Pedihnya Kursi Khalifah Bahloul
Oleh: Hamid Basyaib

Khalifah Harun sangat suka pada Bahloul, pemuda
pandir, sedikit sinting, tapi sering mengungkapkan
kearifan yang memaksa sang khalifah tercenung. Bahloul
juga menjalankan fungsi lazim bagi para raja di
mana-mana: menjadi penghibur. 


Ia menyimpan banyak cara untuk membuat Khalifah
gembira. Kadang ia sengaja tersandung kaki kursi dan
terjungkal, sehingga Khalifah terbahak menyaksikan
kemalangannya. Lain kali ia pura-pura kalah dalam main
catur atau main tebak-tebakan dengan Khalifah atau
para gundiknya; Bahloul akan bersungut-sungut -- seisi
istana pun tergelak menertawai kebodohan yang
dikutuknya. 


Suatu hari Bahloul menyelonong seperti biasa ke
balairung istana. Di ruang mewah yang sedang lengang
itu tampak kursi kosong Khalifah. 


"Di mana gerangan Baginda Raja?" pikirnya. 


Iseng, ia duduk di tahta sakral itu. Tiba-tiba dua
pengawal memergoki, yang segera menyeret Bahloul turun
dari kursi emas itu. 


"Dasar anak dungu!" hardik mereka sambil menghajar
dengan pentungan. 


"Kamu memang kesayangan Khalifah, tapi tingkahmu ini
sudah keterlaluan!"


Bahloul melengking, tak sanggup menanggung hujan
pukulan di sekujur tubuhnya yang kecil. Lolongannya
sedemikian keras sampai membangunkan Khalifah yang
sedang istirahat di kamarnya.


"Apa-apaan ini? Ada apa ini?" tanya Khalifah Harun
dengan kaget.


Kedua pengawal berhenti memukul dan menceritakan
kejadiannya. 


"Betul begitu, Bahloul?" tanya Khalifah.


"Betul, Baginda, hoaaaaaa..." jawab Bahloul sambil
terus menjerit-jerit.


"Sudah, sudah. Tak apa. Berhentilah memekik-mekik!
Pusing kepalaku mendengarnya! Kenapa pula kau terus
menangis, padahal pengawal sudah tak lagi memukulimu?"


"Hamba justru menangisi nasib Baginda, hoaaaa..."


"Lho, mengapa pula kau menangisi nasibku? Apa yang
salah denganku?"


"Baginda, hamba duduk di kursi Baginda hanya tiga
menit, tapi siksaan yang hamba terima begini
pedihnya... hoaaaa. Baginda sudah duduk di tahta itu
selama tiga puluh tahun... hoaaa... Hamba tak sanggup
membayangkan betapa pedihnya pukulan yang akan Baginda
terima kelak... hoaaaa..."


Kini giliran Khalifah yang menangis terisak-isak.


"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Khalifah,
sambil terus tersedu.


Bahloul bangkit dari lantai, dan berlari-lari kecil
mengitari balairung istana yang megah itu sambil
mengacung-acungkan tinjunya: 


"Keadilan, Baginda! Keadilan! Beri keadilan pada
seluruh rakyat! Keadilan! Keadilan! Keadilan!"


Khalifah lalu bersumpah untuk memenuhi permohonan
Bahloul itu. Ia mengaku selama ini memang telah
ratusan kali, telah ribuan kali, menjanjikan hal itu
kepada rakyat, dengan berbagai bahasa yang indah,
dengan ungkapan-ungkapan yang terkesan serius - tapi
tak pernah sungguh-sungguh berusaha mewujudkannya. 


"Sejak detik ini aku akan benar-benar memberi keadilan
kepada segenap rakyatku".


Bahloul pun pulang, sambil mengatakan bahwa ia tak
akan percaya begitu saja pada janji Khalifah. 


"Hamba tetap akan sering-sering mengingatkan Baginda
tentang janji itu.."


Khalifah Harun ada di mana-mana, di setiap zaman.
Mereka memerlukan para bahloul, yang wajib untuk tak
henti mengingatkan betapa panasnya kursi yang mereka duduki.



____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting 
___________________________________________________

Kirim email ke