Batanyo ka Ephi,
Phi, apokah artikel2 bagus di surau ko, di postingkan juo sabalunnyo di
milis???
(milis surau khususnyo)

http://surau.org/modules.php?name=News&file=article&sid=412
Minang: Apakah Sekarang Awal Kepunahan Bahasa Minangkabau?
Dipublikasi pada Wednesday, 21 July 2004 oleh paktani

Ketika saya pergi lebaran ke rumah seorang kenalan di Padang. Saya bertemu
dengan keponakannya yang masih kecil duduk di sekolah taman kanak-kanak.
Pada saat itu terjadilah terjadilah dialog, bukan dengan bahasa Minangkabau,
namun dengan bahasa Indonesia. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan
penggunaan bahasa Indonesia tersebut karena bahasa Indonesia adalah bahasa
persatuan, bahasa yang digunakan untuk menjembatani perbedaan bahasa suatu
bangsa dengan bangsa lain di wilayah nusantara ini.



Masalah sebenarnya adalah kenapa bahasa itu digunakan untuk bicara antara
mamak dengan kamanakannya yang sama-sama orang Minangkabau? Kita disini
tidak akan mempertanyakan lagi penggunaan Bahasa Indonesia di dalam forum
pembicaraan resmi untuk pendidikan atau pemerintahan misalnya. Ini merupakan
suatu gejala yang memprihatinkan karena hampir setiap hari saya mendengar
pembicaraan informal sesama anak-anak tidak lagi memakai bahasa Minangkabau
di kota Padang ini. Saya tidak punya data kuantitatif yang menjelaskan
berapa persen anak-anak di Kota Padang menggunakan  bahasa Minangkabau dalam
percakapan sehari-hari sekarang ini. Padahal pada masa dahulunya bukan saja
orang Minang saja yang fasih melainkan para
pendatangpun (etnis China, Melayu, Jawa, Batak/Tapanuli, Aceh) sanggup
berbahasa Minangkabau dengan fasih. Faktor percaya diri masyarakat
Minangkabau dalam menggunakan bahasa mereka sendiri di masa lalu menjadikan
bahasa Minangkabau menjadi suatu identitas budaya di negeri sendiri.
Apakah sekarang percaya diri sebagai masyarakat yang punya identitas budaya
sendiri telah luntur atau kita tidak mengerti lagi dengan semboyan bhinneka
tunggal ika itu?.

Apakah sekarang sedang berlangsung gejala penghapusan bahasa Minangkabau
yang telah melahirkan banyak pemikir/pemimpin bangsa di kawasan Nusantara
ini semenjak beratus-ratus tahun yang lalu?. Tanpa kecerdasan
intelektual para pendahulu kita tentulah tidak bisa menempati posisi jabatan
penting di Kerajaan Goa (Sulawesi), Bima, Pulau Seludang (sekarang Luzon,
Filipina), Negeri Sembilan, Sulu dan Mindanao, sampai pada
tokoh-tokoh zaman kemerdekaan Indonesia. Bahasa Minangkabau yang penuh
nilai-nilai dalam bahasa kiasan atau simbolik dan merujuk kepada hukum alam
sudah pasti mempunyai peranan penting dalam membentuk kecerdasan pendahulu
kita.

Atau apakah orang tua sekarang takut dibilang kampungan atau ingin kelihatan
lebih terpelajar dan modernkah sehingga merasa tidak perlu mengajarkan
Bahasa Minangkabau lagi? Tidakkah kita perhatikan ratusan
ungkapan pepatah petitih menuntut orang memeras otaknya dan menggunakan
pisau analisa yang kuat agar bisa memahami dan menalar alam pikiran
Minangkabau yang unik ini?. Maka, apakah logis kalau kita mencap warisan
pusako kato Minangkabau yang dapat membentuk berpikiran tajam, analitis dan
mengandung seni berbahasa yang indah bisa disebut kampungan?

Atau kenapa orang tua zaman sekarang tidak rela membiarkan anak-anak mereka
menguasai lebih banyak bahasa semenjak dini? Padahal dalam syarak (Islam)
sudah jelas-jelas mengatakan bahwa kita harus banyak
mempelajari bahasa suatu kaum. Menguasai lebih banyak bahasa seperti: bahasa
Minangkabau, bahasa Indonesia, Arab, Inggris, Perancis, Mandarin, dsb lebih
diinginkan oleh ajaran agama kita daripada cuma tahu satu bahasa saja.

Bahasa merupakan media utama untuk menghantarkan kita menuju pengetahuan.
Penguasaan bahasa Minangkabau akan menjadi modal generasi-generasi penerus
untuk membuka peti badanciang Alam Minangkabau yang berisi filosofi yang
tinggi dan bermutu ini. Ada ribuan pantun, ibarat, mamang,
bidal dan sebagainya yang mengandung unsur-unsur spiritual, seni pergaulan
universal, pendidikan, kepemimpinan, sosial ekonomi, cara berpikir analitis,
etika dan pengetahuan alam. Pada Pidato Pakaian Panghulu misalnya terdapat
ungkapan yang indah dengan sarat nilai yang dapat menghantarkan anak-anak
kita kelak mengetahui bahwa orang yang pantas jadi pemimpin itu adalah orang
yang cerdas, tidak mau didikte kekuatan asing, taqwa, punya pendirian,
mensejahterakan rakyatnya, taat peraturan dan tidak berat sebelah. Kalau
kita lihat Bahasa Minangkabau kita akan banyak menemukan banyaknya bahasa
perumpamaan dan kias yang merujuk kepada alam.
Bahasa Minangkabau adalah bahasa simbolis yang dapat mengaktifkan otak kanan
dan kiri, bermain antara alam rasa dan pikiran. Perumpamanan bahasa simbolis
dan kias akan merangsang kecerdasan mereka yang masih
kecil-kecil atau yang sudah dewasa sekalipun. Ada unsur tasurek (tersurat),
tasirek (tersirat) dan tasuruak (tersembunyi atau hikmah) dalam pusako kato
Minangkabau.

Kata-kata kias memiliki makna berlapis yang telah diwarisi semenjak dahulu
kala merupakan sarana untuk mengasah intelektual orang Minangkabau semenjak
kanak-kanak di masa dahulunya. Kata-kata itu tidak saja indah diucapkan
tetapi mengandung pengertian yang dalam dan menukik yang tentu saja
diketahui dan difahami jika generasi sekarang masih  mempergunakan bahasa
Minangkabau. Kemampuan menyusun bahasa yang indah itu juga dilaporkan oleh
orang Mesir dari buku Khutub Khasanah yang ditulis pada sekitar awal abad ke
1 M, yang sekarang masih tersimpan di gedung Arca, Kairo menyebutkan adanya
sebuah negeri pada sebuah pulau di bawah angin dimana wilayahnya merupakan
perlintasan katulistiwa, terkenal dengan orang-orangnya ahli syair yang
tinggi mutunya (Emral Djamal, 2003).

Nenek moyang kita menyadari bahwa orang yang mempunyai pengetahuan akan
menjadi bangsa terhormat dan berpengaruh. Peran Nabi Muhammad SAW yang
mengangkat bangsa Arab menjadi bangsa beradab dan berpengaruh selama abad
pertengahan sebagai contohnya. Demikian juga bangsa Israel yang
hanya 6 juta orang tapi memiliki banyak pakar-pakar ilmu dari berbagai
bidang. Mereka sanggup mengatur sebuah negara adidaya Amerika dan Uni Eropa
sehingga negara besar itu membiarkan saja mereka sewenang-wenang bahkan rela
mati untuk bangsa Israel seperti apa yang diungkapkan didalam
pidato mantan PM Malaysia dr.Mahathir Mohammad.

Marilah kita amati beberapa ungkapan-ungkapan lama warisan nenek moyang kita
berikut ini tentang pentingnya ilmu pengetahuan. Ungkapan-ungkapan yang
indah pada Pidato Siriah Pinang ini mengandung nilai simbolik yang
tinggi bercerita tentang ilmu pengetahuan. Ilmu manakah yang dicari?
Pepatah lama mengungkapkan bahwa ilmu yang dicari itu adalah ilmu yang dapat
dipakai dan diterapkan dalam kehidupan nyata seperti ungkapan sabanyak itu
siriah di balai, sado iko nan ado di dalam carano, iyo ka jadi
kapalo baso (walaupun banyak ilmu pengetahuan--disimbolkan dengan sirih--
yang bertebaran di dunia, hanya pati-pati pengetahuan inilah yang akan
digunakan di dalam kehidupan sehari-hari). Ilmu yang dikuasai itu
hendaknya memiliki kemampuan untuk melintasi terpaan kekuasaan dan perubahan
zaman (satahun dipuga Bugih, samusin dilingkuang Cino, usah ka ratak,
rangehpun tidak) serta bisa dipertahankan kebenarannya (luruih
manahan tiliak, bababeh manahan cubo, bungka manahan asah). Para pendahulu
kita yakin dengan kebenaran filosofi yang dimilikinya karena dasar dari
filosofi tersebut merujuk kepada alam yang ditata dengan apik dan
seimbang oleh Sang Pencipta. Hasil penataan yang luar biasa ini disebut
sunatullah atau di dalam adat dinyatakan sebagai adat nan sabana adat, indak
lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan

Kesungguhan, kerja keras diiringi sikap yang saleh harus menjadi tabiat dari
si penuntut ilmu agar ia tidak membuang sumber dayanya (waktu, uang dan
usia) dengan sia-sia. Buah atau inti pengetahuan hanyalah untuk
orang yang sungguh dan ulet yang diibaratkan urang kiramaik atau diungkapkan
dengan kalimat: satahun tupai balari haram kok basobok jo buahnyo antah ko
urang kiramaik iduik-iduik.

Pati pengetahuan itu menjadi landasan untuk menciptakan inovasi-inovasi
baru, gagasan-gagasan baru seiring dengan perkembangan zaman yang senantiasa
berlandaskan dengan nilai-nilai luhur dan kemanusiaan seperti
yang diungkapkan dalam: samusin siriah di dalam pangguluangan, usah ka
layua, malah batambah iduik.

Orang yang memiliki ilmu pengetahuan akan menjadi terhormat di kalangan
masyarakat (makanan rajo jo panghulu). Akhirnya ilmu pengetahuan yang
dimiliki itu seharusnya membuat kita dekat dengan kehidupan bumi dan langit
atau aspek spriritual (saheto dari bumi, sajangka dari langik). Kontribusi
pengetahuan kepada masyarakat akan membuat kita dikenang sepanjang masa
(baun nan satahun palayaran).

Begitulah sekilas kutipan pidato sirih pinang yang menuntut orang
Minangkabau memiliki pengetahuan dilandasi dengan iman dan ketaqwaan
kepadaNya dan punya kepribadian tangguh dan ulet. Tak satupun dijumpai
dalam pepatah petitih itu yang mengajari anak cucu Minangkabau menjadi orang
yang biadab, anarkhis, inferior, licik, egois dan antisosial.
Nilai-nilai berharga itu tentu saja hanya akan dipahami jika sang anak
mengerti bahasa nenek moyangnya, yakni Bahasa Minangkabau.

Kita banyak mendengar dari saudara-saudara kita yang pulang dari luar negeri
tentang sikap percaya diri orang-orang Jepang, Perancis, Jerman, Swedia,
Perancis menggunakan bahasa mereka. Walaupun mereka bisa
berbahasa Inggris, mereka tidak akan berbicara dengan kita dalam bahasa
Inggris kalau tidak terpaksa. Sikap percaya diri ini merupakan wujud dari
kesadaran mereka untuk mendukung dan menghargai bahasa mereka. Kita memang
menyadari bahwa masa-masa yang sulit selama ratusan tahun dalam kungkungan
penjajahan, tidak saja menguras kekayaan alam, tetapi juga mempengaruhi alam
pikiran bangsa ini. Pembodohan yang berabad-abad selama terjajah menimbulkan
rasa rendah diri dan tidak percaya diri atas kekuatan
sendiri. Namun bukanlah pada tempatnya kita senantiasa terjebak dalam
suasana rendah diri setelah menikmati alam kemerdekaan ini.

Budaya daerah adalah aset nasional, menghapus budaya Minangkabau berarti
juga telah menyia-nyiakan aset nasional. Sungguh ironi sekali berbagai suku
bangsa asing maupun dalam negeri dengan latar pendidikan tinggi
jauh-jauh datang ke ranah Minang ini menghabiskan banyak waktu dan uang
untuk mendapatkan pengetahuan dari budaya Minangkabau yang unik ini,
sementara kita pemiliknya tidak lagi menghargai budaya sendiri. Menjaga
kelestarian dan mengembangkan budaya alam Minangkabau adalah tanggung jawab
kolektif oleh pewaris-pewaris budaya itu sendiri. Jika warisan ini tidak
dihargai tentu bukan hal yang mustahil kalau 20-30 tahun lagi bahasa
Minangkabau bisa menjadi bahasa langka didengar dalam percakapan sehari-hari
jika tidak diajarkan lagi pada generasi sekarang. Peran orang tua sangat
menentukan sekali karena di tangan-tangan merekalah terletak andil pertama
yang sangat menentukan riwayat bahasa Minangkabau di masa mendatang: apakah
ia akan berkembang atau punah sama sekali ditelan bumi. Akan lenyapkah
sebuah bahasa yang sarat dengan nilai-nilai serta punya kekuatan untuk
pengembangan nalar dan alam rasa di bumi tempat budaya itu tumbuh?

Upaya pelestarian kato pusako ini telah dilakukan oleh orang-orang yang
mencintai budaya Minangkabau ini. Sebut saja diantaranya: Angku Dt Sangguno
Dirajo, Dt Tuah, Prof. Nasroen, Idrus Hakimy Dt Rajo Panghulu
menyusun berbagai macam buku tentang Minangkabau, Kamardi Rais Dt P Simulie,
Usaha PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau) merancang ensiklopedi
Minangkabau, Bapak Abdul Kadir Usman dengan Minangkabaunya, serta Bapak
Emral Djamal Dt Rajo Mudo yang konsisten selama berpuluh-puluh
tahun menggali sejarah dan silek yang sarat dengan nilai-nilai tradisi tanpa
digaji oleh seorangpun dan masih ada lagi tokoh-tokoh yang tak tersebutkan
namanya. Adanya kurikulum BAM di sekolah-sekolah cukup
membantu siswa dalam belajar budaya Minangkabau. Pekerjaan yang luhur perlu
kita hargai dan dukung dalam upaya pelestarian dan pengembangan budaya agar
tidak punah dimakan jaman. Sekarang ini banyak vocabulary
Minangkabau yang hanya dikenali oleh orang-orang tua saja seperti limpato,
lintabuang, sitawa, sidingin, panguba, cikarau, cikumpai, tantadu, sipasin,
cindai dan banyak lagi. Usaha untuk membuat ensiklopedi dalam
bentuk audio-visual dalam bentuk VCD sekarang ini mungkin telah
dikategorikan sebagai hal yang mendesak untuk dilakukan.

Arus globalisasi sekarang ini bukanlah alasan buat kita mengubur budaya
sendiri yang merupakan ciri khas dan identitas kita sebagai sebuah bangsa
yang berdaulat dan merdeka. Mengidap sikap rendah diri (inferiority
complex) sama sekali tidak dapat dibenarkan, demikian juga dengan sifat
fanatik yang berlebih-lebihan, seperti diungkapkan dalam pepatah:
dilabihi ancak-ancak, dikurangi sio-sio. Sudah bisakah kita menghargai
kebudayaan sendiri tanpa meremehkan budaya sendiri atau mendewakan budaya
orang lain di abad Milenium ini?

******
H.A.Sikumbang
Mahasiswa Program S2 Farmasi UI



____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke