01/11/2008 20:31
Beradu Kepentingan di BI Rate
 Asteria

(*Inilah.com/Bayu Suta*)

*INILAH.COM, Jakarta - Pasar harap-harap cemas menanti kebijakan Bank
Indonesia (BI) terhadap suku bunga acuannya. Berbagai kepentingan beradu.
Pelaku usaha ingin BI rate dipangkas, namun di sisi lain tekanan agar suku
bunga acuan naik juga cukup kuat. *

Seperti yang diungkapkan Frans Darwin Sinurat dari Bank Century dan Mastono
Ali dari Valbury Securities. Kedua analis ini memprediksikan bahwa BI akan
menaikkan tingkat bunga acuannya. Ekspektasi tingginya inflasi Oktober
dinilai akan menahan BI untuk memangkas suku bunganya.

Menurut Frans, fluktuasi rupiah yang terjadi selama bulan ini menjadi salah
satu instrumen penyumbang tekanan inflasi, selain kenaikan harga bahan
pokok. Dengan tingginya data inflasi Oktober, maka BI akan menemui kesulitan
menurunkan suku bunga acuan BI ratenya.

"Tingginya inflasi akan menahan BI menurunkan suku bunga BI rate," katanya,
kemarin. Lebih lanjut Frans menuturkan, untuk menyerap likuiditas, BI
biasanya menggunakan instrumen lelang.

Namun karena range BI rate jauh di bawah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan
bunga deposito perbankan, maka kebijakan yang digunakan adalah menaikkan BI
rate. "Kenaikan BI rate dapat menyerap likuiditas rupiah yang berlebih di
pasar sehingga dapat menahan penguatan dolar lebih lanjut," ulasnya.

Sementara Mastono mengatakan, kendati The Fed memangkas suku bunga acuannya,
resesi masih akan membayangi bursa Wall Street. Pasalnya, pelaku pasar masih
mencermati dampak penerapan kebijakan pemerintah terhadap sektor
finansialnya.

Mastono pun memprediksi volatilitas rupiah yang tinggi masih akan terjadi.
Apalagi ada ancaman dana-dana nasabah di perbankan (deposito) akan lari ke
perbankan luar negeri, seperti Singapura, karena adanya penjaminan penuh.
"Pengalihan ini juga didukung kondisi dolar Singapura yang lebih stabil,"
jelasnya.

Analis Integral Investama Dus Nandjang mengatakan, kondisi ekonomi dan
finansial saat ini sebenarnya membawa dilema tersendiri bagi BI untuk
memangkas suku bunganya. Pasalnya, dolar masih berfluktuasi terhadap *emerging
market*, sehingga ada risiko para *hedge fund* akan melikuidasi posisi di
Indonesia.

Ia pun menilai intervensi yang bisa dan tepat dilakukan BI dalam menstabikan
nilai tukar rupiah bukan dengan menurunkan tingkat bunganya, melainkan
langsung masuk ke pasar dan membeli rupiah meskipun biayanya jauh lebih
mahal. "BI tidak mungkin memotong langsung suku bunga sehingga sebaiknya
intervensi langsung," katanya.

Dus pun berharap, BI akan fokus pada pemulihan pasar kredit dan sektor rill
daripada memotong suku bunganya. Saat ini semua mata uang di *emerging
market* sedang digoyang, dan yang diuntungkan adalah mata uang dengan suku
bunga tinggi, seperti Indonesia. "Jadi, sebaiknya jangan terburu-buru
memangkas suku bunga BI," ujarnya.

Pendapat lebih moderat diungkapkan oleh Tony A Prasetiantono, Kepala Ekonom
BNI dan Umar Juoro dari Cides yang menyarankan agar BI tetap menahan BI Rate
di level 9,5%.

Umar mengatakan, inflasi akan mencapai 12 hingga 12,5% sampai akhir tahun
ini. Oleh karena itu, ia memperkirakan BI Rate hingga akhir tahun masih akan
berada di level 9,5%. "Nanti baru pada Mei tahun depan BI Rate bisa
diturunkan. Jangan diturunkan di tengah-tengah tekanan pasar finansial,"
katanya.

Hal senada diungkapkan Tony. Menurutnya, dengan prediksi inflasi hingga
akhir tahun sesuai target pemerintah, yakni 12%, BI sebaiknya tidak
menaikkan lagi suku bunganya.

"BI rate ke depan sebaiknya tidak usah dinaikkan. Lebih baik di hold di
9,5%. Kemudian tahun depan diturunkan secara bertahap hingga level 8%,"
ujarnya.

Lebih lanjut Tony menyarankan agar BI tidak terlalu muluk mengangkat nilai
tukar rupiah hingga ke level 9.000. Ini karena perbedaan tingkat inflasi
Indonesia dengan AS yang cukup besar membuat rupiah sudah semestinya
terdepresiasi.

"Inflasi Indonesia hingga akhir tahun diperkirakan 12%, sementara AS sekira
5,2%, artinya secara natural rupiah harus terdepresiasi," ucapnya.
Sebenarnya, menurut Tony, bisa saja dengan selisih inflasi sekira 7% dengan
AS, Indonesia tidak perlu mengalami pelemahan nilai tukarnya.

Asalkan, ada aliran modal asing (capital inflow) yang masuk ke Indonesia.
Namun, pada kenyataannya, tidak ada aliran modal yang masuk. "Saya pikir,
biarkan saja rupiah terdepresiasi," katanya.

Tony menekankan agar BI memperhatikan penyaluran kredit tahun depan,
terutama guna menopang pertumbuhan ekonomi yang akan melambat seiring
pelemahan ekonomi global.

"Tingginya suku bunga kurang menguntungkan bagi sektor riil di Indonesia.
Mungkin untuk beberapa bulan ke depan 9,5% masih bisa, namun hal ini tidak
bisa berkelanjutan," imbuh Tony. [E1]

Reply via email to