Malanjuikan Tulisan mamak kiti nan baru masuak di Padang Ekpress
--------------------------------------------------------------------

Gerakan Paderi di Pantai Sumatera
* Ordi Syattariyah Tak Mudah Diubah Oleh Syek Daud
Oleh Redaksi Padang Rabu, 27-Oktober-2004, 06:03:42 20 klik

Salah satu cerita yang masih dikenal di Sunur dan sekitarnya sampai sekarang
berkaitan dengan Syekh Daud adalah tentang pertikaiannya dengan kaum adat.
Di antaranya adalah tentang tegurannya dengan kakak iparnya, Raja Nan
Kusuik.

Syekh Daud mengkritik kebiasaan kakak iparnya yang suka beristeri banyak,
suatu kebiasaan di kalangan kaum adat yang sudah dipraktekkan turun temurun,
tapi tidak dilarang oleh tarekat Syattariyah.

Syekh Daud sendiri tampaknya memang mempraktekkan monogami dalam
perkawinannya. Ia hanya punya satu isteri di kampungnya, yaitu Nurgelang dan
dari perkawinan itu ia dikaruniai satu-satunya anak perempuan bernama Umi
Salamah.

Kritikan Syekh Daud terhadap praktek poligami dalam perkawinan yang sudah
menjadi kebiasaan di Minangkabau pada waktu itu dan prilaku monogami yang
dipraktekkannya dalam hidupnya merupakan refleksi sekaligus aktualisasi dari
sikap pembaharuannya. Namun, kritikannya terhadap Raja Nan Kusuik, kakak
iparnya sendiri, rupanya menjadi bumerang bagi dirinya. Kaum adat
menunjukkan sikap tidak senangnya terhadap Syekh Daud.

Sikap kaum adat akan mengubah adat resam nenek moyang yang telah berlaku
turun temurun. Sangat mungkin pula Raja Nan Kusuik menyuruh Nurgelang cerai
dari Syekh Daud.

Cerita lisan yang sampai sekarang masih ada di Koto Gadis mengisahkan bahwa
pada suatu hari periuk nasi Syekh Daud di surau tempatnya mengaji diisi tahi
oleh seseorang. Dicurigai pelakunya adalah orang suruhan kaum adat atas
perintah Raja Nan Kusuik, atau pihak-pihak yang tidak senang dengan ajaran
baru yang dikembangkan Syekh Daud di Sunur.

Namun, rupanya bukan kaum adat saja yang tidak setuju dengan Syekh Daud.
Kaum ulama pesisir yang sudah begitu lama menganut tarekat Ulakan juga
merasa terganggu dan terancam oleh aktivitasnya itu. Demikian pula halnya
dengan masyarakat Sunur dan desa-desa sekitarnya yang sangat dekat dengan
Ulakan, inti penggerak ordo Syattariyah di rantau barat Minangkabau. Agaknya
paham mereka yang sudah terbentuk oleh ordo Syattariyah selama
bertahun-tahun tidak begitu saja dengan mudah dapat diubah oleh Syekh Daud
dan diajak berubah ke paham yang baru itu.

Salah seorang ulama yang tidak senang terhadap pembaharuan yang dibawa Syekh
Daud itu adalah Syekh Lubuk Ipuh, seorang pemuka agama dari Desa Lubuk Ipuh,
desa tetangga Sunur. Syekh Lubuk Ipuh adalah seorang ulama pengikut setia
ordo Ulakan. Ia adalah pemimpin utama kaum ulama Lubuk Ipuh yang sudah sejak
dulu "berkiblat" ke Ulakan. Sampai sekarang otoritas Surau Lubuk Ipuh masih
dipegang oleh keturunan Syekh Lubuk Ipuh yang bergelar Ungku Kali. Seperti
halnya di Ulakan, gelar itu sudah sejak dulu menjadi hak turun temurun
keluarga Syekh Lubuk Ipuh. (bersambung)

Syekh Lubuk Ipuh menentang Syekh Daud berdebat soal agama di depan publik.
Yang pertama tentu membela doktrin Ulakan yang tidak terlalu
mempermasalahkan adat, sedangkan yang kedua mencoba menyanggahnya dengan
mengemukakan doktrin Cangking yang menginginkan puritanisme dalam beragama.

Kekalahannya dalam perdebatan dengan Syekh Lubuk Ipuh berakibat fatal. Syekh
Daud kehilangan muda dihadapan jamaah dan murid-muridnya sendiri. Karena
malu dan juga karena menghadapi begitu banyak tekanan psikologis, baik dari
pihak adat maupun dari kaum agama sendiri, ia akhirnya pergi ke Mekah.
(bersambung)



____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke