Berikut adalah tanggapan dari teman saya (seorang retired banker) bagaimana
Bank2 di Indonesia mungkin tidak ikut terseret krisis SPM dari Amerika,

mungkin bisa memberikan pencerahan lebih lanjut

 

A3K 

 

 

  _____  

From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] 

On Behalf Of randolph
Sent: Tuesday, September 30, 2008 9:29 PM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: Re: [manise_clan] Krisis Subprime di Amerika Serikat

 

Mas Arie dan sodara sodara lain, 

cerita ini bagus untuk dibaca tapi merangkainya terlalu berbau pengetahuan
seorang wartawan yang menulis dengan cara mengumpulkan inti sari dari
beberapa litaratur saja.

Secara sederhana, sistem perusahaan keuangan yang dikenal sebagai Bank di
USA hanya ada 2 yaitu Commercial Bank (Bank Umum seperti Citibank, Bank
Mandiri dsb) dan yang satu lagi adalah Investment Bank (Meryll Lynch,
Lehaman Brothers dsb).

Krisis subprime di USA terjadi akibat dari kegiatan Investment Bank dan
bukan Commercial Bank. Bank dengan kategori Commercial Bank kena imbasnya
karena kebijakan sebagai bank umum di beberapa negara terlampau longgar. 

Bank Indonesia di negara kita sangat melarang Commercial Bank untuk beli
saham, beli komoditi tertentu (kelapa sawit dsb). Commercial Bank di luar
negeri khsusnya di USA dapat beli saham atau surat berharga (commercial
paper, certificate of deposit, notes dsb) atau beberapa produk keuangan
yang diciptakan oleh Investment Bank (derivative product seperti Currency
Swap, Option, Forward Rate Agreement, dsb). 

Produk Investment Bank itu sangat dikenal sebagai produk yang dijuluki
"Zero Sum Game" (you will loose or you will gain). Maksudnya adalah satu
pihak yang akan rugi dan ada satu pihak yang akan untung karena transaksi
itu. Transaksi Investment Bank itu tidak ada jaminan atau kolateral. 

Kalau kita pinjam kredit uang untuk usaha di Commercial Bank seperti
Mandiri, Citibank dsb pasti akan diminta jaminan, apakah bentuknya itu
Rumah,
Deposito, Tanah & Pabrik. Nah kalo kredit kita macet, jaminan nya diambil
kan?.

Investment Bank begitu transaksi nya rugi tidak ada jaminan yang bisa
diambil nah kerugiannya ditanggung oleh perusahaan itu sendiri, makanya
Meryll LYnch, Lehman Brother rugi besar karena modal perusahaan dipakai
untuk menanggung kerugian. Kalo modal abis yang celana kolor yang dikasih
deh..

Okay deh gitu ajah ... 



On Mon, 29 Sep 2008 23:00:31 +0700 (WIT),  <mailto:gangway%40idola.net.id>
[EMAIL PROTECTED] wrote:
> 
> Guys, this is just easy reading,
> mumpung banyak hari libur - bisa sedikit mencerahkan
> 
> A3K
> 
> 
> Krisis Subprime di Amerika Serikat
> Kalau Langit Masih Kurang Tinggi
> Oleh: Dahlan Iskan
> 
> Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya ''menceritakan''
> secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti
> juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka
tahu
> saya bukan dokter. Saya coba:
> 
> Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus
> berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah
> perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal
> caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.
> 
> Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu
> lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau
> tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik
> dan labanya harus terus meningkat.
> 
> Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang,
> sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.
> 
> Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para
> pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi
> dibanding waktu mereka beli dulu: untung.
> 
> Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual
> saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian
> banyak.
> 
> Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan
> baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing
> putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO
> tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum
> perburuhan, dan seterusnya.
> 
> Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan
> dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung,
tapi
> kadang bisa rugi?
> 
> Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa
> disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa?
> Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia
> mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba
> dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO
> perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden
George
> Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?
> 
> Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti
> tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk
> terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus
> dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru.
> Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang
> lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan
> cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.
> 
> Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk
> bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat
> jalan.
> 
> Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para
> direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun.
> Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah
> happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena
> dapat dukungan atau sumber dana.
> 
> Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan
> kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli
> kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya.
> Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.
> 
> Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak
> bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau
> negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja
> ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia:
> USD 2 triliun!
> 
> Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan'' perusahaan seperti itu
> dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis.
AS
> dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.
> 
> Tapi, itu belum cukup.
> 
> Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap
tidak
> cukup lagi: harus computerized!
> 
> Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat
> harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah
> harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.
> 
> Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi
> perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus
meningkat,
> dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah
> yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar
> kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.
> 
> Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli
> rumah?
> 
> Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih
> besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana
> perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih
> besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual
> kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan
> harus semakin besar?
> 
> Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980,
> pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''.
> Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan
> menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan
> dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku
> dua tahun kemudian.
> 
> Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan,
> asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang
> dimanfaatkan perbankan secara nyata.
> 
> Begini ceritanya:
> 
> Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam
> undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan
> memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti
KPR,
> meski tidak sama).
> 
> Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil
> mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan
> karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.
> 
> Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang
> terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di
> Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan
> syarat orang yang bisa mendapat mortgage.
> 
> Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk
> menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank
> bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para
> broker dan bisnis lain yang terkait.
> 
> Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan.
Maka,
> ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian.
Yakni,
> tahun 1986.
> 
> Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya:
> pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi
> pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau
> beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.
> 
> Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang
luar
> biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau
> Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua
> keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga
> terjamin.
> 
> Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis
> menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang
> disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung
> menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya
terus
> meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.
> 
> Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis.
> Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam
> mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda
> serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama
> cicilan Anda belum lunas.
> 
> Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet,
rumah
> itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu
bukan
> rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar
> itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah
> tersebut.
> 
> Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti
Lehman
> Brothers?
> 
> Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena
> fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku
> bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan
> meningkatkan laba.
> 
> Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas
> mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli
rumah.
> Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.
> 
> Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para
> pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage-kan lagi untuk
> membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa
> mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau
toh
> suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada
> kata takut dalam memberi kredit rumah.
> 
> Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam
> undang-undang perbankan yang keras.
> 
> Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.
> 
> Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis
> lain'' yang disebut investment banking.
> 
> Apakah investment banking itu bank?
> 
> Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas
> daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal:
> menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan
> uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin,
> membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang
> bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah
> memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis
> investment banking itu.
> 
> Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi
pinjaman
> tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan
menjualnya
> kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja:
> kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada
> orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ''personal
> banking''.
> 
> Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang
> menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana,
saya
> dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak
> sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.
> 
> Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya
> serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka
> lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak
> menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.
> 
> Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya
> orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang
> memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.
> 
> Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh
> besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang
> yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang
> bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.
> 
> Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat
> mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan
> terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan
> pengeluaran.
> 
> Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi,
> pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari
> mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita,
> bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak
> pernah dipikirkan jangka panjangnya.
> 
> Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang
dari
> 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita
> sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang
> jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan
> rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak
> yang gagal bayar.
> 
> Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan
> rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain
> itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang
> beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu
> domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh
> semua.
> 
> Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum
> ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun
dolar.
> Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700
miliar,
> memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan
> masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar
> lagi?
> 
> Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau
> menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak
> USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara
> Indonesia dijadikan satu.
> 
> Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan
> rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan
> orang Indonesia yang ''menabung''-kan uangnya di lembaga-lembaga
> investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.
> 
> Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya
tidak
> banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada
> Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.
> 
> Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi
> salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan
> Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun,
> yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara
> besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.(*)
> 
> --

 

Kirim email ke