 160 unit alat berat Hitachi senilai US$ 520 juta. Kontrak ini untuk jangka waktu 2009 hingga 2011. Penandatanganan rencananya dilaksanakan akhir Agustus ini. Namun penandatanganan sedikit tertunda karena HEXA dan KPC sedang menegosiasikan penambahan kontrak tambahan senilai US$ 130 juta selama 5 tahun terhitung 2009-2014. "Jumlah alat berat dalam opsi tambahan ini masih dibicarakan, tapi nilainya sekitar US$ 130 juta," ujar Hery. Meski demikian, HEXA mengharapkan penandatanganan dua kontrak senilai US$ 650 juta itu dapat dilakukan paling lambat September-Oktober 2008. Sebab, pengiriman 160 unit alat berat yang sudah final direncanakan mulai dilakukan Januari 2009 mendatang. "Kalau opsi tambahan tidak diambil oleh KPC, kontrak yang US$ 520 juta tetap dilaksanakan," jelas Hery. Sebelumnya beredar kabar bahwa penundaan penandatanganan kontrak antara HEXA dan KPC terkait pencekalan Presiden Direktur KPC, Nalinkant A Rathod, yang kebetulan saat ini sedang berada di Singapura. "Saya sedang di Singapura. Negosiasi kontrak dengan HEXA masih jalan terus," ujar Nalinkant ketika dihubungi via telepon. Kabarnya, ketika pencekalan ditetapkan, secara kebetulan Nalinkant yang sedang berada di luar negeri memilih untuk tidak kembali ke Indonesia. Sebab pencekalan tersebut melarang Nalinkant dan beberapa petinggi perusahaan batubara lainnya pergi keluar negeri. Oleh karena itu, hingga saat ini Nalinkant tetap berada di luar negeri. Namun sebagaimana dikatakan Hery, proses negosiasi dengan KPC tidak terhambat karena masalah tersebut, meski pun ia mengakui bahwa penandatanganan kontrak harus dilakukan oleh Nalinkant sebagai pucuk pimpinan KPC. "Kalau memang tidak bisa kan bisa diwakili oleh yang lain. Namun sebaiknya tetap dengan pak Nalinkant, karena kontrak ini kan nilainya cukup besar," jelas Hery.
Sumber: detikcom