Sabtu, 24 Juli 2004

Emas Fisika

Oleh: ADE ARMANDO

Pernah dengar nama Yudistira Virgus? Atau, Edbert Jarvis Sie? Atau, Ardiansyah? Andika 
Putra? Atau, Ali Sucipto? Kalau Anda menganggap nama-nama itu terasa asing di telinga, 
jangan berkecil hati. Maklumlah, mereka memang tidak cukup diekspos media massa. 
Jangankan tampang, nama mereka saja tidak hadir di halaman satu surat kabar, di 
halaman depan tabloid dan majalah, apalagi di prime time siaran televisi dan radio 
kita. Dibandingkan Veri, Kia, dan Mawar (tiga finalis AFI), misalnya, pemberitaan soal 
Yudistira dan kawan-kawan bisa dibilang 'cuma seujung kuku'.


Padahal, prestasi mereka sangat membanggakan. Mereka berlima semua siswa SMA membawa 
Indonesia menempati peringkat lima besar dalam Olimpiade Fisika Internasional di 
Pohang, Korea Selatan, yang baru berakhir Kamis lalu. Dalam ajang prestisius yang 
diikuti 73 negara ini, Indonesia hanya berada di bawah Belarusia, Cina, Iran, dan 
Kanada. Negara-negara besar seperti AS, Jepang, atau Jerman dilibas. Yudistira merebut 
medali emas untuk kategori total ujian teori dan praktik (eksperimen), sementara 
keempat teman lainnya merebut medali perak dan perunggu. Tapi, begitulah Indonesia.


Pencapaian dalam kemampuan menguasai atau mengembangkan ilmu pengetahuan tidak 
memperoleh perhatian besar. Remaja Indonesia, sejak kecil, diajarkan untuk justru 
mengagumi hal-hal tidak mendasar. Lihat saja bagaimana saat ini ribuan remaja 
Indonesia berduyun-duyun mengikuti berbagai ajang kompetisi adu tarik suara atau 
bahkan adu kecantikan. Impian 'menjadi bintang' terus dipompakan ke benak bangsa ini. 
Program seperti AFI dan semacamnya tidaklah buruk. Tapi, skalanya sudah menjadi begitu 
besar dan sama sekali tidak proporsional sehingga bisa menyesatkan rentang pilihan 
yang terbayang di benak bangsa ini.


Indonesia adalah negara miskin dan terbelakang. Salah satu syarat utama untuk 
mengatasi ketertinggalan ini adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena 
itu, negara ini membutuhkan penghibur (entertainer) dalam jumlah 'secukupnya' saja. 
Kita tentu perlu mensyukuri lahir dan tumbuhnya sebuah generasi muda yang cantik, 
gagah, pintar menari dan bernyanyi, atau berakting; namun kita memerlukan lebih banyak 
lagi orang pintar. Kepintaran rupanya memang tak dianggap punya daya tarik tinggi. 
Akibatnya, media massa tidak memberi tempat cukup bagi prestasi yang terkait dengan 
'keunggulan otak'. Tanpa disengaja, media tidak mengondisikan masyarakat untuk 
menghargai 'kepintaran'.


Bahkan, di siaran televisi, lazim kita melihat bagaimana kaum ilmuwan ditampilkan 
secara karikatural: sebagai profesor pikun beruban dan berkacamata tebal yang tidak 
punya kehidupan sosial. Pasokan sumber daya manusia unggul di negara ini dipinggirkan. 
Tentu saja bukan cuma media massa yang berkonstribusi. Kita misalnya juga tidak 
melihat upaya serius pemerintah untuk memelihara dan mengembangkan kualitas brainware 
ini. Yudistira dan kawan-kawan pun bisa saja akhirnya tidak akan dapat dimanfaatkan 
untuk kemajuan bangsa ini karena mereka keburu digaet pihak asing.


Yudistira misalnya dikabarkan sudah memperoleh beasiswa dari sebuah universitas 
teknologi di AS. Dikabarkan pula dua anggota tim Olimpiade Fisika sudah diterima 
Nanyang University of Singapura (NUS). Maklumlah, perguruan tinggi asing ini aktif 
mendekati para calon ilmuwan terbaik yang mereka dapati di ajang internasional, 
sembari mengiming-imingi beasiswa, jaminan hidup, dan bahkan jaminan kerja. Sementara 
Indonesia, hanya mengamati mereka dari jauh. Tidak pernah dengar nama Yudistira 
Virgus? Tidak apa-apa, kok. Ia cuma pemenang medali emas di Olimpiade Internasional!


http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=167610&kat_id=19







____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting 
___________________________________________________

Kirim email ke