Pertunjukan "Api Dalam Sekam" "Tradisi yang Dipajang" Oleh Viveri Yudi http://padangekspres.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=154 Oleh redaksi Senin, 06-September-2004, 04:06:46 7 klik
Kurang lebih 1000 hari setelah kepergiannya, Gusmiati Suid, maestro tari Indonesia kelahiran Batusangkar, 16 Agustus 1942, memperoleh Anugerah Seni 2004 dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Anugerah bergengsi tersebut diterima oleh putra almarhumah, Boi G. Sakti, Direktur Artistik Gumarang Sakti Dance Company (GSDC), Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2004 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Atas dukungan Pemda Tanah Datar, tanggal 28 dan 29 Agustus lalu, GSDC 'pulang kampung' menampilkan Api Dalam Sekam, karya masterpiece almarhumah, di Gedung Nasional, Batusangkar. Karya ini dipertunjukan pertama kalinya tahun 1998, dalam acara pembukaan Art Summit II di Jakarta. Pertunjukan dimulai sejak penonton melewati pintu masuk. Seorang perempuan berpakaian adat dipajang di pintu masuk bagian luar, kemudian berpindah ke dalam dan selanjutnya di pajang dan disorot dengan lampu. Selanjutnya, perempuan tadi memasang kacamata hitam, seperti lakon Randai, berpose bak peragawati di meja beralas kain putih yang diletakan di hadapan penonton. Sunting dan hiasan baju beludru merahnya kerlap-kerlip diterpa cahaya. Gadis itu diam mematung, bak manekin di etalase toko pakaian. Prolog yang romantis, cerdas, nakal, namun membangkitkan kesadaran bahwa kita memang cenderung memperlakukan adat dan tradisi layaknya manekin tadi. Tiba-tiba terdengar bunyi dentuman dalam gelapnya pentas. "Dummm.Dummm. Dummm.!" Dentuman pertama, perempuan berpakaian adat turun dari meja pajangan. Pelan tapi pasti, berjalan menuju pentas, menaiki undakan dan duduk di balai-balai bambu di samping kiri pentas. Sesaat ia duduk di balai-balai bambu beratap rumbia di samping kiri depan pentas. Dinding anyaman bambu mendominasi keliling pentas. Di tengah paling belakang, pintu bambu tertutup rapat, seakan menyimpan beribu misteri. Sedangkan di kanan pintu, tergeletak Lesung dan Alu besar yang tersandar ke dinding. Di kiri, di bawah jendela terhampar balai-balai bambu. Secara keseluruhan, Boi Sakti, Direktur Artistik GSDC mampu menyulap gedung pertemuan tersebut, menjadi gedung pertunjukan yang memunculkan suasana pedesaan. Di beberapa tempat, sekam ditumpuk, bahkan 'wilayah' penonton pun tak luput dari jamahan Skenografer. Boi Sakti, yang juga seorang koreografer, memperkuat kesan agar suasana 'gersang dan kekeringan' di awal-awal Reformasi mencuat. Seorang perempuan menghunjamkan Alu. Bunyi dentuman mendominasi telinga, menjelajahi gedung pertunjukan Api Dalam Sekam malam itu. Penonton, di dalam dan di luar gedung tak bergeming, hening. Dentuman alu makin keras, lampu mulai menerangi pentas. Remang, terlihat perempuan tua sedang menghunjamkan alu besar ke dalam lesung berulang-ulang. "Dummm.! Dummm.! Dummm.! Dummm.! Lalu beberapa orang berlari, melompat bakan berguling ke tengah pentas. Dentuman terus terdengar. Seorang laki-laki berpakaian hitam bersorak, "Hooooiiiiii. hoooiiii.hoooiiiii..!", disusul sorak yang lain menyahuti, "Huuuuu... huuuu.!", dentuman alu perempuan tua terus menimpali, "Dummm .Dummm.Dummm.". "Huuuu.huuuu.!" Penonton semakin tegang.! Tiba-tiba enam orang penari bergerak cepat, tajam dan keras. Menghentak, melompat, terjatuh. "Braaak..!" semua penari jatuh terjengkang, lalu kelojotan. Musik makin menggemuruh, Alu terus menghunjam Lesung tak berisi. "Dummm.Dummm.Dummm.!" Perempuan berpakaian adat beranjak dari balai-balai bambu, berjalan diagonal ke pojok kanan belakang pentas, meninggalkan penari yang mulai mengganggu privacy-nya. Betapa tidak, selain di pentas, tiga pasang penari menjadikan balai-balai bambu sebagai ajang mereka mengekspresikan gerak. Berlari, bergelut, bahkan mengguncang-guncang tonggak bambu penyangga balai-balai. Perempuan berpakaian adat menghilang di balik pentas. Penari tak hirau, mereka bergerak semakin cepat, tajam dan keras. Lalu berguling, melompat dan., "Braaak..!" mereka jatuh serentak. Lampu redup, kemudian pentas gelap. Adegan berganti..! Sesaat penonton dibiarkan bernafas, bebas dari suasana teror dan ketegangan yang dibangun lewat gerak dan musik yang dikomandoi oleh Peter Slayan. Fantastis..! *Nurani Yang Tergadai "Gumarang Sakti Dance Company, Jakarta, 'pulang kampung' untuk menampilkan " Api Dalam Sekam", karya masterpiece Gusmiati Suid, di Gedung Nasional, Batusangkar, tanggal 28 dan 29 Agustus lalu." Api Dalam Sekam, dikemas dengan roh kesenian tradisi rakyat Minangkabau, Randai. Penjelajahan yang ia mulai dari tahun 1984, ketika menciptakan Teater Pola Randai Unsur seni gerak, akting dan musik serta dialog melebur, saling melengkapi, kemudian bersinergi mengalirkan ide dan gagasan sang Maestro ke tengah penonton. Pertunjukan malam itu mengingatkan saya kepada perjuangan Gusmiati Suid dalam menemukan substansi konsep tari yang dimilikinya. Setelah tari Rantak, yang ia ciptakan tahun 1978, ia terus mencari, menggali kedalaman filosofi Minangkabau. Lalu diaktualisasikan melalui karya-karyanya. Tahun 1985, selain menciptakan tari Kato, ia mengemas pertunjukan Teater Pola Randai kebutuhan Panggung Pertunjukan Rakyat Departemen Penerangan. Namun bukan berarti buk Yet tergadai dalam proyek Pemerintah seperti itu. Tidak..! Hal yang tak akan pernah ditolerirnya selama hidupnya! Demi idealisme dan totalitasnya di dunia tari, Gusmiati berhenti bekerja dan meninggalkan kampung halamannya untuk berjuang di Jakarta bersama tiga orang anaknya. Sosok yang keras, disiplin dan tak kenal menyerah. Tidaklah berlebihan jika seorang pakar tari dunia sekelas Alexander Bland berkomentar; "Untuk tari/Minang, Gusmiati telah berjuang mencucurkan keringat, menderita, bertengkar, dicerca dan mencerca, disudutkan, diimpikan dan memberikan pengorbanan yang getir. Dalam hidupnya, tari/Minang menempati prioritas lebih dari urusan apa saja dan dengan siapa saja; kecintaannya kepada tari/Minang takkan ada yang meragukan. Tari/Minang adalah jalan dan tujuan hidupnya." Kenangan saya kepada sang guru dibuyarkan oleh suara perempuan yang berdendang dari pintu bambu, di bagian tengah belakang pentas. "Bak cando api dalam sekam. Arang ka mancoreang di kaniang.," teriaknya dalam dendang. Lalu kedua perempuan tadi mendorong daun pintu hingga terbuka lebar. Ia berjalan sambil berdendang, seakan mengingatkan kepada semua orang agar menyadari akibat buruk yang ditimbulkan oleh anarkhisme, keserakahan dan budaya kekerasan yang akan mencoreng wajah bangsa ini. Pintu bambu kembali ditutup, dan pentas pun dikuasai oleh penari. Kemudian api menyembul dari tiga buah Lesung yang terbakar. Simbol yang multi tafsir. Bisa jadi simbol dari hancurnya tatanan sosial, atau simbol kemarahan rakyat karena sikap para pemimpin hanya mementingkan diri dan kelompok mereka saja. Jika ditarik ke alam fikiran Minangkabau, bisa jadi itulah tungku tigo sajarangan yang justru terbakar, sehingga tidak bisa lagi digunakan untuk menyangga wadah yang akan dijerangkan. Entahlah.Yang pasti, pertunjukan seni bukan untuk dimengerti, apalagi dibuatkan defenisi yang baku. Seni diharapkan mampu menggugah rasa, sebagai bahan renungan untuk membangkitkan kesadaran kemanusiaan. Menghidupkan nurani, sebelum ia menjadi fosil yang tak berarti. Pintu bambu terbuka lebar. Seorang lelaki berbaju hitam tidur di pangkuan perempuan berbaju putih, sunting menghias kepalanya. Sang lelaki bangkit, lalu membuka saluak, baju dan celananya. Ia menyisakan celana sempak penutup auratnya. Adegan itu berlangsung gamblang di atas pentas. Penonton menahan nafas. Beberapa saat kemudian, laki-laki yang separo telanjang kembali berpakaian, dibantu perempuan tua misterius yang memakai kerudung. Pintu bambu ditutup, lalu sang lelaki yang telah berganti pakaian berjalan ke depan dan berdiri dalam lingkaran cahaya di tengah pentas. Adegan yang mengejutkan. Selama belasan tahun saya belum pernah menyaksikan simbol yang vulgar dalam karya Gusmiati Suid. Tapi bila dirujuk kepada suasana yang terjadi di awal-awal reformasi, ketika karya ini diciptakan, maka adegan tersebut sangat relevan sebagai simbol yang menunjukan kebiadaban yang terjadi di depan mata. Kejadian yang seharusnya membuat kita muak dan menolak setiap bentuk kekerasan. Hati nurani, kalau ada, pastilah akan berteriak lantang, menolak segala bentuk kebiadaban ! Dalam suatu adegan di pojok kiri belakang pentas, misalnya, sekelompok orang memohon kepada orang tua yang berdiri dan berdendang di atas balai-balai bambu. Di tangannya tergenggam erat sebatang tongkat rotan yang ia permainkan sambil berdendang. "Bari kami hati nurani.bari kami hati nurani," mohon sekelompok orang yang mengerumuninya. Tangan-tangan menggapai, berusaha menjamah tongkat di tangannya. Orang tua semakin terdesak, lalu ia berkata, "Ha.hati nurani..? Iyo indak ado dek den doh..!". Dan.tongkat itupun melayang, dan jatuh di tengah pentas. Seketika kerumunan tadi telah memperebutkan tongkat. Saling dorong, sikut, pukul, tendang, injak, menjadi suguhan yang mengingatkan penonton kepada tabiat para politisi di negeri ini. Tidak jelas lagi perbedaan kawan atau lawan. Semuanya dirasuki nafsu angkara, berebut menguasai tongkat, simbol kekuasaan! "Onde-ondeee.Alah tagadai. Onde-ondeee.lah laruik sanjooo." Pas! Mereka yang berebut tidak lagi mengindahkan norma etika, norma budaya, apalagi norma agama. Nurani mereka tergadai! Negeri ini di ambang senja (sanjo) menuju gelap yang tak berujung. Di akhir pertunjukan, tongkat yang diperebutkan tadi terbakar. Pilihan yang pahit memang. Tapi, pepatah Minang mengatakan, "Kusuik bulu, paruah manyalasaikan. Kusuik banang baliak ka pangka. Tapi, kok kusuik sarang tampuo, api manyalasaikan." Waktu, pengalaman, kesungguhan, perjuangan, pergulatan secara total dalam dunia yang dipilihnya, telah menjadikan seorang mantan guru seperti buk Yet semakin matang. Karya-karyanya syarat simbol yang diambil dari khasanah budaya tanah leluhurnya, Minangkabau. Simbol yang juga ia gunakan untuk melabrak setiap kebodohan yang mengatasnamakan adat. Api Dalam Sekam, lahir dari kepedulian dan kearifan sang maestro dalam mengamati kondisi yang terjadi di awal reformasi. Gusmiati Suid mencoba menelusuri akar persoalan dengan merujuk kepada nilai-nilai luhur budaya Minangkabau yang dicintainya sampai akhir hayatnya. Bagi wanita kelahiran Batusangkar ini, nilai-nilai adat yang luhur bukanlah benda yang hanya diagung-agungkan. Adat harus dipakai, agar tetap baru. Tradisi harus didekati, dipahami dan ditafsir ulang. Sedangkan hati nurani, digunakan sebagai penyeimbang logika, agar kecenderungan membendakan tereliminir.* Padang, 5 September 2004. Viveri Yudi adalah murid Gusmiati Suid, sejak 1977. Aktif di Sanggar Gumarang Sakti sampai 1994. ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________